Sejarah PT Sritex, Suplai Baju Tentara NATO hingga Akhirnya Bangkrut
PT Sritex menjadi pabrik tekstil Indonesia yang patut diapresiasi.
Industri tekstil besar PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang. Keputusan ini diambil setelah mengabulkan permohonan salah satu kreditur perusahaan tekstil tersebut yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang yang sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang Haruno Patriadi di Semarang, Rabu, membenarkan putusan yang mengakibatkan PT Sritex pailit.
Menurut dia, putusan dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Muhammad Anshar Majid tersebut mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur PT Sritex.
"Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada bulan Januari 2022," kata Anshar dilansir dari Antara, Kamis (24/10).
Dalam putusan tersebut, kata dia, ditunjuk kurator dan hakim pengawas.
"Selanjutnya kurator yang akan mengatur rapat dengan para debitur," tambahnya.
Kondisi pailit yang dialami PT Sritex sudah terlihat pada bulan Januari 2022 PT Sritex digugat oleh salah satu debiturnya, CV Prima Karya, yang mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Pengadilan Niaga Kota Semarang mengabulkan gugatan PKPU terhadap PT Sritex dan tiga perusahaan tekstil lainnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, PT Sritex kembali digugat oleh PT Indo Bharat Rayon karena dianggap tidak penuhi kewajiban pembayaran utang yang sudah disepakati.
Penyuplai Seragam Militer ke Berbagai Negara
Kondisi pailit yang dialami PT Sritex sangat memprihatinkan, mengingat sejarah perusahaan tersebut berkembang. PT Sritex menjadi pabrik tekstil Indonesia yang patut diapresiasi. Pabrik yang didirikan Lukminto pada tahun 1968 ini pernah mendapatkan mandat untuk membuat seragam pasukan tentara negara-negara di bawa North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Lukminto tumbuh di keluarga pedagang. Di masa remaja, Lukminto terbiasa berdagang di Pasar Klewer, Solo Jawa Tengah. Namun, di tahun 1966, usai Gerakan 30 September, saat zaman orde baru melarang segala apapun yang beratribusi China dilarang, Lukminto terpaksa berhenti dari SMA Chong Hua Chong Hui.
Putus sekolah, Lukminto pun mengikuti jejak sang kakak Ie Ay Djing berdagang di Pasar Klewer. Orang tua Lukminto saat itu memberikan modal sebesar Rp100,000. Nilai yang sangat besar pada zamannya.
Dari modal itu, Lukminto membeli kain di Semarang dan Bandung, dan menjualnya kembali di Pasar Klewer. Hasil kerja yang ulet membuat bisnis Lukminto berkembang.
Dia mampu membeli dua kios di Pasar Klewer, untuk menjual beragam produk tekstil. Di tahun 1968, Lukminto pun membangun sebuah pabrik tekstil di Sukoharjo dengan nama UD Sri Rejeki Isman (Sritex).
Pada tahun 1982, Sritex mendirikan pabrik Weaving. Lukminto terus melebarkan sayap bisnisnya dengan memperbesar pabrik dan produksi hingga menjadi perusahaan tekstil yang terintegrasi secara vertikal.
Pada tahun 1994, Sritex mulai mengerjakan seragam pesanan pasukan negara-negara di bawah NATO. Sritex berhasil mengantongi sertifikat dari organisasi pakta pertahanan Atlantik Utara itu sehingga pesanan pun mulai berdatangan. Hingga kini, Sritex telah membuat pakaian militer untuk lebih dari 33 negara.
Lukminto menghembuskan nafas terakhirnya pada 5 Februari 2014 di Singapura. Kerajaan bisnisnya kini dikelola anak sulungnya bernama Iwan Lukminto.
Selama masa pandemi Covid-19, Sritex juga memproduksi masker dan alat pelindung diri (APD). Perusahaan ini juga memiliki cabang bisnis selain tekstil yaitu hotel di Yogyakarta dan Bali, Holiday Inn adalah salah satunya.
Sritex juga merupakan perusahaan yang dipilih sebagai pemasok merchandise Asian Games tahun 2018 yang digelar di Indonesia.