Jadi Menteri ATR/BPN, AHY Bisa Tiru Sosok Profesor Kaum Tani Ini Hadapi Masalah Agraria
Sebagai menteri dengan ruang lingkup agraria, AHY dapat meniru rekam jejak Sediono Tjondronegoro.
Sebagai menteri dengan ruang lingkup agraria, AHY dapat meniru rekam jejak Sediono Tjondronegoro.
Jadi Menteri ATR/BPN, AHY Bisa Tiru Sosok Profesor Kaum Tani Ini Hadapi Masalah Agraria
AHY Bisa Tiru Sosok Profesor Kaum Tani Ini Hadapi Masalah Agraria
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) resmi dilantik sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pada Rabu (21/2). Ini merupakan jabatan eksekutif pertama yang diemban AHY selama berada di dunia politik.
Sebagai menteri dengan ruang lingkup agraria, AHY dapat meniru rekam jejak Sediono Tjondronegoro. Sosok yang dijuluki sebagai profesor kaum petani.
Melan daysir laman IPB, Sediono merupakan guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB). Dia dikenal luas berkat konsep 'sodality' yang dikonstruksikan ulang berdasarkan realitas sosial di pedesaan Indonesia dengan merujuk basis otonomi, kerja sama dan partisipasi komunitas asli pedesaan.
Meski berstatus sebagai masyarakat Sipil, Sediono pernah berada di lingkungan militer.
Dalam buku otobiografi berjudul 'Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua', Sediono kecil sering berpindah-pindah tempat tinggal, mengikuti pekerjaan sang ayah.
Sediono pernah bersekolah di Hogere Burger School (HBS) Malang, Jawa Timur.
Namun dia tidak menamatkan pendidikan di sekolah itu karena kependudukan Jepang di Indonesia menutup seluruh sekolah-sekolah Belanda.
Dia kemudian pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan SMP.
Pasca proklamasi 1945, Sediono bergabung dengan barisan keamanan rakyat (BKR) dan kemudian masuk ke dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar di Surabaya.
Sediono dipilih sebagai Kepala regu, memimpin pengepungan sekolah HBS.
Sediono didesak oleh orangtuanya agar melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan perguruan tinggi. Permintaan itu pun dituruti.
Sediono melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA di Jakarta.
Setelah lulus SMA, dia kembali turun ke lapangan untuk mendistribusikan obat-obatan makanan dan peluru kepada divisi Siliwangi di Jawa Barat.
Kegigihan Sediono untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdaya kemudian ditunjukan dengan menerima beasiswa dari Belanda, untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Belanda.
Sediono kemudian mendaftar di Fakultas Ilmu Poltik dan sosial di Gemeentelijke Universiteit, Amsterdam.
Pada tahun 1963, Sediono pulang ke Indonesia dan melamar ke IPB dengan tujuan ingin mempelajari lebih jauh tentang masyarakat pedesaan.
Pada tahun 1966 dia melanjutkan studi di Departemen of Rural Sociology Universita Wisconsin, dan kembali ke IPB pada tahun 1968.
Di IPB, Sediono sering melakukan penelitian ke berbagai daerah yang merupakan tugas dari Departemen Pertanian dari penelitian pangan irigasi hingga persoalan transmigrasi.
Dalam perjalanan penelitiannya, Sediono seringkali mengkritik permasalahan agraria di Indonesia.
Dia berpandangan, struktur agraria di Indonesia masih sangat timpang. Dengan demikian, sasaran pembangunan nasional seperti pemerataan keadilan kedaulatan dan ketahanan pangan serta penanggulangan kemiskinan akan sulit dicapai.
"Setor pertanian kita belum mandiri, tidaklah mengherankan bahwa generasi muda tidak tertarik lagi dan negara menjadi importir pangan yang semakin mengkhawatirkan karena sasaran sasaran pembangunan tersebut di atas semakin sulit diwujudkan," kata Sediono dalam buku otobiografi.
Dia berpandangan, strategi pembangunan nasional harus dimulai dari pemantapan sektor agraria.
Dia juga sering enyoroti masalah industrialisasi dan sengketa lahan pembukaan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Baginya, hal ini merupakan salah satu biang sengketa pertanyaan di Indonesia.
"Dalam proses itu banyak hutan yang sudah dibuka memunculkan sengketa dengan penduduk setempat, sebab mereka merasa bahwa wilayah dan hutan yang dibuka itu adalah milik masyarakat adat," pungkasnya.