Kisah Prajogo Pangestu, Mantan Sopir Angkot Kini Jadi Orang Kaya Ketujuh di Indonesia
Prajogo juga pernah bekerja sebagai karyawan dari Burhan Uray yang dikenal sebagai pendiri dari PT Djajanti Group di tahun 1969.
Nilai kekayaan Prajogo mencapai USD 5,1 billion atau sekitar Rp76,88 triliun.
Kisah Prajogo Pangestu, Mantan Sopir Angkot Kini Jadi Orang Kaya Ketujuh di IndonesiKa
Kekayaan Prajogo Pangestu
Banyak fakta menarik yang tidak diketahui publik dari orang kaya atau miliuner dalam membangun kerajaan bisnisnya. Salah satunya dialami Prajogo Pangestu yang lahir dengan nama asli Phang Djoen Phen. Melansir Forbes, nilai kekayaan Prajogo mencapai USD 5,1 billion atau sekitar Rp76,88 triliun. Dengan ini, Prajogo menduduki urutan ketujuh dari daftar sepuluh orang terkaya di Indonesia.
Namun sebelum menjadi orang terkaya nomor tujuh di Indonesia, Prajogo rupanya pernah mengalami kondisi ekonomi sulit karena pekerjaan Orang tuanya yang hanya pedagang karet kecil.
Tidak ingin terkungkung kemiskinan, Prajogo memutuskan merantau ke Jakarta..
Saat merantau di Jakarta, Prajogo pernah bekerja sebagai sopir angkot demi menyambung hidup.
Pekerjaan itu dia lakoni pada tahun 1960. Namun, profesi sopir angkot itu menjadi sebuah batu loncatan besar dalam meraih kesuksesan.
Saat sedang menjadi sopir angkot, Prajogo bertemu dengan pria yang bernama Bon Sun On atau dikenal dengan nama Burhan Uray. Pria tersebut berprofesi sebagai pengusaha kayu asal Malaysia. Pertemuan itulah yang kemudian mengubah jalan kehidupannya.
Mulanya, Prajogo bekerja sebagai karyawan dari Burhan Uray yang dikenal sebagai pendiri dari PT Djajanti Group di tahun 1969. Tujuh tahun bekerja di sana, Burhan Uray mengangkat Prajogo sebagai General Manager (GM) di Pabrik Plywood Nusantara yang berada di Gresik, Jawa Timur. Setahun setelahnya, Prajogo memutuskan untuk membangun usaha sendiri dengan membeli perusahaan kayu bernama CV Pacific Lumber Coy dari hasil pinjaman di BRI. Berbekal pengalaman yang dia miliki dan insting bisnis yang baik, CV tersebut berganti nama menjadi PT Barito Pacific.Di tangan Prajogo, perusahaan berhasil memiliki hak konsesi hingga 6 juta hektare di seluruh Indonesia. Produk yang dihasilkan perusahan tersebut yaitu plywood, blockboard, particle board, dan woodworking product. Produknya juga diekspor ke luar negeri seperti Eropa dan Amerika.
Seiring waktu, Prajogo memperluas jangkauan bisnisnya ke sektor lainnya. Yaitu properti, petrokimia dan minyak sawit mentah. Tak heran jika saat itu Prajogo sudah dikenal sebagai salah satu pengusaha terkaya di Indonesia.
Memasuki tahun 2000, bisnis pengolahan kayu mengalami kemunduran. Ini ditandai dengan ditutupnya beberapa pabrik pengolahan kayu perusahaan mulai tahun 2004 hingga tahun 2007. Prajogo kemudian mengubah arah bisnis perusahaan ke bisnis petrokimia dan energi sejak tahun 2007. Di tahun itu juga, dia mengambil alih 70 persen saham perusahaan petrokimia bernama PT Chandra Asri.Di tahun 2011, Chandra Asri dan Tri Polyta Indonesia melakukan merger atau penggabungan. Ini kemudian membuat perusahaan yang dimiliki oleh Prajogo Pangestu ini menjadi perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia.