Berawal dari Sopir Angkot, Kini Hartanya Tembus Rp700 Triliun & Jadi Orang Terkaya di Indonesia
Saat sedang menjadi sopir, Prajogo bertemu dengan pria yang bernama Bon Sun On atau dikenal dengan nama Burhan Uray.
Dia adalah Prajogo Pangestu, yang memiliki nama asli Phang Djoen Phen. Prajogo lahir pada tanggal 13 Mei 1944 di Bengkayang, Kalimantan Barat.
Berawal dari Sopir Angkot, Kini Hartanya Tembus Rp700 Triliun & Jadi Orang Terkaya di Indonesia
Berawal dari Sopir Angkot, Kini Hartanya Tembus Rp700 Triliun & Jadi Orang Terkaya di Indonesia
Dulu sempat menjadi sopir angkot, kini hartanya tembus Rp700 triliun. Dia juga menjadi orang paling kaya se-Indonesia versi Forbes untuk saat ini.
Dia adalah Prajogo Pangestu, yang memiliki nama asli Phang Djoen Phen. Prajogo lahir pada tanggal 13 Mei 1944 di Bengkayang, Kalimantan Barat.
Prajogo tidak terlahir dari keluarga mapan. Kemiskinan membuat orang tuanya tak mampu menyekolahkan Prajogo untuk menempuh pendidikan SMA.
Tidak ingin terkungkum kemiskinan, Prajogo merantau ke Jakarta demi mendapat kehidupan yang lebih baik.
Namun, jalan menuju kelayakan hidup belum juga direngkuhnya. Prajogo tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Kalimantan.
Untuk menyambung hidup, Prajogo bekerja sebagai sopir angkot. Pekerjaan itu dia lakoni pada tahun 1960. Pekerjaan sopir angkot itu menjadi sebuah batu loncatan dalam kehidupannya.
merdeka.com
Saat sedang menjadi sopir, Prajogo bertemu dengan pria yang bernama Bon Sun On atau dikenal dengan nama Burhan Uray. Pria tersebut berprofesi sebagai pengusaha kayu asal Malaysia. Pertemuan itulah yang kemudian mengubah kehidupannya.Dia kemudian bekerja sebagai karyawan dari Burhan Uray yang dikenal sebagai pendiri dari PT Djajanti Group di tahun 1969. Tujuh tahun bekerja di sana dengan keras, Burhan Uray mengangkat Prajogo sebagai General Manager (GM) di Pabrik Plywood Nusantara yang berada di Gresik, Jawa Timur.
Kariernya sebagai General Manager di PT Plywood Nusantara hanya berlangsung setahun saja. Dia memutuskan keluar dari perusahaan tersebut.
Setelah keluar, Prajogo mencoba menjalankan bisnisnya sendiri. Langkah pertama yang dia ambil yaitu meminjam modal melalui BRI untuk membeli perusahaan kayu bernama CV Pacific Lumber Coy. Perusahaan tersebut kala itu sedang mengalami kesulitan keuangan.CV Pacific Lumber Coy pun sepenuhnya milik Prajogo. Berbekal pengalaman yang dia miliki dan insting bisnis yang baik, CV tersebut berganti nama menjadi PT Barito Pacific.
Kala itu perusahaan berhasil memiliki hak konsesi hingga 6 juta hektare di seluruh Indonesia.
Produk yang dihasilkan perusahan tersebut yaitu plywood, blockboard, particle board, dan woodworking product. Produknya juga diekspor ke luar negeri seperti Eropa dan Amerika.
Barito Pacific berkembang pesat. Di zaman pemerintahan presiden Soeharto, Prajogo banyak bekerja sama dengan perusahaan dari anak-anak dan kolega dari Soeharto.
Dengan begitu, bisnisnya semakin berkembang dan melebar ke sektor lainnya selain pengolahan kayu yaitu properti, petrokimia dan minyak sawit mentah. Tak heran jika saat itu Prajogo sudah dikenal sebagai salah satu pengusaha terkaya di Indonesia.
Prajogo kemudian mengubah arah bisnis perusahaan ke bisnis Petrokimia dan Energi sejak tahun 2007. Di tahun itu juga, ia mengambil alih 70 persen saham perusahaan petrokimia bernama PT Chandra Asri.
Di tahun 2011, Chandra Asri dan Tri Polyta Indonesia melakukan merger atau penggabungan. Ini kemudian membuat perusahaan yang dimiliki oleh Prajogo Pangestu ini menjadi perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia.