Negara Berkembang Butuh Rp15.152 Triliun untuk Transisi Energi Bersih, Uangnya dari Mana?
Hal ini dilakukan sebagai upaya mengantisipasi dampak perubahan iklim.
Hal ini dilakukan sebagai upaya mengantisipasi dampak perubahan iklim.
Negara Berkembang Butuh Rp15.152 Triliun untuk Transisi Energi Bersih, Uangnya dari Mana?
Negara Berkembang Butuh Rp15.152 Triliun untuk Transisi Energi Bersih, Uangnya dari Mana?
Mantan Pejabat Bank Dunia, Mari Elka Pangestu mengatakan negara-negara berkembang akan membutuhkan lebih dari USD1 triliun atau setara Rp15.152 triliun (kurs dolar AS:Rp 15.152) untuk membuat kemajuan signifikan dalam rangka transisi energi. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengantisipasi dampak perubahan iklim.
“Perkiraannya sekitar USD1 triliun hingga USD3 triliun atau Rp15.151 triliun-Rp45.456 triliun per tahun bagi negara-negara berkembang untuk dapat melakukan transisi,”
kata Pangestu, dikutip dari CNBC, Senin (7/8).
Pangestu menilai, kurangnya dana telah mempersulit negara-negara tersebut untuk mengurangi emisi karbon dan beralih ke energi bersih.
Hal ini pun telah menyebabkan ketegangan antara negara berkembang dan negara maju.
Negara maju bersikukuh mendorong lebih banyak kemajuan dalam isu terkait iklim.
“Perdebatan ini akan berlanjut kecuali negara-negara maju dapat melihat bahwa ini adalah tentang pembangunan dan iklim, bukan hanya tentang iklim,” kata Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini.
Menurutnya, dua faktor tersbeut menjadi pemicu ketegangan yang tidak bisa terpisahkan. Adaptasi teknologi bagi negera berkembang erat kaitannya dengan kemampuan sumber daya baik secara angka maupun kesiapan sumber daya lainnya. "Bagaimana bisa beralih dari emisi tinggi sekarang ke energi bersih? Itu akan mengharuskan kita memiliki sumber daya," jelasnya.
Pangestu berpendapat jika negara maju ingin beralih dunia segera meninggalkan bahan bakar fosil batubara lebih awal, maka mereka harus bisa memberikan banyak dukungan kepada negara berkembang. Bagi Indonesia maupun Afrika, transisi energi membutuhkan modal yang besar. Sebagaimana Indonesia yang harus membayar kompensasi dari kontrak kerja sama PLTU dengan pihak swasta demi menghentikan operasionalnya.“Ini adalah perusahaan swasta, Anda juga harus memberikan kompensasi kepada mereka. Ada masalah hukum, masalah keuangan. Jadi di sinilah kita harus benar-benar masuk ke dalam kebijakan dan reformasi," tambahnya.
Disisi lain, Menteri Perubahan Iklim India Bhupender Yadav mengakui ada beberapa masalah tentang energi dan masalah berorientasi target. Pertemuan iklim bulan Juli dipandang sebagai kesempatan bagi pencemar terbesar dunia untuk mengambil langkah konkret menjelang pertemuan para pemimpin G20 pada bulan September di New Delhi dan KTT COP 28 di Uni Emirat Arab pada bulan Desember. Dia menerangkan kegagalan untuk mencapai kesepakatan mengundang kecaman keras dari para aktivis lingkungan.“Eropa dan Afrika Utara sedang terbakar, Asia dilanda banjir namun para menteri iklim G20 telah gagal menyepakati arah bersama untuk menghentikan krisis iklim yang meningkat dari hari ke hari. Laporan Arab Saudi dan China yang mencekik ruang politik forum bahkan untuk membahas arah baru transisi energi terbang di hadapan klaim mereka membela kepentingan negara berkembang," kata Yadav.