Pengusaha Tolak Usulan Kerja 4 Hari Seminggu, Begini Pertimbangannya
Padahal YLKI pun mengusulkan kebijakan serupa diterapkan di Tanah Air.
Padahal YLKI pun mengusulkan kebijakan serupa diterapkan di Tanah Air.
Pengusaha Tolak Usulan Kerja 4 Hari Seminggu, Begini Pertimbangannya
Pengusaha Tolak Usulan Kerja 4 Hari Seminggu
Mulai 1 Februari 2024, Jerman resmi menerapkan sistem kerja 4 hari dalam seminggu. Artinya dalam sepekan pekerja bisa libur selama 3 hari.
Bahkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun mengusulkan kebijakan serupa diterapkan di Tanah Air.
Namun, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) belum sepakat dengan waktu 4 hari kerja dalam seminggu. Alasannya, hal itu dinilai akan menurunkan produktivitas kerja.
Ketua Umum Apindo, Shinta Kamandani menjelaskan banyak aspek yang berpengaruh pada produktivitas kerja.
Salah satunya lama waktu kerja dalam satu pekan, saat ini berlaku 5 hari kerja dalam seminggu.
"Apabila kita akan mengurangi hari kerja yang pastinya akhirnya akan mengurangi jam kerja, maka kita akan lebih sulit lagi untuk menyaingi produktivitas negara lainnya di ASEAN," ujar Shinta kepada Liputan6.com, Senin (12/2).
Shinta menilai, pengaturan waktu kerja di suatu negara sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas negara tersebut.
Dia menyebut aspek ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja.
Aturan tersebut menjelaskan, Indonesia masih menerapkan waktu kerja 40 jam per minggu dengan kemungkinan lembur 4 jam per hari dengan 5 atau 6 hari kerja per minggu.
"Berdsarkan statistik ILO (Indonesia Labour Organization) tahun 2021, produktivitas Indonesia berada pada posisi ke 5 di ASEAN, di bawah Singapore, Brunei, Malaysia, dan Thailand," kata Shinta.
Selain aturan waktu tadi, Shinta menyinggung soal tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia yang didominasi lulusan SMP ke bawah sebesar 58 persen.
Hal ini berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2024.
"Sedikit banyak tingkat pendidikan yang rendah akan berkontribusi pada rendahnya produktivitas," kata Shinta.
Sebelumnya, beberapa ahli menilai pengurangan masa kerja menjadi 32 jam dalam seminggu sebagai langkah maju dalam upaya memperjuangkan keseimbangan kehidupan bagi para pekerja ke arah yang lebih baik.
Profesor Sosiologi di Universitas Dalhousie di Halifax, Karen Foster menilai sulit membayangkan penerapan kerja 4 hari seminggu bisa diadopsi di seluruh dunia.
Alasannya manusia sudah terbiasa dengan aturan waktu kerja hingga 40 jam.
Pada pertengahan September 2023, serikat pekerja United Auto Workers (UAW) dan tiga serikat pekerja di Amerika Serikat -- Ford Motor Company, General Motors, dan Stellantis -- melakukan pemogokan.
Salah satu tuntutan mereka pengurangan durasi kerja. Tetap dibayar gaji full, meskipun hanya bekerja selama 32 jam, dikutip dari laman cbc.ca, Senin (12/2).
Foster mengatakan, beberapa orang mungkin sulit membayangkan dibayar dengan gaji yang sama tapi pekerjaan yang lebih sedikit. Namun, menurutnya hal ini berkaitan dengan masalah produktivitas.
“Gerakan empat hari kerja dalam seminggu sangat berkaitan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa dalam situasi tertentu, bisa mencapai tingkat produktivitas yang sama dalam durasi kerja yang lebih singkat,” kata Foster.
Tak hanya itu, Foster bilang pengurangan hari kerja menjadi 4 hari seminggu bisa mengurangi kelelahan dan meningkatkan kesehatan hingga beberapa manfaat lain.
“Pekerja tiba di tempat kerja dengan kondisi pulih. Mereka tidak perlu lagi istirahat di tempat kerja,” katanya.
"Dan saya pikir akan banyak orang yang dapat menyelesaikan lebih banyak pekerjaan ketika berada di bawah kendali dibandingkan jika Anda memiliki tenggat waktu yang sangat panjang," sambungnya.
Di sisi lain, salah satu Pendiri Praxis PR di Toronto, Matt Juniper awalnya merasa skeptis terhadap aturan kerja empat hari dalam seminggu.
Setelah melihat data, Juniper memutuskan untuk mencoba hal tersebut selama 6 bulan.