Peran Besar Elon Musk di Balik Kemenangan Donald Trump di Pilpres AS, Ada Dana Rp2 Triliun untuk Kampanye
Dalam pidatonya di West Palm Beach, Florida, Trump memuji Elon Musk, menyebutnya sebagai “A star is born, Elon”.
Saat hasil pemiihan presiden Amerika Serikat 2024 mulai terlihat, Donald Trump mengklaim kemenangan yang luar biasa dan memberikan penghargaan khusus kepada sosok yang dianggap berperan penting dalam kembalinya ia ke puncak kekuasaan.
Melansir Aljazeera, Jumat (8/11), dalam pidatonya di West Palm Beach, Florida, Trump memuji Elon Musk, menyebutnya sebagai “A star is born, Elon” dan mengakui pengaruh besar miliarder tersebut dalam keberhasilan kampanyenya.
Elon Musk yang merupakan pemilik Tesla, SpaceX, dan X (sebelumnya Twitter) memainkan peran besar dalam kampanye sukses Trump. Selain kontribusi finansial yang besar, Musk juga bertindak sebagai penasihat dan memanfaatkan platform media sosialnya, yaitu X.
X dimanfaatkan sebagai alat penting bagi gerakan Make America Great Again (MAGA). Bahkan, Trump sempat menyatakan bahwa Musk bisa menjadi menteri penghematan biaya di kabinetnya.
Para ahli memperingatkan bahwa pengaruh Musk yang terus meningkat, dapat memberinya kekuasaan luar biasa dalam membentuk kebijakan pemerintah. Bahkan mungkin memengaruhi regulasi demi ke sendiri, ditambah dengan posisinya sebagai kontraktor besar pertahanan melalui SpaceX.
Dukungan Musk: Jutaan Dolar Mengalir ke Kampanye Trump
Dukungan finansial Elon Musk untuk Trump sangat menakjubkan. Perkiraan donasi mencapai USD132 juta atau sekitar Rp2 triliun (kurs 15.680 per USD) kepada Trump dan Partai Republik menjelang pemilu 2024.
Dua kontribusi terbesar USD43,6 juta (683 miliar) dan USD75 juta (Rp1,17 triliun) disalurkan langsung ke kampanye Trump melalui America PAC, sebuah komite aksi politik yang didirikan oleh Musk sendiri.
Salah satu strategi Musk yang paling kontroversial adalah memberikan hadiah uang tunai kepada pemilih di negara bagian kunci. Ia menawarkan hadiah USD 1 juta (Rp15,68 miliar) per hari kepada pemilih yang mendaftar dan menandatangani petisi mendukung Amandemen Pertama dan Kedua, yang melindungi kebebasan berbicara dan hak kepemilikan senjata.
Inisiasi tersebut mendapat tantangan hukum, dengan tuduhan bahwa Musk melanggar undang-undang yang melarang memberikan insentif kepada pemilih. Namun, tim hukum Musk berhasil mempertahankan tindakan tersebut di pengadilan.
Kini, Musk menghadapi gugatan hukum dari sekelompok pemilih yang merasa ditipu dengan janji hadiah yang tidak benar-benar diberikan. Gugatan tersebut menyatakan bahwa Musk menggunakan taktik ini untuk mengumpulkan data pribadi dan meningkatkan lalu lintas ke platform X.
Mengubah X Menjadi Platform MAGA
Di bawah kepemimpinan Musk, X mengalami perubahan signifikan, termasuk mengaktifkan kembali akun-akun yang sebelumnya diblokir karena terkait dengan pandangan ekstremis dan nasionalis kulit putih. Musk juga mengembalikan akun Trump, yang sebelumnya ditangguhkan setelah kerusuhan di Gedung Capitol pada 6 Januari 2021.
Para kritikus menilai bahwa platform yang awalnya diklaim netral secara politik ini telah berubah menjadi corong suara gerakan MAGA, memperkuat suara Trump dan pandangan konservatif lainnya.
Musk mendapat kritik tajam karena mempromosikan konten yang menyesatkan, seperti video palsu dari kandidat Demokrat Kamala Harris yang menyiratkan bahwa dia dipilih hanya karena keberagaman. Musk membagikan video tersebut dengan emoji tertawa, sehingga video tersebut ditonton jutaan kali tanpa ada peringatan bahwa itu hanya parodi.
Tindakan Musk tentunya menimbulkan kekhawatiran terkait potensi pelanggaran undang-undang pemilu dan penyebaran disinformasi. Platform X membiarkan teori konspirasi berkembang, termasuk klaim palsu tentang imigran ilegal yang mencoblos dalam pemilu dan dugaan strategi Demokrat yang memanipulasi kebijakan imigrasi untuk memperkuat basis pemilih masa depan.
Musk sendiri membagikan postingan yang menyiratkan bahwa strategi Demokrat tersebut akan menciptakan negara sosialis biru gelap permanen. Meskipun mengaku sebagai pendukung kebebasan berbicara, Musk dituduh melakukan sensor terhadap berita tertentu.
Misalnya, ia memblokir artikel oleh jurnalis Ken Klippenstein yang mengungkap kelemahan calon wakil presiden dari Partai Republik, JD Vance. Meski akun jurnalis tersebut kemudian dipulihkan, tindakan pemblokiran artikel tersebut menimbulkan pertanyaan tentang sensor dan bias di platform.
Sebuah survei dari Pew Research Center menunjukkan perubahan demografi pengguna platform, dengan semakin banyak dukungan dari pemilih Partai Republik. Pada 2024, 53 persen responden Republik menganggap X baik untuk demokrasi, dibandingkan hanya 17 persen pada 2021.
Mengapa Musk Mendukung Trump?
Musk dan Trump sebenarnya tidak selalu akur. Pada 2022, Trump secara terbuka menyebut Musk sebagai penipu, sementara Musk menanggapi dengan menyarankan Trump untuk pensiun. Namun, dalam waktu dua tahun, keduanya tampak menjalin aliansi politik yang kuat.
Perubahan haluan politik Musk diperkirakan dimulai saat pandemi covid, ketika ia menentang penutupan pabrik Tesla yang diberlakukan oleh pemerintah. Frustrasinya terhadap regulasi yang ketat tampaknya mendorong Musk mendekati pemimpin anti regulasi seperti Javier Milei dari Argentina dan Giorgia Meloni dari Italia.
Faktor pribadi juga diduga berperan dalam pergeseran pandangan Musk. Pada 2022, salah satu anak Musk mengungkapkan identitas transgendernya, lalu memutuskan hubungan dengan Musk dan mengubah nama belakangnya menjadi Wilson.
Musk kemudian menyatakan perang melawan apa yang disebutnya sebagai “woke mind virus,” menandakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan sosial progresif.
Musk juga memindahkan markas Tesla dari California ke Texas pada 2021, mengutip kondisi bisnis yang lebih baik. Ia bahkan mengancam akan memindahkan SpaceX dan X dari California karena undang-undang negara bagian yang dianggap terlalu progresif, termasuk aturan tentang identitas gender di sekolah.
Keterlibatan Musk dalam kampanye Trump menyoroti meningkatnya pengaruh miliarder dalam politik AS. Kekayaan finansialnya, dikombinasikan dengan kendali atas platform media sosial besar, memungkinkannya membentuk narasi dan memengaruhi opini publik dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Saat Trump bersiap untuk kembali ke Gedung Putih, peran Musk dalam aliansi politik ini diperkirakan akan terus memicu perdebatan tentang batas etika keterlibatan pengusaha teknologi dalam proses demokrasi.
Reporter Magang: Thalita Dewanty