Pernah jadi Guru hingga Jurnalis, Sosok Ini Berhasil Jadi Orang Nomor 1 di Republik Indonesia
Tumbuh di lingkup keluarga yang kental dengan agama, sosok ini mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
Tumbuh di lingkup keluarga yang kental dengan agama, sosok ini mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
Pernah jadi Guru hingga Jurnalis, Sosok Ini Berhasil Jadi Orang Nomor 1 di Republik Indonesia
Pernah jadi Guru hingga Jurnalis, Sosok Ini Berhasil Jadi Orang Nomor 1 di Tanah Air
Jurnalis menjadi sebuah profesi yang kerap dipandang sebelah mata beberapa pihak.
Namun, memiliki latar belakang sebagai jurnalis, sukses mengantarkan pria ini menjadi orang nomor 1 di Republik Indonesia.
Tumbuh di lingkup keluarga yang kental dengan agama, sosok ini mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
Pada 1959, dia pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru sekaligus kepala madrasah.
Bahkan, dia juga bekerja sebagai jurnalis pada Majalah Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Di satu sisi, ketekunannya menimba ilmu agama membuatnya menerima beasiswa dari Departemen Agama. Bertolak ke Timur Tengah untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir di tahun 1963.
Beasiswa itu dia terima, namun tidak dituntaskan. Dia kemudian memutuskan belajar di Universitas Baghdad. Hingga akhirnya dia lulus di tahun 1970.
Kemudian dia ingin meneruskan pendidikannya di Universitas Leiden.
Impiannya itu harus pupus karena pendidikannya di Baghdad tidak diakui di Belanda. Dia lalu pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.
Ketika kembali ke Indonesia, sosok ini bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Sebuah organisasi yang terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat.
LP3ES mendirikan majalah Prisma, dan dia menjadi salah satu kontributor utamanya. Dalam waktu yang bersamaan, sosok ini sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa.
Sosok ini mengaku merasa prihatin karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang ia lihat.
Itulah yang membuat sosok ini fokus mengembangkan pesantren sekaligus meneruskan kariernya sebagai jurnalis untuk Tempo dan Kompas.
Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.
merdeka.com
Sosok ini adalah Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan panggilan Gus Dur.
Popularitas yang didapat Gus Dur membuat dia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar. Dia pun harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang.
Meskipun kariernya sebagai jurnalis berjalan lancar, Gus Dur masih merasa sulit hidup karena hanya memiliki satu sumber pencaharian.
Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es.
Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas.
Pada 1977, dia bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi.
Karier politik pertama Gus Dur ketika pemilihan umum legislatif 1982. Kala itu dia berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP merupakan gabungan empat partai Islam, termasuk Nahdhatul Ulama (NU).
Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dicalonkan sebagai ketua PBNU. Dia pun menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya.
Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia merespon positif atas keterpilihan Gus Dur sebagai Ketua NU.
Demikian juga dengan Gus Dur yang menganut pemikiran moderat yang mendukung rezim Soeharto atas ideologi pancasila.
Meskipun disukai rezim Soeharto, Gus Dur kerap mengkritik pemerintah. Di antaranya proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia. Ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah dan Soeharto.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren.
Dia pun berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah sekular.
Pada November 1996, Gus Dur dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak terpilih sebagai ketua NU.
Desember tahun itu juga dia bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
merdeka.com
Juli 1997 merupakan awal krisis moneter dan Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi itu. Gus Dur didorong melakukan gerakan reformasi dengan Megawati dan Amien. Sayangnya, Gus Dur terkena stroke pada Januari 1998.Pada 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama delapan pemimpin komunitas Muslim dipanggil Soeharto yang memberikan konsep Komite Reformasi usulannya. Gus Dur dan delapan orang itu menolak bergabung dengan Komite Reformasi.
Amien Rais, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis saat itu, tidak menyukai pandangan moderat Gus Dur terhadap Soeharto. Namun, Soeharto kemudian mundur pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie).
Pada Juli 1998 Gus Dur mendirikan partai politik yang saat ini dikenal sebagai PKB, sebagai cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum.
Pada 7 Februari 1999, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya.
Langkah Gus Dur mendirikan PKB terbukti berhasil.
Pada pemilu yang digelar pada April 1999, PKB memenangkan 12 persen suara. Sedangkan PDIP memenangkan 33 persen suara.
merdeka.com
Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali mulai memilih presiden baru dan Gus Dur pun terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara.
Sedangkan Megawati hanya 313 suara.