Said: Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Mungkin Tercapai,Tapi Perlu Perbaikan Strategis
Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sangat mungkin tercapai

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah, menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sangat mungkin tercapai. Namun, ia menegaskan bahwa sejumlah perbaikan strategis harus dilakukan agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya tinggi, tetapi juga berkualitas dan inklusif.
“Sejak 2013 hingga 2024, pertumbuhan ekonomi kita berkutat di level 5 persen. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka 5,03 persen sepanjang 2024. Dengan capaian ini, kita belum memiliki pijakan yang cukup untuk menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045,” ujar Said dalam keterangannya.
Ia menekankan bahwa tantangan utama saat ini adalah keluar dari jebakan pertumbuhan 5 persen serta mengoreksi model kebijakan ekonomi trickle down effect, yang selama ini dijalankan. Model ini memberikan insentif kepada kelas ekonomi atas dengan harapan dapat menetes ke bawah. Namun, kenyataannya, kesenjangan ekonomi tetap tinggi.
Said mengungkapkan bahwa rasio gini Indonesia masih berada dalam kategori tinggi. Pada akhir Orde Baru, angka rasio gini mencapai 0,33 dan terus bertahan di atas angka tersebut hingga saat ini. Bahkan, pada 2013, sempat menyentuh 0,437. Dalam 10 tahun terakhir, rasio gini berada di rentang 0,38–0,40, yang menunjukkan ketimpangan sosial masih menjadi permasalahan serius.
Mengutip analisis ekonom Thomas Piketty, Said menjelaskan bahwa ketidaksetaraan ekonomi terjadi jika kekayaan privat berkembang lebih cepat dibanding pendapatan nasional. Data Credit Suisse 2022 menunjukkan bahwa 66,8 persen penduduk Indonesia memiliki kekayaan di bawah 10.000 USD, sementara hanya 2 persen yang memiliki kekayaan 100.000–1 juta USD. Rasio gini kekayaan pun mencapai 0,78, mengindikasikan kesenjangan yang semakin tajam.
Untuk mencapai target pertumbuhan 8 persen sekaligus menekan kesenjangan, Said mengapresiasi langkah pemerintah dalam mengonsolidasikan sumber anggaran pembangunan. Salah satunya melalui efisiensi belanja negara agar APBN lebih difokuskan pada sektor strategis, seperti perbaikan gizi anak, kesehatan, pendidikan, serta ketahanan pangan dan energi.
Menurutnya, salah satu program yang dapat mendukung pertumbuhan inklusif adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Jika dijalankan dengan baik, program ini tidak hanya meningkatkan kesehatan generasi muda tetapi juga menghidupkan sektor usaha mikro dan kecil (UMK), yang jumlahnya mencapai lebih dari 65 juta pelaku usaha.
“Jika Badan Pangan Nasional (Bapanas) dapat mengorganisir UMK sebagai penyedia MBG di tiap wilayah, ini bisa menjadi penggerak kebangkitan UMK dan meningkatkan daya beli kelas menengah bawah yang terus menurun sejak pandemi,” jelasnya.
Selain itu, program ini juga akan meningkatkan permintaan terhadap bahan pangan lokal, memberikan dampak positif bagi petani dan peternak. Pemerintah dapat menata rantai pasok pangan dengan bersinergi bersama pemerintah daerah dan desa. Kredit Usaha Rakyat (KUR) juga dapat diarahkan kepada petani, peternak, dan UMK yang mendukung program ini.
Said menegaskan bahwa jika langkah-langkah ini dilakukan secara sistematis, maka pemerintah bisa secara bertahap mengurangi alokasi subsidi bantuan sosial, yang selama ini memakan anggaran besar namun tidak memberikan dampak pemberdayaan jangka panjang.
Di luar strategi APBN, Said juga menyoroti pentingnya konsolidasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui pembentukan super holding Danantara. Menurutnya, Danantara dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional dengan kapitalisasi besar yang memungkinkan investasi strategis untuk membangkitkan industri dalam negeri.
“Dua kata kunci dari Danantara adalah investasi dan industrialisasi yang terarah. Ini bisa menjadi tonggak penting bagi hilirisasi sumber daya alam, tetapi harus difokuskan pada pengolahan yang masuk ke rantai pasok global,” katanya.
Said optimistis bahwa jika pemerintah mampu mengelola dua pilar utama APBN dan BUMN dengan baik, maka Indonesia tidak hanya bisa keluar dari jebakan pertumbuhan 5 persen, tetapi juga menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.