Satgas UU Cipta Kerja bersama Kemnaker dan Pengusaha Rapat Bahas Upah Minimum, Apa Hasilnya?
Pekerja diharapkan dapat mendorong perekonomian bukan menimbulkan ketidakpastian
Pekerja diharapkan dapat mendorong perekonomian bukan menimbulkan ketidakpastian
Satgas UU Cipta Kerja bersama Kemnaker dan Pengusaha Rapat Bahas Upah Minimum, Apa Hasilnya?
Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja menggelar rapat konsolidasi bersama Kementerian Ketenagakerjaan, asosiasi pengusaha, dan serikat buruh di Jakarta, (29/2).
Sekretaris Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja, Arif Budimanta mengharapkan, dengan adanya UU Cipta Kerja pemerintah dapat membangun ekosistem usaha yang bisa menciptakan lapangan kerja.
Dimana para pekerja tersebut dapat mendorong perekonomian bukan malah menimbulkan ketidak pastian.
“Yang terpenting ketika membahas PP 51/23 dan PP 35/21 memang harus dalam 1 rangkaian. Dalam PP 35/21 kita membahas mengenai PKWT, PHK, dan lain-lain. Artinya hal tersebut merupakan mekanisme yang tertuang dalam jaminan sosial,” jelas Arief.
Kemudian Ketua Pokja Monitoring dan Evaluasi Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja, Edy Priyono, menjelaskan, dengan diadakannya rapat konsolidasi ini, tim Satgas UU Cipta Kerja dapat mengevaluasi penerapan peraturan pemerintah No. 51 Tahun 2023 tentang pengupahan.
“Dalam UU Cipta Kerja yang baru ada beberapa perubahan kebijakan, khususnya dalam komponen tingkat upah minimum, yang awalnya diatur dalam PP No. 36 Tahun 2021 direvisi menjadi PP No. 51 Tahun 2023,” jelas Edy.
Lebih lanjut, Edy menjelaskan, komponen upah minimum sebelumnya hanya ditentukan oleh inflasi atau pertumbuhan ekonomi saja.
Sedangkan setelah adanya revisi upah minimum ditentukan oleh inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.
“Porsi utama bahasan kita hari ini adalah evaluasi terkait upah minimum, struktur dan skala upah, serta kebijakan alih daya,” tegas Edy.
Terkait kebijakan alih daya, Edy mengatakan, dalam UU Cipta Kerja yang lama, pekerjaan yang bisa dialihdayakan diserahkan kepada pelaku usaha.
Sedangkan, dalam UUCK hasil revisi dinyatakan bahwa jenis-jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
“Artinya PP 35 Tahun 2021 tentang alih daya ini harus segera direvisi. Kami usahakan sebelum pergantian pemerintah, peraturan tersebut sudah selesai,” tambah Edy dalam sambutannya.
Selanjutnya, Kepala Institute of Advanced Studies in Economics and Business Universitas Indonesia, Turro Selrits Wongkaren, mengatakan, yang seharusnya memperlukan perhatian lebih adalah struktur dan skala upah, bukah upah minimum.
“Data sakernas menunjukan sekitar 60 persen pekerja menerima upah di bawah rata-rata yang artinya struktur skala upah relatif tidak berjalan,” ungkap Turro.
Turro juga menjelaskan, dalam PP 51/23, Dewan Pengupahan memiliki tugas untuk mengawasi penerapan struktur dan skala upah di perusahaan.
“Dewan Pengupahan kita perlu profesional dalam artian mereka memberikan masukan kepada pemerintah dengan kajian dan data yang tidak berdasarkan pada perasaan dan dugaan,” jelas Turro.
Sedangkan untuk kebijakan alih daya, Koordinator Bidang Hubungan kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan, Feryando Agung Santoso, melihat bahwa alih daya sudah semakin berkembang.
“Untuk itu, ketika membuat suatu peraturan maka bentuknya bukanlah pembatasan melainkan hanya sebatas mengatur,” jelas Feryando.
Feryando menerangkan, alih daya dibagi ke dalam perjanjian penyedia jasa pekerja buruh dan perjanjian borongan.
“Perjanjian pekerja buruh dibagi ke dalam 5 kriteria sedangkan perjanjian borongan berdasarkan pada alur kerja,” jelas Feryando.
Kebijakan alih daya ini mendapat sambutan positif dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Rizky.
Menurut dia, alih daya sejalan dengan UU Cipta Kerja yang berusaha menciptakan lapangan pekejaan bagi rakyat Indonesia serta skema alih daya banyak dipakai oleh perusahaan sebagai hal yang kompetitif di Perusahaan tersebut.
“Kami berharap agar alih daya lebih fleksibel namun juga fokus pada perlindungan pekerjanya,” kata Rizky.
Sementara itu, Ketua Pokja Monitoring dan Evaluasi Satgas UU Cipta Kerja Edy Priyono, menegaskan, pemerintah akan fokus pada perlindungan pekerja alih daya.
“Perusahaan alih daya terikat dengan ketentuan upah minimum, pemberian hak jaminan sosial, dan lain sebagainya. Ini sebetulnya yang diharapkan dengan adanya UU Cipta Kerja,” tutup Edy.