Biadab, Tentara Israel Serang Pemuda Down Syndrome di Gaza dengan Anjing, Lalu Membiarkannya Mati Sampai Membusuk
Kebiadaban ini terjadi ketika pasukan penjajah Israel menyerbu lingkungan Shujaiya di Gaza timur.
Kebiadaban ini terjadi ketika pasukan penjajah Israel menyerbu lingkungan Shujaiya di Gaza timur.
- Tak Puas Bantai Manusia, Tentara Israel juga Tembaki Domba Hingga Kuda di Gaza Sampai Mati
- Banyak Tentara Israel Bunuh Diri Setelah Perang di Gaza, Dihantui Kekejaman Mereka Saat Membantai Rakyat Palestina
- Dikata Sakit Jiwa, Tentara Israel Berjoget Ria Usai Bantai Puluhan Anak-anak di Gaza Setiap Hari
- Ditanya Kenapa Tuhan Tak Menolong Gaza Palestina dari Kekejaman Israel, Jawaban Pemuda ini Sungguh Luar Biasa
Biadab, Tentara Israel Serang Pemuda Down Syndrome di Gaza dengan Anjing, Lalu Membiarkannya Mati Sampai Membusuk
Muhammad Bhar (24) berteriak putus asa ketika berusaha membebaskan dirinya dari anjing yang dilepaskan tentara Israel. Namun tentara penjajah itu membiarkan pemuda dengan down syndrome itu meregang nyawa dan kemudian tewas.
Teriakan itu adalah hal terakhir yang diingat ibu Muhammad, Nabila Ahmed Bhar (71).
Aksi biadab itu terjadi ketika keluarganya bersembunyi di rumah mereka di lingkungan Shujaiya, Gaza Timur, Palestina, ketika pasukan Israel menyerbu rumah tersebut. Demikian diungkapkan Nabila kepada Middle East Eye, dikutip Kamis (18/7).
Tentara penjajah itu melepaskan anjing-anjing mereka, lalu menyerang Muhammad dan mulai mengigit pemuda tersebut.
Para tentara kemudian mengusir penghuni rumah tersebut, kecuali Muhammad, yang dibawa ke ruangan lain.
Nabila Ahmed Bhar tidak bisa melihat putranya, dan hanya bisa menebak nasibnya dari teriakan kencangnya ketika dia ditodong senjata agar meninggalkan tempat tersebut.
Tujuh hari kemudian setelah pasukan penjajah Israel menarik diri dari Shujaiya, keluarga Ahmed Bhar bergegas kembali ke rumah mereka, ingin mengetahui nasib Muhammad. Namun mereka menemukan jasad Muhammad telah membusuk dan ulat memakan bagian wajahnya.
"Saya tidak bisa berhenti memikirkan teriakannya dan gambar dia berusaha membebaskan dirinya," kata Nabila.
Dia menjelaskan, down syndrome yang diderita putranya parah. Perkembangan mentalnya lambat membuatnya masih seperti seorang bayi.
"Muhammad sangat polos. Dia tidak bisa memahami. Dia tidak bisa mencerna apapun," ujarnya.
"Dia seperti berusia satu tahun. Saya biasa menyuapinya dan mengganti popoknya," lanjutnya.
"Saya tidak bisa membayangkan apa yang mereka lakukan padanya, atau bagaimana mereka membiarkannya mati seperti ini."
Pasukan penjajah Israel menyerbu Shujaiya dengan serangan udara besar-besaran pada 27 Juni. Selama dua pekan, mereka terus menerus mengebom daerah padat penduduk tersebut, menyerbu rumah-rumah dan mengusir puluhan ribu orang.
Banyak keluarga terjebak di dalam rumah mereka, seperti keluarga Ahmed Bhar.
Nabila mengatakan keluarganya dikepung seminggu sebelum pasukan Israel menyerbu mereka. Ada 16 orang di dalam rumah, termasuk dua putra Nabila beserta istri dan anak-anak mereka.
Anak-anak bersembunyi di dalam bak mandi agar tidak terkena tembakan Israel. Tapi Muhammad, yang sangat berat dan kerap menolak untuk pindah, disembunyikan di sudut paling aman di ruang tamu.
“Sebelum pengungsian baru-baru ini, kami telah mengungsi setidaknya lima kali, dan dia tidak mengerti kemana tujuan kami,” jelasnya.
“Karena dia gemuk, dia lelah dan duduk setiap beberapa langkah.”
Ketika tentara penjajah Israel tiba di rumah mereka, tentara tersebut melepaskan anjingnya yang langsung menyerang Muhammad.
"Anjing itu menggigit dadanya, lalu mulai menggigit dan menyerang tangannya. Muhammad berteriak dan berusaha melepaskan dirinya bersamaan dengan mengucurnya darah," tutur Nabila.
"Muhammad tidak bisa bicara atau mengucapkan sepatah kata pun, tapi karena takut, dia berteriak ke anjing tersebut, kadang-kadang berkata 'wala, wala' (hai, kamu), dan kadang-kadang 'Khalas ya habibi' (cukup, sayang)'."
"Saya tidak tahu bagaimana dia mengucapkan kata-kata itu; kami tidak pernah mendengar dia bicara sebelumnya."
Ketika tentara tersebut masuk lagi ke rumah mereka, Nabila memohon agar melepaskan anjing tersebut dari putranya sembari menjelaskan anaknya seorang disabilitas. Mereka akhirnya melepaskan anjing tersebut, tapi membawa Muhammad ke ruangan yang berbeda, terpisah dari yang lainnya.
"Saya bilang ke tentara itu 'Biarkan Muhammad ke sini' tapi dia bilang 'Tidak, kami akan mengobatinya,'" kata Nabila.
Ketika Nabila mendengar Muhammad berteriak meminta air beberapa jam kemudian, dia meminta tentara membawakan anaknya air.
Tentara itu menjawab: "Ada air khusus untuknya."
"Saya bisa mendengar Muhammad bergumam kesakitan. Sesekali, mereka membuka pintu, melihatnya, dan berkata ‘Oskot’ (bahasa Arab untuk diam), lalu menutupnya lagi,” kata Bhar.
“Para prajurit kemudian saling memberi isyarat. Seorang dokter yang datang bersama mereka memasuki ruangan, dan Muhammad tiba-tiba terdiam.”
Nabila menduga dokter menyuntiknya dengan obat penenang, tapi dia tidak bisa melihat atau mendengarnya setelah itu.
“Saya bertanya kepada tentara itu, 'Di mana Muhammad?' Dia bilang, 'Muhammad sudah pergi.' Saya bertanya lagi, 'Pergi kemana?' Dia menjawab, 'Dia sudah pergi. Tidak ada Muhammad,” tuturnya.
Keluarga tersebut kemudian dipaksa meninggalkan rumah mereka dan menuju ke arah barat di Kota Gaza, meninggalkan Muhammad.
Tujuh hari kemudian, keluarga tersebut kemudian menghubungi Palang Merah, memohon agar mereka membebaskan Muhammad dan memberikan pertolongan medis. Namun Palang Merah mengatakan tentara Israel tidak kooperatif.
Setelah tentara Israel keluar dari rumah tersebut awal pekan ini, kakak tertua Muhammad, Jebril (43), orang pertama yang kembali ke rumah mereka. Ketika dia masuk ke ruangan di mana Muhammad disembunyikan, dia melihat jasad adiknya penuh darah dan cairan karena jasadnya mulai membusuk.
“Dia terbaring tengkurap, tubuhnya membusuk dan cacing mulai memakan wajahnya,” kata Jebril.
Sebuah tourniquet dipasang di lengan kirinya yang terluka, mungkin untuk menghentikan pendarahan, tambahnya.
Berdasarkan kondisi jenazah, ternyata dia telah meninggal beberapa hari sebelumnya.
Karena rumah sakit tidak beroperasi dan jalan-jalan di Gaza hancur akibat pengeboman Israel, Jebril mengatakan tidak bisa menghubungi ambulans atau membawa jasad Muhammad ke pemakaman. Bahkan mereka tidak bisa melaporkan kematiannya.
"Saya harus menguburnya di dekat rumah," kata Jebril.
"Ada sekitar 1 meter lahan antara rumah saya dan rumah paman saya. Di sanalah saya mengubur Muhammad."