Banyak Tentara Israel Bunuh Diri Setelah Perang di Gaza, Dihantui Kekejaman Mereka Saat Membantai Rakyat Palestina
Setelah dikerahkan ke Gaza, tentara Israel juga banyak mengalami gangguan psikologis parah.
Tentara Israel yang kembali dari Gaza mengalami trauma psikologis yang parah, dan beberapa di antaranya bunuh diri setelah menyaksikan apa yang mereka gambarkan sebagai kengerian yang tidak dapat dipahami oleh dunia luar.
Kisah-kisah mengerikan mereka memberikan gambaran sekilas tentang realitas brutal serangan Israel di Gaza dan dampak mental yang ditimbulkan akibat kekerasan dan kebrutalan mereka terhadap warga Palestina.
Kepada CNN, sejumlah tentara penjajah Israel yang pulang dari Gaza ungkap kengerian operasi Israel di wilayah Palestina tersebut.
Mereka mengungkapkan, mereka harus “menggilas” warga Palestina yang mati atau masih hidup “dalam jumlah ratusan.” Akibat tindakan kejam itu, mereka tidak bisa makan daging dan mengatakan pemandangan tersebut memicu kenangan akan hal mengerikan yang disaksikan di Gaza.
“Ketika Anda melihat banyak daging di luar, dan darah… baik milik kami maupun mereka, maka hal itu sangat memengaruhi Anda saat Anda makan,” kata seorang tentara kepada CNN, seperti dilansir Middle East Monitor.
Salah satu tentara penjajah yang bunuh diri adalah Eliran Mizrahi (40). Mizrahi merupakan tentara cadangan yang dikerahkan ke Gaza pada 8 Oktober 2023. Dia bertugas selama 186 hari mengoperasikan buldoser D-9, kendaraan lapis baja 62-ton yang dilengkapi peledak dan peluru.
"Kami melihat hal yang sangat, sangay, sangat sulit," kata Guy Zaken, salah satu rekan Mizrahi dan salah satu operator buldoser D-9 kepada CNN.
"Hal-hal yang sulit diterima," lanjutnya.
Krisis Kesehatan Mental
Sebelum bunuh diri, Mizrahi menderita gejala gangguan stres pascatrauma (PTSD) yang parah, termasuk kemarahan, berkeringat, susah tidur, dan menarik diri dari pergaulan. Keluarganya melaporkan, Mizrahi berulang kali mengatakan anya mereka yang bertugas bersamanya yang benar-benar dapat memahami apa yang dia saksikan.
“Dia melihat banyak orang meninggal,” kata ibunya.
“Mungkin dia bahkan membunuh seseorang.”
Tentara penjajah Israel sedang bergulat dengan krisis kesehatan mental yang belum pernah terjadi sebelumnya di jajarannya. Menurut divisi rehabilitasi Kementerian Pertahanan Israel, sekitar 1.000 tentara dikeluarkan dari pertempuran setiap bulannya, dan 35 persen di antaranya melaporkan masalah kesehatan mental. Proyeksinya adalah pada akhir tahun ini, 14.000 tentara yang terluka akan memerlukan perawatan, dan 40 persennya diperkirakan akan menghadapi masalah kesehatan mental.
Tantangan Psikologis
Menurut Ahron Bregman, seorang ilmuwan politik di King’s College London dan mantan tentara Israel, Gaza menghadirkan tantangan psikologis yang unik karena sifat perkotaannya dan durasinya yang lama.
“Bagaimana Anda bisa menidurkan anak-anak Anda ketika, Anda tahu, Anda melihat anak-anak dibunuh di Gaza?” dia bertanya.
Israel saat ini sedang diselidiki oleh Mahkamah Internasional (ICJ) atas tuduhan genosida.
Bregman kemudian menjelaskan, operator buldoser lapis baja termasuk di antara mereka yang paling terkena dampak langsung dari kebrutalan operasi Israel di Gaza.
“Apa yang mereka lihat adalah orang-orang mati, dan mereka membersihkannya dengan puing-puing,” kata Bregman kepada CNN.
“Mereka memeriksanya.”
Angka Bunuh Diri
Di seluruh Israel, masalah bunuh diri tidak hanya terjadi di kalangan militer. Lebih dari 500 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya, dan lebih dari 6.000 orang mencoba bunuh diri. Kementerian Kesehatan mengakui adanya kemungkinan 23 persen yang tidak melaporkan angka-angka tersebut, sehingga menunjukkan skala sebenarnya dari krisis ini mungkin lebih besar lagi.
Khususnya di kalangan tentara penjajah, bunuh diri dilaporkan sebagai penyebab utama kematian di kalangan tentara pada tahun 2021, dengan setidaknya 11 tentara bunuh diri pada tahun tersebut.
Tingkat PTSD yang dialami Mizrahi terungkap di tengah kontroversi, ketika tentara pendudukan pada awalnya menolak memberinya pemakaman militer. Tentara terpaksa membatalkan keputusannya menyusul protes masyarakat.