Tentara Israel Akui Mereka Kini Lelah, Patah Semangat, dan Mentalnya Hancur karena Perang di Gaza
Majalah Israel mewawancarai sejumlah tentara dan orang tua mereka soal kondisi mereka saat ini.
Tentara Israel diam-diam menolak perintah untuk kembali ke Jalur Gaza untuk berperang melawan kelompok perlawanan Palestina dengan mengatakan bahwa mereka tertekan, lelah, trauma hancur secara psikologis dan tidak termotivasi. Demikian dilaporkan majalah Ha-Makom dua hari lalu.
Dikutip dari laman The Cradle, majalah tersebut mewawancarai sejumlah tentara dan orang tua tentara yang menolak kembali ke Gaza ketika baru-baru ini satu peleton yang terdiri dari 30 tentara dari Brigade Nahal diperintahkan untuk kembali ke Gaza, tapi hanya ada enam orang yang melapor untuk bertugas.
-
Siapa yang mengungkapkan kondisi tentara Israel di Gaza? Seorang pensiunan tentara Israel mengungkap kondisi tentara mereka sedang kacau balau dalam menjalankan misi pertempuran di Jalur Gaza. Kekacauan itu disebabkan kurangnya peralatan dan pasokan logistik.Mantan Mayor Jenderal Itzhak Brik mengatakan sudah menyampaikan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahwa tentara Israel tidak dalam kondisi langsung siap berperang setelah peristiwa serangan kelompok Hamas pada 7 Oktober lalu.
-
Bagaimana keadaan warga Gaza setelah serangan Israel? 'Situasi kemanusiaan menjadi sangat menyedihkan, tidak hanya bagi penduduk kota Rafah tetapi juga bagi satu juta warga Palestina yang mengungsi di sini yang kelaparan, haus, dan trauma karena perang terus berlangsung,' jelas reporter Al Jazeera, Hani Mahmoud, yang melaporkan dari Rafah.
-
Kenapa tentara Israel kurang siap berperang? 'Timnya (Netanyahu) tidak mau dia mendengar kondisi yang sebenarnya jadi mereka menjauhkan dia dari saya. Saya sudah katakan tentara tidak siap untuk berperang karena banyak prajurit yang tidak berlatih selama lima tahun dan peralatan pun kurang,' ujar Brik kepada harian berbahasa Ibrani Maariv yang diterbitkan kemarin, seperti dikutip laman New Arab, Sabtu (24/2).
-
Apa yang dilakukan tentara Israel di Gaza? Salah seorang pengguna media X menyebutkan bahwa operator D-9 yang sama, yaitu Guy Zaken dan Eliran Mizrahi yang bunuh diri baru-baru ini, sebelumnya sempat diwawancarai pada April 2024.
“Saya menyebutnya penolakan dan pemberontakan,” kata Inbal, ibu dari salah satu prajurit dalam peleton tersebut.
"Mereka kembali ke bangunan yang sama yang sudah diamankan. Mereka sudah tiga kali ke kawasan Al-Zaytoun. Mereka paham itu sia-sia dan tidak ada gunanya."
Meski hanya memiliki seperlima personel tapi komandan mereka tetap bersikeras memasuki Gaza.
“Karena mereka adalah tim kecil, mereka tidak bisa pergi menjalankan misi. Mereka hanya tinggal di sana dan menunggu waktu berlalu. Itu bahkan lebih tidak perlu,” kata Inbal.
Penolakan dalam diam
Tentara Israel menghancurkan rumah-rumah dengan bahan peledak, menembak anak-anak, menyerang rumah sakit dan sekolah yang dihuni pengungsi, dan menghancurkan infrastruktur air dan listrik warga Gaza.
Salah satu orang tua tentara di Nahal mengatakan, menurut putranya, "Barak militer kosong. Mereka yang tidak mati atau terluka mentalnya sudah rusak. Hanya sedkit yang mau kembali berperang. Dan mereka juga tidak sepenuhnya siap."
Setelah serangan pasukan darat Israel ke Lebanon yang menyebabkan banyak tentara tewas atau luka, putranya berkata,"Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran militer soal menyerbu Lebanon, tapi saya tidak mau kembali ke batalyon."
Para ibu dari tentara-tentara itu mengatakan fenomena ini sebagai "penolakan dalam diam".
Prajurit merasa sudah anjlok moralnya tapi harus kembali ke Gaza tempat mereka berperang berbulan-bulan dan seharusnya sudah mengalahkan Hamas.
"Ketika mereka kembali ke daerah seperti Jabalia, Al-Zaytoun, dan Shujaiya, mereka sudah patah semangat," ujar seorang ibu bernam Eidit.
Pemandangan mengerikan
"Tempat-tempat itu adalah lokasi mereka kehilangan rekan-rekannya. Daerah itu sudah diamankan dan harus dijaga. Itu membuat mereka frustrasi. Yang membunuh mereka pelan-pelan adalah kondisi dan durasi perang yang tidak tampak tanda-tanda akan berakhir. Kita tidak tahu kapan bisa keluar, ini sudah setahun lebih. Belum lagi banyak yang tewas dan pemandangan mengerikan yang mereka lihat di Gaza."
Yael, ibu dari seorang tentara di brigade komando, menceritakan bahwa putranya mengatakan, “Kami seperti sasaran empuk di medan perang. Kami tidak mengerti apa yang kami lakukan di sini. Para tawanan tidak kembali untuk kedua dan ketiga kali, dan Anda lihat itu tidak ada habisnya, dan tentara terluka dan tewas dalam perjalanan.”
Ha-Makom menambahkan, "setelah 12 bulan turut berperang tanpa hasil, para prajurit menjadi 'hitam'. Dalam bahasa gaul militer, ini berarti mereka tertekan, lelah, dan patah semangat."
Reporter Magang: Elma Pinkan Yulianti