Buku Karya Penyintas Uighur Beberkan Kekejaman China di Kamp Konsentrasi Xinjiang
Buku ini ditulis bersama jurnalis Le Figaro, Rozenn Morgat dan diterbitkan dalam Bahasa Prancis pada 13 Januari.
Setelah tiga tahun yang mengerikan berada di kamp pendidikan ulang China, Gulbahar Haitiwaji, seorang perempuan Uighur dipikat agar kembali ke China dari Prancis hanya untuk ditangkap, diinterogasi, dan disiksa, seperti diceritakan dalam sebuah buku yang baru terbit.
"Di kamp, hidup dan mati tak berarti sama seperti yang berlaku di tempat lain. Ratusan kali lebih saya pikirkan, ketika hentakan kaki penjaga membangunan kami pada malam hari, bahwa saatnya kami dieksekusi. Ketika sebuah tangan dengan kejam menekan gunting di seluruh tengkorakku, dan tangan lain merenggut rambutku yang rontok di pundakku, saya tutup mata, kabur dengan air mata, berpikir akhir hidupku begitu dekat," tulis Gulbahar Haitiwaji dalam bukunya, “Rescapée du Goulag Chinois” (“Penyintas Penjara China”).
-
Mengapa warga Uighur merasa diperlakukan tidak adil di China? Abdul mengatakan, saat ini terdapat ratusan tempat pengungsian konsentrasi yang mengelilingi pemukiman warga Uighur. Kamp konsentrasi ini diperkenalkan kepada dunia internasional sebagai pusat pendidikan. Namun kenyataannya kamp konsentrasi tersebut ditujukan untuk menghapuskan identitas agama dan bangsa Uighur serta membuat mereka lupa seorang muslim."Penerintah komunis China mengkriminalisasi praktek Islam yang normal," kata Abdul.
-
Apa yang terjadi pada warga Uighur di China yang membuat mereka terpisah dari keluarga? Abdul mengaku mendapat telepon dari kerabat di Shanghai pada September 2017. Menurut Abdul, kerabatnya itu mengabarkan bahwa adiknya diambil dari kamp konsentrasi warga Uighur di China. "Dan kemudian mereka tidak tahu tentang orang tuaku. Itu terakhir kali aku mendengar kabar dari mereka," ujar Abdul ketika menjadi narasumber pada agenda konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' diselenggarakan oleh OIC Youth Indonesia di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
-
Siapa yang menganggap pelanggaran HAM di China terhadap warga Uighur sebagai tindakan pelanggaran HAM? Presiden Organization of Islamic Conference (OIC) Youth Indonesia, Astrid Nadya Rizqita menilai banyak dugaan pelanggaran HAM dalam persoalan warga Uighur."Kalau merujuk pada HAM, kebebasan beragama, itu banyak sekali hal-hal yang melanggar HAM," kata Astrid saat menyampaikan pidato pembukaan di konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
-
Bagaimana cara Indonesia bisa membantu warga Uighur di China? Menurutnya, Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip non-intervensi juga bukan berarti hanya bisa diam, tetapi dapat menerapkan mekanisme dialog ataupun diplomasi untuk ikut bersuara dalam permasalahan dunia. "Ini bukan berarti kita diam atau memalingkan kepala. Namun, bukan berarti indonesia juga langsung lantas berangkat ke sana, tapi kita dapat menggunakan mekanisme dialog dan diskusi," ujar Astrid.
-
Apa yang ditemukan di China selatan? Sebuah fosil buaya yang telah punah ditemukan dengan kondisi terpenggal di China selatan.
-
Apa yang ditemukan oleh ilmuwan di China? Ilmuwan menemukan fosil larva cacing yang hidup sekitar 500 juta tahun lalu.
Buku ini ditulis bersama jurnalis Le Figaro, Rozenn Morgat dan diterbitkan dalam Bahasa Prancis pada 13 Januari.
Selama tiga tahun, Haitiwaji, penutur Bahasa Turki, seorang Muslim, minoritas Uighur, mengalami penyiksaan di kamp pendidikan ulang China. Dalam bukunya, ibu dua putri ini mengisahkan interogasi, penyiksaan, kelaparan, pencucian otak, dan pemaksaan KB yang dia alami dan saksikan.
Menghilangkan Orang
Haitiwaji lahir pada 1966 di provinsi barat laut China. Seorang insinyur seperti suaminya, dia mulai bekerja pada 1980 di sebuah perusahaan minyak di Karamay. Diskriminasi terhadap Uighur sudah sangat mengakar pada saat itu, dan secara profesional di dunia kerja, prospek mereka kecil.
Semuanya berubah
Pada 2002, suami Haitiwaji tak bisa lagi menghadapi situasi demikian, kemudian memutuskan mengundurkan diri dan mencari kerja ke luar negeri. Pertama, suaminya ke Kazakhstan dan kemudian ke Norwegia, sebelum menetap di Paris, di mana dia mengajukan suaka dan empat tahun kemudian membawa istri dan putrinya.
Selama bertahun-tahun, keluarganya secara bertahap beradaptasi. Namun pada November 2016, semuanya berubah.
Haitiwaji, yang saat itu berusia 50 tahun, suatu hari menerima telepon dari bekas perusahaannya di China, memanggilnya untuk menandatangani beberapa dokumen resmi yang diperlukan untuk pensiunnya. Dia memiliki firasat buruk, mengetahui orang-orang Uighur yang diasingkan sedang diawasi dan di Xinjiang, perburuan sedang berlangsung. Tetapi perusahaan bersikeras dan terlepas dari firasatnya, dia memutuskan untuk pergi ke China, hanya selama dua minggu.
Benar saja, itu jebakan. Tak lama setelah tiba, Haitiwaji ditangkap dan dibawa ke kantor polisi Karamay, di mana dia ditunjukkan foto seorang perempuan muda yang sangat dia kenal - salah satu putrinya, Gulhumar.
"Dia berpose di depan Place du Trocadéro di Paris, terbungkus mantel hitamnya, yang akan saya berikan padanya. Dalam foto itu, dia tersenyum, sebuah miniatur bendera Turkestan Timur (nama yang digunakan oleh orang Uighur untuk menyebut Xinjiang) di tangannya, sebuah bendera yang dilarang oleh pemerintah China. Bagi orang Uighur, bendera itu melambangkan gerakan kemerdekaan daerah itu. Itu adalah akhir dari salah satu demonstrasi yang diselenggarakan oleh Kongres Uiuughur Dunia cabang Prancis, yang mewakili Uighur di pengasingan dan berbicara menentang penindasan China di Xinjiang," tulis Haitiwaji dalam bukunya, dikutip dari France 24, Senin (18/1).
Pihak berwenang China menuduh putri Gulmuhar melakukan terorisme dan ibunya harus bertanggung jawab.
Haitiwaji ditahan dan dipisahkan dari keluarganya.
"Tak ada seperti Xinjiang di seluruh wilayah China lainnya. Membuat seseorang hilang sangat mungkin. Lebih buruk lagi: itu mudah," ungkapnya.
Selama beberapa pekan, dia dikunci di sebuah dan penyiksaan dimulai. Dia dinilai seorang kriminal, tanpa tahu alasannya.
"Penjaga datang pada suatu pagi dan mengikatku dengan rantai ke jeruji ranjang, tanpa kata. Itu dua pekan lalu. Sejak saat itu, saya hidup duduk bersandar di sisi ranjang besi, pantat saya berdebu. Saya bisa naik ke kasur untuk malam ini."
Dipindah ke Kamp
Pada Juni 2017, pihak berwenang memindahkan Haitiwaji pusat pendidikan ulang di mana para guru berusaha "menghapus terorisme Islam" dari pikiran warga Uighur. Menurut Amnesty International dan Human Rights Watch, lebih dari 1 juta Uighur sedang atau telah dipindahkan ke kamp-kamp ini.
Para tahanan menjadi target pencucian otak intensif. Mereka dilarang berbicara bahasa asli mereka dan kamera mengawasi mereka setiap saat di dalam sel mereka, koridor, dan bahkan toilet.
Hari-hari mereka dihabiskan dengan belajar sejarah China dan deklarasi untuk mengglorifikasi Presiden China Xi Jinping.
Sterilisasi Perempuan dengan Dalih Vaksinasi
Perempuan juga dikirim untuk divaksinasi, tapi menurut Haitiwaji, mereka malah disterilkan. Dia menyadari hal ini saat berbicara dengan tahanan lain.
"Selama waktu luang, banyak yang curhat kepada saya, malu karena tidak mendapat menstruasi lagi. Mereka bilang menstruasi mereka berhenti tepat setelah vaksinasi. Saya yang sudah berhenti menstruasi mencoba menenangkan mereka. Tapi jauh di lubuk hati, sebuah pemikiran buruk sudah mulai terbentuk: Apakah mereka mensterilkan kami?"
Menurut penyelidikan yang diterbitkan Juni lalu oleh AP, pemerintah China telah melakukan tes kehamilan kepada perempuan Uighur di Xinjiang dan memaksa mereka untuk memakai IUD, menjalani sterilisasi atau menggugurkan kandungan mereka.
Bebas dan Kembali ke Prancis
Pada November 2018, dua tahun setelah penangkapannya dan di akhir persidangan selama sembilan menit, Haitiwaji dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara.
Tapi ribuan kilometer jauhnya, keluarganya berjuang untuk mendapatkan kabarnya dan, yang lebih penting, berusaha membebaskannya. Putrinya Gulhumar memutuskan untuk berbicara di depan umum. Pada Februari 2019, Gulhumar meluncurkan pengajuan banding pertama di France 24.
"Putri saya belum mengetahuinya, tapi dia baru saja memicu permusuhan. Dia berbicara secara terbuka dan menuduh China melakukan perlakuan tidak manusiawi," tulis Hatiwaji.
Masalah ini sekarang ditangani Kementerian Luar Negeri Prancis. Diplomasi akhirnya dimulai, karena suami dan anak perempuan Haitiwaji berstatus pengungsi di Prancis. Negosiasi berlangsung lama, namun akhirnya Haitiwaji dipindahkan ke sebuah apartemen dan dijadikan tahanan rumah.
Pada Agustus 2019, setelah persidangan singkat, hakim dari Karamay menyatakan dia tidak bersalah dan diizinkan meninggalkan Xinjiang dan berkumpul kembali dengan keluarganya di Prancis tanpa menjalani hukuman. Kelegaannya terlihat jelas, tetapi bekas lukanya permanen.
"Saya kehilangan akal sehat di kamp, itu benar. Tapi ini semua sangat nyata. Apa yang saya alami adalah bukan ekspresi fantasi tidak wajar dari seorang tahanan yang melebih-lebihkan kondisinya. Saya terbawa, seperti ribuan orang lainnya, dalam kegilaan China. China yang mendeportasi. China yang menyiksa. China yang membunuh warga Uighurnya."
Setelah tiga tahun “kegilaan” ini, Haitiwaji telah memilih untuk berbicara secara terbuka, meskipun membahayakan dirinya dan, terutama, kepada kerabatnya yang masih tinggal di China. Dia sekarang ingin menjadi suara bagi warga Uighur yang menjadi korban penindasan brutal China.
(mdk/pan)