Didukung Teknologi AI, Berita Hoaks dan Menyesatkan Merajalela Jelang Pemilihan Presiden AS 2024
Kemajuan teknologi kecerdasan buatan membuat masyarakat semakin kesulitan untuk membedakan antara informasi yang benar dan disinformasi.
Menjelang pemilihan presiden (pilpres), masyarakat Amerika Serikat (AS) juga dihadapkan pada masalah informasi palsu atau hoaks yang beredar di dunia maya. Berbagai kebohongan mengenai isu-isu, mulai dari kecurangan dalam pemilu hingga narasi menyesatkan tentang para kandidat, menyebar dengan cepat melalui media sosial, sering kali didukung oleh teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
"Ini masalah besar. Hampir 60 persen warga AS mengatakan mereka tidak tahu apa yang harus dipercayai tentang pemilu," ungkap Carah Ong Whaley, wakil presiden perlindungan pemilu di Issue One, sebuah organisasi pengawas pemilu nirlaba, seperti yang dilaporkan oleh CNA pada Selasa (5/11/2024).
- Menkomdigi Meutya Hafid Ingatkan Pesan Presiden Prabowo: Gunakan AI dengan Bijak
- Perangkat Teknologi dan Alat Komunikasi Indonesia Didominasi Impor, Presiden Jokowi: Kenapa Kita Diam? Kaget?
- Menkominfo Take Down 1.971 Berita Hoaks di Media Sosial Terkait Pemilu
- Pesan Jokowi ke MA: Hakim Harus Peka Terhadap Rasa Keadilan Masyarakat
Sebuah video yang viral menunjukkan surat suara Pemilu AS yang diduga dirobek di negara bagian Pennsylvania. Namun, badan intelijen AS menyatakan bahwa video tersebut adalah palsu dan merupakan hasil dari propaganda yang dibuat oleh Rusia. Washington menuduh pihak asing berusaha mengganggu proses pemungutan suara dengan menyebarkan informasi yang tidak benar, dengan badan intelijen secara khusus menyebut Rusia, Iran, dan China sebagai pelaku dalam kampanye pengaruh pemilu.
Perubahan signifikan dalam lanskap media sosial telah mempermudah penyebaran disinformasi, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa disinformasi dapat berpengaruh besar dalam Pilpres AS.
Sejak pemilihan presiden AS pada tahun 2020, banyak perusahaan, termasuk Meta yang merupakan induk dari Facebook dan Instagram, telah mengurangi upaya mereka dalam memoderasi konten. Tanpa adanya kewajiban hukum untuk melakukannya di Amerika Serikat dan menghadapi tekanan politik dari kedua belah pihak, banyak perusahaan beranggapan bahwa tindakan tersebut tidak sebanding dengan risikonya.
Menurut Justin Buchler, seorang profesor madya ilmu politik di Case Western Reserve University, platform digital sering kali kesulitan dalam membedakan antara kebenaran dan kebohongan.
"Ketika kita menghadapi dilema semacam itu, masalah yang dihadapi perusahaan media sosial adalah jika mereka mulai melabeli suatu informasi sebagai misinformasi dan disinformasi, dan membatasinya dengan cara tertentu - apa yang terjadi jika klaim itu ternyata benar?" tanyanya. "Sulit untuk mengatakan berapa banyak suara yang dipengaruhi oleh misinformasi atau disinformasi. Namun dalam pemilu yang ketat -- seperti pemilu 2024 -- pada prinsipnya, bahkan sejumlah kecil suara dapat menentukan hasil."
Informasi yang salah dapat menyebar dengan cepat
Menurut para ahli, disinformasi dapat dengan cepat menyebar secara organik, baik itu bertujuan untuk mendukung kandidat tertentu maupun sekadar menciptakan kekacauan.
Penelitian menunjukkan bahwa berita palsu di platform media sosial, terutama Facebook, berkontribusi besar dalam menyebarkan kebohongan yang berujung pada kerusuhan kekerasan pada tanggal 6 Januari 2021. Pada hari tersebut, para pendukung presiden saat itu, Donald Trump, yang juga merupakan calon dari Partai Republik, menyerbu Capitol dengan tujuan mencegah Joe Biden dilantik, karena mereka meyakini bahwa hasil pemilihan tersebut tidak jujur.