Masyarakat Terus Diingatkan Waspadai Penyalahgunaan AI untuk Penyebaran Disinformasi
Perlunya materi pengenalan AI dimasukkan dalam kurikulum formal di bangku sekolah.
Penggunaan teknologi Artificial Intelligence atau AI memberi kemudahan selama digunakan untuk hal positif. Namun, tanpa regulasi jelas AI rentan disalahgunakan untuk penyebaran disinformasi.
Ketua Umum Komite Penyelarasan Teknologi Informasi Komunikasi (KPTIK) Dedi Yudianto menjelaskan bahwa masyarakat perlu menyiapkan kompetensinya untuk hidup berdampingan dengan AI.
"Perlu meningkatkan kesadaran masyarakat dan aparatnya tentang potensi penggunaan AI. Karena selain untuk tujuan positif, kelompok teror juga menggunakan AI untuk agenda mereka," terang Dedi, Jumat (26/7).
Oleh karena itu, dirinya mengatakan agar pengembangan teknologi untuk mengidentifikasi aktivitas terorisme yang memanfaatkan AI juga perlu diperhatikan secara serius oleh Pemerintah. Kolaborasi internasional juga diperlukan dalam pertukaran informasi dan strategi, serta penguatan regulasi untuk mengawasi penggunaan AI.
Dedi selaku CEO dari Cybers Group ini menambahkan tentang perlunya monitoring aktivitas online untuk mendeteksi pola perilaku mencurigakan, serta pelatihan SDM, khususnya di bidang penegakan hukum untuk menghadapi ancaman penyalahgunaan AI secara efektif.
Terkait pelibatan Artificial Intelligence pada tindak kejahatan terorisme di dunia, Dedi mengemukakan bahwa sampai saat ini belum ada indikasi yang mengarah ke sana. Namun, potensi penyalahgunaan AI tetap saja ada karena begitu mudahnya teknologi ini diakses oleh berbagai kalangan untuk beragam kepentingan.
"Sejauh ini, tidak ada bukti atau laporan menunjukkan pemanfaatan AI dalam gerakan teror dalam skala internasional. Namun, kemudahan dan kecanggihannya mungkin saja menjadi ancaman dalam bentuk propaganda radikal. Pemerintah dan lembaga keamanan internasional perlu mengadakan penelitian terkait potensi risiko ancaman teror melalui pemanfaatan AI," ujar Dedi.
Menurut Dedi, membedakan antara konten yang dibuat oleh kecerdasan buatan (AI) dan yang tidak menggunakan AI relatif sulit. Beberapa petunjuk yang dapat digunakan dengan melihat kualitas yang sangat baik dan konsistensi visual dari konten AI serta kejanggalan dalam konteks atau logika yang disampaikan.
"Verifikasi sumber dan penggunaan alat deteksi lainnya bisa saja memberikan petunjuk tambahan, meskipun belum ada metode yang definitif untuk membedakannya dengan pasti, seiring dengan perkembangan teknologi," imbuhnya.
Ketua Pelaksana Jurnalis Kebangsaan Mahasiswa ini juga merasa perlunya materi pengenalan AI dimasukkan dalam kurikulum formal di bangku sekolah. Menurutnya, AI semakin mempengaruhi banyak aspek kehidupan dari teknologi hingga pekerjaan.
Dengan memasukkan AI ke dalam kurikulum sekolah, siswa dapat memahami dasar-dasar teknologi ini, etika penggunaannya, serta persiapan untuk masa depan di dunia yang semakin terhubung dan serba digital.
Hadirnya AI juga menjadi disrupsi tersendiri bagi ranah penegakan hukum, tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Sebabnya, AI dapat mendukung berbagai tindak kejahatan yang belum sepenuhnya terawasi oleh kemampuan deteksi para penegak hukum dan analisis forensik.
"Semua hal, termasuk AI memerlukan regulasi yang tepat dan pemahaman yang mendalam akan implikasi pada etika serta privasi seluruh pihak yang terlibat dalam penggunaannya. Hadirnya AI dalam hidup kita adalah keniscayaan, mau tidak mau kita harus mengikuti trend yang sangat cepat," pungkasnya.