Kisah Pilu Bocah Gaza yang Meninggal Karena Kelaparan, "Tak Perlu Keajaiban Untuk Menyelamatkannya, Dia Hanya Butuh Makan!"
Lebih dari 30 anak meninggal akibat gizi buruk akut di Gaza utara.
Lebih dari 30 anak meninggal akibat gizi buruk akut di Gaza utara.
Kisah Pilu Bocah Gaza yang Meninggal Karena Kelaparan, "Tak Perlu Keajaiban Untuk Menyelamatkannya, Dia Hanya Butuh Makan!"
Israel tidak hanya membombardir Jalur Gaza, Palestina, dalam agresi brutalnya, namun negara penjajah itu juga sengaja membuat warga Gaza kelaparan dengan menutup akses bantuan.
Sumber: Mondoweiss
- Mati Pelan-Pelan, Nestapa Warga Gaza Tinggal Bersama Sampah dan Tikus di Pengungsian
- Baru Sehari Pulang Dari Gaza, Tentara Israel Bunuh Diri Tembak Kepalanya Sendiri
- Seorang Pria Kehilangan 103 Kerabatnya di Gaza, "Siapa yang Akan Memanggil Saya Ayah?"
- Dari Bangun Tidur Sampai Tidur Lagi, Begini Pengalaman Menjadi Warga Gaza dalam Sehari
Sejumlah warga termasuk beberapa anak-anak meninggal karena kelaparan dan gizi buruk akut. Salah satunya Yazan Kafarneh (9).
Keluarga Yazan saat ini mengungsi di lingkungan Sekolah Rab'a di Kota Rafah, di lingkungan Tal al-Sultan, Gaza selatan. Pada awal perang, ayahnya, Sharif Kafarneh, bersama ibunya, Marwa, dan tiga adik laki-lakinya melarikan diri dari Beit Hanoun di utara Gaza. Yazan Kafarneh adalah anak sulung dari empat bersaudara: Mouin (6), Ramzi (4), dan Muhammad (4 bulan).
Hidup dalam kondisi yang tidak layak untuk dihuni manusia, keluarga yang berduka ini menyaksikan kematian Yazan di depan mata mereka. Tubuh Yazan yang ringkih semakin kurus dari hari ke hari hingga tidak ada yang tersisa dari Yazan kecuali kulit dan tulang.
Sharif tidak bisa berbuat banyak. Putranya memiliki penyakit bawaan yang membutuhkan pola makan khusus.
"Yazan membutuhkan perawatan dan nutrisi khusus," kata Sharif.
Yazan menderita atrofi otot bawaan yang membuatnya sulit bergerak dan berbicara, tetapi Sharif mengatakan bahwa hal itu tidak pernah membuatnya bersedih selama sembilan tahun sebelum perang.
"Dia hanya memiliki kebutuhan nutrisi tingkat lanjut," jelas Sharif. "Namun, mendapatkan makanan untuknya tidak pernah menjadi masalah sebelum perang."
Merupakan kebanggaan tersendiri bagi Sharif bahwa, sebagai sopir taksi, dia tidak pernah membiarkan anaknya kekurangan apa pun.
"Hal itu berubah dalam perang. Makanan tertentu yang dia butuhkan terputus," katanya. "Misalnya, Yazan harus makan malam dengan susu dan pisang setiap hari. Dia tidak bisa melewatkan satu hari pun tanpa makanan itu, dan terkadang dia hanya bisa makan pisang. Inilah yang dikatakan para dokter kepada kami."
"Setelah perang, saya tidak bisa mendapatkan sebiji pisang pun," lanjut Syarif. "Dan untuk makan siang, dia harus makan sayur rebus dan buah yang dihaluskan dengan blender. Kami tidak memiliki listrik untuk blender, dan tidak ada buah atau sayuran lagi."
Untuk sarapan, Yazan harus makan telur. "Tentu saja, tidak ada lagi telur di Kota Rafah," kata Syarif. "Tidak ada buah-buahan, tidak ada sayuran, tidak ada telur, tidak ada pisang, tidak ada apa pun."
"Namun, kebutuhan anak kami tidak pernah menjadi masalah bagi kami," Sharif buru-buru menambahkan. "Kami senang merawatnya. Dia adalah anak yang paling manja dalam keluarga, dan adik-adiknya juga mencintainya dan merawatnya. Tuhan memberi saya nafkah agar saya bisa merawatnya."
Rumah Yazan di Beit Hanoun sebelum perang sering dikunjungi oleh lembaga amal karena kebutuhan, memberikan perawatan seperti terapi fisik dan terapi wicara. Yazan memiliki masa kecil yang produktif dan bahagia.
Keluarga itu terus merawat Yazan selama perang. Mereka mencoba bertahan dengan apa yang bisa mereka temukan, berusaha sebisa mungkin mencari alternatif makanan yang dibutuhkan Yazan. "Saya mengganti pisang dengan Halawa (penganan berbahan dasar tahini), dan saya mengganti telur dengan roti yang direndam dalam teh," kata Syarif. "Tetapi makanan-makanan ini tidak mengandung nutrisi yang dibutuhkan Yazan."
Selain kebutuhan nutrisinya, Yazan juga harus mengonsumsi obat-obatan tertentu. Sharif sering membawakan obat perangsang otot dan otak, yang membantunya hidup dan bergerak. Ini memungkinkannya merangkak dan bergerak di rumah mereka. Selama minggu kedua perang, obat-obatan habis.
Dengan kurangnya nutrisi dan pengobatan, kondisi kesehatannya semakin memburuk. "Saya melihat dia mulai sakit, dan tubuhnya menjadi kurus," cerita Sharif.
"Dia semakin kurus dan semakin kurus."
Keluarganya membawanya ke Rumah Sakit al-Najjar di Rafah, di mana kesehatannya terus memburuk selama 11 hari.
"Bahkan setelah kami membawanya ke rumah sakit, mereka tidak dapat melakukan apa pun untuknya," lanjut Syarif. "Yang bisa mereka berikan hanyalah cairan infus dan ketika keadaannya memburuk, staf rumah sakit memasang selang makanan di hidungnya."
"Anak saya membutuhkan selang dengan ukuran 14 unit, tetapi yang dimiliki rumah sakit hanya 8 unit," tambahnya.
Muhammad al-Sabe', seorang ahli bedah anak di Rafah yang bekerja di rumah sakit al-Awda, al-Najjar, dan al-Kuwait, menaruh perhatian khusus pada kasus Yazan.
"Kondisi keras yang harus dihadapi Yazan, termasuk malnutrisi, merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap penurunan kesehatannya dan akhirnya kematiannya," jelasnya kepada Mondoweiss.
"Ini adalah penyakit genetik dan bawaan lahir, dan membutuhkan perawatan khusus setiap hari, termasuk protein tertentu, obat-obatan infus, dan terapi fisik setiap hari, yang tidak tersedia di Rafah."
Dr. al-Sabe' mengatakan sebagian besar makanan yang diberikan kepada pasien yang tidak dapat makan sendiri melalui selang makanan tidak tersedia di Gaza. "Penjajah mencegah masuknya makanan dan obat-obatan tertentu," jelasnya.
"Jika keadaan tidak berubah, jika tetap seperti sekarang, kita akan menyaksikan kematian massal di kalangan anak-anak," tegasnya.
Sekitar 335.000 anak di Gaza mengalami gizi buruk ekstrem selama berbulan-bulan dan lebih dari dari 30 anak meninggal akibat malnutrisi di Gaza utara. Jumlah ini mungkin jauh lebih besar karena banyak daerah di utara tidak melaporkan kasus ini.
Ibu Yazan, Marwa Kafarneh, hampir tidak bisa menahan air matanya ketika ia berbicara tentang putranya. "Dia adalah anak yang normal meskipun menderita penyakit," katanya kepada Mondoweiss.
Ketika dia melihat foto-foto jenazah anaknya yang kurus kering menjadi viral di media sosial, Marwa mengatakan bahwa dia lebih memilih mati daripada melihat foto-foto tersebut.
"Anak sulung saya meninggal di depan mata saya, di depan mata kami semua," katanya. "Kami tidak bisa menyelamatkannya. Dan dia juga tidak membutuhkan keajaiban untuk menyelamatkannya. Yang dia butuhkan hanyalah makanan yang selalu kami sediakan untuknya."
Sambil merenung sambil menangis, ia menambahkan, "Namun, untuk mendapatkan makanan di Gaza hari ini, tidak ada yang lebih baik dari sebuah keajaiban."