Tak Tersisa Tempat Aman di Gaza, Israel Bom Kota Rafah Setelah Hamas Setujui Perjanjian Gencatan Senjata
Jutaan warga Palestina di Gaza terjebak di Rafah, satu-satunya tempat yang sebelumnya disebut "koridor aman".
Jutaan warga Palestina di Gaza terjebak di Rafah, satu-satunya tempat yang sebelumnya disebut "koridor aman".
Tak Tersisa Tempat Aman di Gaza, Israel Bom Kota Rafah Setelah Hamas Setujui Perjanjian Gencatan Senjata
Tidak lama setelah Hamas menerima proposal gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat, militer Israel mengintensifkan pengeboman brutalnya di kota Rafah, Jalur Gaza, Palestina pada Senin (6/5) malam.
Kota kecil yang menjadi tempat tinggal bagi 1,5 juta warga Palestina yang mengungsi ini dihantam serangan udara dan tembakan artileri, menurut media Palestina. Beberapa orang dilaporkan tewas dan terluka, seperti dilansir Middle East Eye, Senin (6/5).
Seorang jurnalis Palestina melaporkan adanya suar di langit malam dan penduduk setempat melaporkan adanya puluhan drone pengintai yang terbang di atas kepala.
Kantor berita Wafa dan media Mesir melaporkan kendaraan militer Israel bergerak maju ke arah penyeberangan Rafah di sisi Palestina dengan Mesir, dan juga penyeberangan Karem Shalom dengan Israel.
Militer Israel mengumumkan mereka akan melakukan serangan yang ditargetkan terhadap Hamas di Rafah timur.
Serangan militer di Rafah terjadi setelah Hamas mengumumkan mereka menerima proposal gencatan senjata dari Qatar dan Mesir.
Proposal tersebut terdiri dari tiga tahap. Pada tahap pertama, warga Palestina yang mengungsi bisa kembali ke rumah-rumah mereka dan pasukan Israel harus ditarik secara menyeluruh dari koridor Netzarim. Fase kedua adalah pengumuman penghentian operasi militer secara permanen. Fase terakhir adalah penghentian blokade Jalur Gaza secara keseluruhan.
Sebagai gantinya, Israel diharapkan membebaskan sejumlah tahanan Palestina yang tidak disebutkan jumlahnya, menarik pasukannya dari wilayah tertentu di Jalur Gaza, dan mengizinkan warga Palestina melakukan perjalanan dari selatan wilayah itu ke utara.
Sejumlah negara seperti Qatar, Mesir, dan Turki, menyambut baik penerimaan Hamas atas proposal tersebut, namun kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan Israel tetap melanjutkan invasinya ke Rafah.
Pernyataan tersebut mengatakan invasi ke Rafah perlu dilakukan “untuk memberikan tekanan militer kepada Hamas, dengan tujuan untuk membuat kemajuan dalam membebaskan para sandera dan tujuan-tujuan perang lainnya”.
Selama berbulan-bulan, Israel telah menyatakan mereka berencana menyerang Rafah, kota paling selatan di Jalur Gaza. Lebih dari satu juta orang Palestina telah mengungsi ke Rafah sejak agresi brutal Israel di Gaza dimulai pada Oktober 2023.
Israel mengatakan invasi ini akan membantu menyelesaikan tujuannya untuk menghabisi Hamas, karena Israel mengklaim ada empat batalion Hamas di kota tersebut.
Pemerintahan Biden secara terbuka telah meminta Israel untuk tidak melakukan serangan ke kota tersebut, menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan Israel untuk "mengevakuasi" warga lokal.
Sebelumnya pada Senin, Israel memerintahkan 250.000 warga Palestina untuk meninggalkan Rafah, ketika Israel mulai membombardir bagian timur kota perbatasan tersebut.
Orang Palestina yang saat ini berada di Rafah mengatakan kepada MEE para pengungsi di sana dalam keadaan panik dan khawatir bahwa mereka tidak akan aman meskipun mereka pergi karena mereka telah berada di Gaza selama tujuh bulan terakhir.
Kepala Badan HAM PBB, Volker Turk mengecam Israel, mengatakan perintah Israel yang meminta warga meninggalkan Rafah “tidak manusiawi”. Dia mengatakan rencana tersebut “tidak dapat dibayangkan” dan memperingatkan serangan terhadap kota tersebut akan meningkatkan penderitaan di Gaza ke tingkat yang “tidak dapat ditolerir”.
“Warga Gaza terus dihantam bom, penyakit, dan bahkan kelaparan. Hari ini, mereka diberitahu bahwa mereka harus pindah lagi seiring dengan meningkatnya operasi militer Israel ke Rafah," jelas Turk.