Kisah WNI disandera Abu Sayyaf, ngaku mualaf sampai lari di hutan
Ke-10 WNI itulah pahlawan sebenarnya, sanggup bertahan di tengah situasi sulit bersama militan
Sepuluh awak kapal tunda Brahma dan kapal tongkang Anand tak akan mengira bakal mengalami mimpi buruk saat membawa muatan batu bara ke Filipina. Di perairan Sulu, beberapa hari setelah kapal lepas dari Tarakan pada 15 Maret, perahu cepat mencegat laju mereka.
Di dalam perahu cepat itu ada gerombolan militan Abu Sayyaf, perompak sekaligus teroris paling disegani selatan Filipina.
-
Bagaimana cara orang tersebut pamit dari grup WA Islami? Asalamualaikum. Halo teman-teman, dengan ini saya mengajukan izin untuk keluar dari grup. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan, baik itu disengaja maupun tidak. Semoga sukses selalu untuk kalian semua! Wasalamu'alaikum.
-
Siapa yang mewakili TNI dalam perundingan Wonosobo? Pasukan TNI diwakili Kolonel Sarbini, sedangkan dari Belanda diwakili Kolonel Breemouer.
-
Bagaimana anggota TNI dikeroyok oleh warga? Personel dari Koramil yang dikeroyok menerima banyak sekali pukulan dan tendangan dari warga.
-
Siapa yang memimpin TNI saat menghadapi Agresi Militer Belanda? Kala itu kekuatan TNI sangat terbatas dalam menghadapi Agresi Militer Belanda. Rakyat Indonesia akhirnya turun tangan membantu TNI hingga munculah Perang Rakyat Semesta dimana segenap kekuatan TNI dan masyarakat serta sumber daya nasional dikerahkan untuk menghadapi agresi tersebut.
-
Kenapa warga mengeroyok anggota TNI? Pada momen itulah warga yang sedang berada di situasi tersulut emosi kemudian melakukan pengeroyokan terhadap anggota TNI tersebut.
-
Bagaimana cara prajurit TNI menangkap 'penyusup' tersebut? Saat itu, prajurit TNI mengenakan seragam PDL nampak memegang bagian ekor biawak dan mencoba memindahkannya ke tempat lebih aman.
Pemilik kapal dari PT Patria Maritime Line, baru memperoleh informasi pembajakan pada 26 Maret. Isu ini segera menjadi perhatian pemerintah RI. Komisaris Patria Maritime, Loudy Irwanto Ellias, mengaku Abu Sayyaf meminta tebusan tak tanggung-tanggung lewat sambungan telepon. Yakni 50 juta peso (setara Rp 14,3 miliar).
Sejak komunikasi antara perusahaan dan para militan terbangun, pemerintah mulai dilibatkan. Selepas 37 hari yang melelahkan, termasuk karena tarik ulur kemungkinan TNI terlibat membebaskan para sandera di Pulau Jolo, ke-10 awak kapal itu akhirnya bebas.
Pemerintah mengklaim mereka bebas berkat strategi diplomasi, termasuk menggunakan tokoh yang disegani dari Moro. Namun selentingan beredar bahwa pada Jumat (29/4), perusahaan sudah membayar tebusan, kendati tidak semahal yang diminta di awal.
Versi manapun yang benar, intinya pahlawan sesungguhnya dalam kisah ini adalah 10 awak kapal Indonesia itu. Mereka bertahan berhari-hari di hutan tanpa kepastian, turut berlari ketika markas militan diserbu militer Filipina, hingga mencoba mempertahankan nyawa dengan mengaku beragama Islam.
Apa saja pengalaman dan kesaksian para sandera selama ditawan militan haus darah itu di pedalaman Filipina? Berikut rangkumannya oleh merdeka.com:
Terpaksa mengaku mualaf
Kapten kapal Brahma 12, Peter Tonson, menyatakan beberapa saat setelah ditawan dia dan kawan-kawannya ditanya soal agama.Â
Tiga dari 10 WNI itu beragama nasrani, termasuk Tonson. Dia sempat khawatir keselamatannya terancam bila mengaku bukan muslim. Terlebih para militan menanyai satu-satu agama para awak kapal nahas tersebut.
"Kita ditanya agama, yang kristen berapa? Karena mereka selalu mengatakan mereka perang agama. Kami bertiga mengatakan kami mualaf, demi menyelamatkan nyawa saya dan kawan-kawan," kata Tonson saat ditemui awak media di Kementerian Luar Negeri, Senin (2/5).
Lambat laun, selama ditawan, Tonson dan sembilan rekan lainnya ternyata tidak disakiti. Mereka tetap diberi makan setiap hari.
Â
"Kekerasan tidak ada, ancaman tekanan tidak ada," kata Tonson.
Dijaga bergiliran oleh para militan
Juru Mudi kapal tunda Brahma 12, Wawan Saputra, turut memberi kesaksian. Dia ingat, sehari setelah kapal mereka diserang, awak dua kapal batu bara itu segera dibawa ke sebuah pulau. Mereka lantas dipaksa masuk hutan.
Wawan mengaku kesulitan mengingat detail lokasi penyanderaan mereka, karena hutan sangat lebat. Namun dia ingat bahwa para militan menjaga ketat seluruh ABK asal Indonesia.
Walaupun tidak disakiti, namun pengawasan Abu Sayyaf tak lengah. Saat tidur pun, para sandera dijaga ketat.
"Kita dijagain terus sama mereka, satu orang sandera dijaga satu sampai dua orang, kadang mereka tidur bergantian bahkan tidak pernah tidur," ungkap Wawan.
Wawan ingat perawakan nyaris semua anggota kelompok militan itu tak terlalu tinggi, namun tampak waspada. Mereka terus membawa senapan laras panjang selama penyanderaan, jarang menunjukkan wajah.
"Pakaian mereka lengkap pakai topeng, laras panjang," tandasnya.
Beradaptasi dengan gaya hidup militan
Tinggal di hutan lebat, membuat ke-10 WNI harus bertahan hidup sebisanya selama 37 hari. Mereka makan apapun yang diberikan oleh para anggota Abu Sayyaf.
Kapten Peter Tonson mengaku sampai beradaptasi dengan gaya hidup para militan itu, khususnya dalam hal makan dan beristirahat di alam liar.
"Makan ya ikut apa yang mereka makan, beradaptasi sama yang di sana. Tidur di tanah ya ikut tidur beralaskan daun kelapa," ujarnya.
Kesaksian serupa disampaikan Wendy, koki kapal Brahma. Bedanya dia ada beberapa hari, baik sandera maupun para penculik tidur di tenda terpisah, bukan di tanah.Â
Sedangkan Wawan ingat hal lain lagi. Menurutnya mereka lebih banyak makan buah-buahan selama di dalam hutan. "Makannya seperti mangga, mangga, nasi, gitu saja. Jadi apa yang mereka makan, kami makan," ujarnya.
Militan irit bicara, jarang ajak ngobrol sandera
Juru Mudi Wawan Saputra menyatakan para militan sangat jarang mengajak bicara sandera. Selama di hutan, mereka lebih banyak menjaga atau mendiamkan para awak kapal.
Sekalinya diskusi, tidak banyak yang bisa digali para WNI itu tentang para penculiknya. "Pernah diskusi sesekali, mereka bilang ada yang asalnya Suku Bugis Sulawesi, cuma itu saja," kata Wawan.
Selama hidup bersama militan itulah, Tonson menyadari bahwa Abu Sayyaf tidak sepenuhnya ingin membunuh sandera. Niat utama mereka tetap memperoleh uang tebusan. Kadang mereka pun mengajak bercanda.
Terbukti, selama berinteraksi, militan tak memberi ancaman kepada para WNI dengan nada serius. "Mungkin mereka punya maksud biar kita cepat ditebus. Kalau tekanan mungkin menakut-nakuti kita seperti ultimatum, hanya bercanda saja," ucap Peter.
Dalam keterangan terpisah, Loudy Irwanto Ellias selaku Komisaris Perusahaan Patria Maritime Line menyatakan para penculik bicara dalam bahasa melayu patah-patah saat menelepon minta tebusan.Â
Loudy merasa, di luar reputasinya yang kejam, Abu Sayyaf relatif koorperatif dengan mengizinkan ABK berkomunikasi langsung dengan perusahaan.
"Tiap kali kita kontak, itu pasti kita bertanya bagaimana keselamatan orang kami, kami mendapat info jika orang kami diperlakukan dengan baik oleh mereka," kata Loudy.
Diajak lari menghindari serangan militer Filipina
Sepuluh ABK WNI yang berhasil bebas dari penculikan Abu Sayyaf menuturkan pengalaman mereka selama lebih dari satu bulan dalam tawanan. Mereka mengaku kelompok Abu Sayyaf terus menjaga mereka tanpa memakai kekerasan.
Kendati begitu, para sandera selalu diajak berlari menembus hutan. Salah satu korban, Kapten kapal Brahma 12, Peter Tonson, menuturkan perpindahan ini dipicu operasi militer Filipina yang intensif dua pekan terakhir.
Ketika disinggung lokasi mereka yang terus berpindah-pindah, Peter menjelaskan hal itu demi keselamatan mereka, bukan taktik militan menyembunyikan keberadaan.
"Untuk keamanan kami juga. Karena setiap ada operasi militer mereka menghindar, tidak melakukan perlawanan, karena ada kami mereka takut terjadi sesuatu dengan kami," ujarnya.
(mdk/ard)