Mahkamah Internasional Ajukan Surat Perintah Penangkapan Untuk Presiden Myanmar Atas Kejahatan Terhadap Muslim Rohingya
Usulan tersebut sedang dikaji oleh panel tiga hakim Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Jaksa penuntut Mahkamah Kriminal/Pidana Internasional (ICC), Karim Khan mengumumkan telah mengajukan surat perintah penangkapan untuk presiden sementara Myanmar, Min Aung Hlaing atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan ke warga Muslim Rohingya.
Pengumuman pada Rabu (28/11) ini adalah pengajuan surat penangkapan pertama ICC untuk pejabat pemerintah Myanmar, yang lebih dari satu dekade mempersekusi Muslim Rohingya. Khan berencana mengajukan surat perintah penangkapan untuk pejabat senior Myanmar lainnya.
- Ini Tanggapan AS Setelah Mahkamah Internasional Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu
- Jaksa Mahkamah Internasional Ungkap Dirinya Diancam Karena Usulkan Penangkapan Netanyahu
- Nakhoda Kapal Terdakwa Penyelundupan Imigran Rohingya Divonis 8 Tahun Penjara
- Di Hadapan Muslimat NU, Jokowi Bersyukur Indonesia Tidak Jadi Pasien IMF
"Dalam langkah tersebut, kami ingin menunjukkan, bersama dengan seluruh rekan kami, bahwa Rohingya tidak terlupakan. Bahwa mereka, sama seperti semua orang di dunia, berhak untuk perlindungan hukum," jelas Khan, dikutip dari Middle East Eye, Kamis (28/11).
Panel tiga hakim saat ini ditugaskan menguji bukti-bukti yang diajukan Khan dalam permohonan surat penangkapan tersebut.
Kasus ini dibuka pada 14 November 2019, ketika Khan mulai menyelidiki dugaan kejahatan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya antara 2016 dan 2017 di negara bagian Rakhine, Myanmar, dan pengusiran paksa warga Rohingya ke Bangladesh.
“Setelah penyelidikan yang menyeluruh, independen, dan tidak memihak, Kantor saya telah menyimpulkan bahwa ada alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa Jenderal Senior dan Penjabat Presiden Min Aung Hlaing, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Myanmar, memikul tanggung jawab pidana atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa deportasi dan penganiayaan terhadap Rohingya, yang dilakukan di Myanmar, dan sebagian di Bangladesh,” papar Khan.
“Kantor saya menduga bahwa kejahatan ini dilakukan antara 25 Agustus 2017 dan 31 Desember 2017 oleh angkatan bersenjata Myanmar, Tatmadaw, yang didukung oleh polisi nasional, polisi penjaga perbatasan, serta warga sipil non-Rohingya.”
Penghormatan Untuk Rohingya
Yurisdiksi pengadilan tersebut didasarkan pada keanggotaan Bangladesh di ICC, yang dapat menjalankan yurisdiksi atas kejahatan jika salah satu unsur pelanggaran terjadi di wilayah negara anggota, terlepas dari kewarganegaraan pelaku.
Myanmar, yang bukan merupakan pihak dalam Statuta Roma yang mendirikan ICC, juga menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional, dalam kasus yang diajukan Gambia.
Selain deportasi, militer Myanmar dituduh PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia membunuh sekitar 10.000 pria, wanita, dan anak-anak Rohingya selama operasi melawan komunitas tersebut pada 2016 dan 2017.
Khan memberi penghormatan kepada Rohingya, lebih dari 1 juta di antaranya terpaksa melarikan diri dari Myanmar karena takut akan serangan terhadap komunitas mereka.
“Dalam kunjungan saya ke kamp pengungsi Kutupalong di Cox’s Bazar selama tiga tahun terakhir, termasuk kemarin, saya bertemu dengan wanita Rohingya yang berbicara dengan jelas dan tegas tentang perlunya pertanggungjawaban,” jelas Khan.