Negara Afrika Ini Pakai AI Untuk Rawat Pasien yang Digigit Ular Berbisa, Begini Cara Kerjanya
Gigitan ular dapat bisa menyebabkan cacat bahkan kematian jika tidak segera ditangani.
Di daerah pedesaan yang kurang mampu di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, gigitan ular menjadi ancaman yang lebih mematikan dibandingkan dengan banyak penyakit tropis lainnya. Di Sudan Selatan, Médecins Sans Frontières atau Doctors Without Borders sedang menguji alat berbasis kecerdasan buatan (AI) yang diharapkan dapat mendeteksi kasus ini sebelum terlambat.
Dengan adanya perangkat lunak yang didukung teknologi AI, diharapkan proses pengobatan bagi pasien gigitan ular dapat dilakukan lebih cepat dan efisien untuk menyelamatkan nyawa. Gigitan ular adalah serangan yang berbahaya dan cukup umum.
- Negara Ini Dipenuhi Ranjau Darat dan Amunisi Mematikan, Sampai Catat Rekor Dunia Jumlah Korban Tewas Terbanyak Akibat Ledakan Ranjau
- Catat Tata Tertib dan Alur Penanganan Lapor Mas Wapres, Ini Berkas yang Harus Disiapkan
- Rakyatnya Hidup dengan 2 Dolar Sehari, Presiden Ini Rela Gajinya Dipotong 40%
- Kebakaran Ruko di Mampang Prapatan Tewaskan 7 Orang yang Terjebak di Lantai 2, Ada Anak dan Balita
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 5,4 juta orang mengalami gigitan ular setiap tahun, di mana 2,7 juta di antaranya luka parah dan 138 ribu orang meninggal akibat komplikasi. Antivenom yang diperlukan untuk mengobati gigitan ular seringkali langka dan mahal, sehingga identifikasi ular menjadi langkah krusial dalam pengobatan untuk memastikan antivenom digunakan secara tepat.
Dilansir The Guardian, Senin (14/10), teknologi identifikasi ular berbisa ini memanfaatkan basis data yang berisi 380 ribu gambar untuk mengenali spesies ular berbisa.
"Hasil awal sangat menjanjikan; AI kadang-kadang dapat mengidentifikasi ular lebih akurat dibandingkan para ahli," kata Dr. Gabriel Alcoba, penasihat medis MSF untuk gigitan ular dan penyakit tropis terabaikan.
"Saya ingat ketika kami menggunakan album foto untuk mengenali ular di rumah sakit MSF. Staf medis akan mencari-cari foto untuk menentukan ular mana yang menggigit pasien."
Proses AI
Aplikasi perangkat lunak ini sedang diuji coba di dua rumah sakit MSF di Sudan Selatan, di mana angka pasien yang dirawat akibat gigitan ular cukup tinggi. Dari Januari hingga akhir Juli 2024, lebih dari 300 pasien gigitan ular telah mendapatkan perawatan di fasilitas medis MSF di seluruh negeri.
Ketika seseorang mengalami gigitan, petugas medis menyarankan korban untuk segera mengambil foto atau meminta staf mereka untuk kembali ke lokasi dengan hati-hati guna memotret ular tersebut. Foto-foto ini kemudian diunggah ke dalam perangkat lunak berbasis AI untuk membantu mengidentifikasi jenis ular dan menentukan perawatan yang diperlukan, bahkan sebelum pasien tiba di rumah sakit.
Alcoba menyatakan, akurasi program ini dapat ditingkatkan lebih lanjut dengan dukungan dana, penelitian, dan kualitas foto yang lebih baik.
"Seringkali, pasien mendapatkan perawatan yang tidak tepat karena ular tidak diidentifikasi dengan benar, atau antivenom yang berharga terbuang sia-sia akibat gigitan ular yang tidak berbisa, yang juga dapat menimbulkan efek samping serius. Antivenom sangat langka dan mahal, dan biaya yang harus ditanggung pasien bisa setara dengan gaji satu bulan hingga satu tahun," jelas Alcoba.
Ancaman Serius
Gigitan ular sering kali menimpa masyarakat yang kurang mampu dan sulit mengakses layanan medis. Para korban biasanya terdiri dari petani yang bekerja di ladang, penggembala ternak, pekerja pertanian lainnya, dan anak-anak. Selain itu, bencana alam seperti banjir serta orang-orang yang terpaksa mengungsi akibat konflik juga meningkatkan kemungkinan interaksi yang tidak diinginkan antara manusia dan ular.
"Ini adalah penyakit yang dialami oleh mereka yang tidak memakai alas kaki, orang-orang yang terpinggirkan, serta akibat krisis kemanusiaan dan konflik," ujar Alcoba.
Gigitan ular, lanjutnya, merupakan masalah yang diabaikan oleh pemerintah, dunia akademis, dan industri farmasi, mencerminkan rendahnya perhatian internasional terhadap isu ini.
Ahli gigitan ular dari WHO, David Williams menjelaskan, masyarakat pedesaan merupakan kelompok yang paling terdampak. Ia menyebutkan, dari 240.000 orang yang mengalami kecacatan akibat gigitan ular setiap tahun, banyak yang terpaksa jatuh ke dalam kemiskinan karena biaya pengobatan dan kehilangan pendapatan.
Williams juga mengungkapkan perubahan iklim memperburuk situasi ini, dengan banjir yang baru-baru ini terjadi meningkatkan jumlah insiden gigitan ular di negara-negara seperti Sudan Selatan, Bangladesh, Nigeria, Pakistan, dan Myanmar. Banyak dari negara-negara tersebut tidak memiliki fasilitas perawatan yang memadai. Selain itu, kurangnya regulasi mengakibatkan beredarnya antivenom palsu, yang semakin merusak kepercayaan masyarakat.