Nestapa Hiba pengungsi Gaza
Hiba Ziad bersama bayinya baru berusia sepekan terpaksa mengungsi di sebuah sekolah di Kota Gaza.
Kawasan Abu Albas, Kota Gaza, Selasa malam lalu begitu mengerikan. Suara ledakan peluru kendali dimuntahkan jet-jet tempur F-16 seolah tidak berhenti. Situasi malam itu gulita lantaran listrik padam.
Di dalam sebuah rumah di daerah itu, Fadil, bayi belum genap berusia sepekan, ketakutan. Dia menangis sejadi-jadinya seolah ingin mengalahkan gelegar bunyi ledakan dan raungan mesin-mesin perang Israel. Sang ibu, Hiba Ziad, tidak kuasa menghibur.
Cemas dengan keselamatan putra semata wayangnya, Hiba ikut mengungsi ke bersama keluarga mertua dan para tetangganya ke sebuah sekolah di Jalan Nasir. "Situasi saat itu benar-benar mencekam. Saya takut rumah kami dibom," kata Hiba saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya semalam.
Di lokasi pengungsian, Hiba terpaksa berdesakan dengan ratusan warga Gaza, terutama kaum ibu dan anak-anak. Dia bersama bayi mungilnya hanya tidur di atas sebuah kasur tipis di dalam sebuah ruang kelas. Ibu dan anak nahas ini masing-masing mendapat bantuan satu selimut.
Tentu saja tidak mudah buat Hiba melewati hari-hari menyiksa sejak Israel melancarkan operasi militer bersandi Jaga Perbatasan. Apalagi Fadil. Baru hitungan hari setelah dilahirkan, dia sudah menjadi saksi kebiadaban musuh bebuyutan bangsanya.
Fadil sekarang sulit tersenyum. Yang terjadi dia kerap bangun tiba-tiba lalu menangis keras saban kali suara ledakan keras terdengar. "Kami berdua tidak bisa tidur pulas. Sebentar-sebentar harus bangun, takut tempat kami mengungsi jadi sasaran," ujar Hiba.
Hiba pantas khawatir. Serbuan Israel serampangan. mereka bisa menyasar masjid, sekolah, dan rumah warga sipil. Kemarin saja, sekolah milik UNRWA (badan PBB urusan pengungsi Palestina) di Bait Hanun, utara Jalur Gaza, menjadi target. Sebanyak 15 orang terbunuh dan puluhan lainnya cedera. Total korban sampai sekarang sudah lebih dari 800 orang tewas, sepertiganya anak-anak, dan lebih dari 4.600 lainnya luka.
Fadil juga tidak dapat menikmati air susu ibunya. Kondisi kejiwaan Hiba tertekan sejak Israel mengamuk membuat makanan utama bagi bayinya itu tidak keluar. Dia kini cuma mengharapkan susu kaleng dari belas kasihan orang.
Yang membuat dia kian lara adalah dalam situasi sungguh menakutkan saat ini, sang suami tidak berada di tengah mereka. Sebab, dia mesti ikut bertempur menghadapi pasukan Israel.
Hiba pun baru tahu suaminya anggota Hamas ketika Israel mulai menginvasi Gaza Kamis pekan lalu. Hari itu suaminya, anggota skuad peluncur roket Hamas, mendapat panggilan berjihad. Dia mesti segera masuk ke terowongan-terowongan dan lokasi rahasia buat menembakkan roket ke wilayah Israel.
Jadi selama setahun menikah, Hiba cuma tahu suaminya berprofesi pengacara. Ibu mertuanya memberitahu kedok suaminya itu. "Ketika pergi dia cuma bilang, 'saya akan pergi dan tidak tahu kapan akan kembali. Kamu tidak bisa menelepon saya dan saya pun tidak bisa menelepon kamu'," tutur Hiba.
Malam mulai datang. Itulah saat-saat mencekam bagi Hiba dan pengungsi lainnya. Israel biasa menggempur di tengah gelap membekap Gaza. "Faisal, saya tidak mau sendiri dalam situasi seperti ini." Sejurus kemudian tangis Hiba pun pecah.