Netanyahu Kaget Disoraki Warganya Sendiri, Disebut Manusia Memalukan
Netanyahu tetap diam di podium saat kerumunan penonton meneriakkan interupsi yang berlangsung lebih dari satu menit.
Dalam peringatan untuk mengenang para korban serangan yang terjadi pada 7 Oktober 2023, demonstran Israel menginterupsi pidato Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Insiden tersebut berlangsung saat perundingan gencatan senjata di Gaza dimulai kembali di Doha, Qatar.
Pada Minggu (27/10), Netanyahu terlihat berdiri diam di podium saat kerumunan berteriak dan menyela pidatonya selama lebih dari satu menit, seperti yang dilaporkan Al Jazeera, Selasa (29/10).
- 21 Oktober: Kelahiran Benjamin Netanyahu, Menilik Masa Kecil hingga Pro Kontra Kepemimpinannya
- Netanyahu Pernah Marah ke Anak Buahnya Gara-gara HP
- Penuh Klaim dan Kebohongan, Pidato Netanyahu di Depan Kongres AS Disambut Tepuk Tangan Riuh Hadirin
- VIDEO Sambil Tersenyum dan Tertawa, Netanyahu Berdalih Pasukan Israel 'Tak Sengaja' Bunuh Tujuh Pekerja Kemanusiaan di Gaza
Beberapa demonstran meneriakkan kata-kata "Anda memalukan," yang membuat Netanyahu terpaksa menghentikan pidatonya sebelum selesai. Salah satu pengunjuk rasa bahkan berteriak, "Ayah saya terbunuh."
Dilansir Times of Israel, peringatan ini awalnya tidak direncanakan untuk menyertakan pidato dari anggota keluarga yang berduka, karena ada kekhawatiran mereka akan mengkritik pemerintah Israel. Namun, di tengah protes tersebut, keluarga korban akhirnya diizinkan untuk berbicara di acara itu.
Dari serangan yang dilancarkan oleh Hamas pada 7 Oktober tahun lalu, diperkirakan 1.139 orang tewas di Israel, dan lebih dari 200 orang masih ditahan. Saat ini, hampir 100 tawanan masih berada di Gaza. Tekanan baik dari publik maupun diplomatik semakin meningkat terhadap pemerintahan PM Netanyahu untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam mencapai kesepakatan yang dapat mengamankan pembebasan para tawanan yang masih ditahan di Gaza.
Sementara itu, kritikus di Israel juga menuduh Netanyahu telah menghalangi proses mediasi untuk mencapai gencatan senjata serta kesepakatan yang berkaitan dengan pembebasan 97 tawanan yang masih ditahan Hamas di Gaza. Netanyahu menolak berbagai usulan untuk gencatan senjata, termasuk tawaran dari pemerintahan Biden pada Mei, dan ia juga menyetujui pembunuhan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh.
Dalam pidato terpisah pada Minggu (27/10), untuk memperingati serangan Hamas menurut kalender Ibrani, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menyatakan tindakan militer saja tidak cukup untuk mencapai tujuan perang negara tersebut, termasuk membawa pulang para tawanan.
"Tidak semua tujuan dapat dicapai melalui operasi militer saja ... Untuk mewujudkan kewajiban moral kita untuk membawa pulang para sandera, kita harus membuat konsesi yang menyakitkan," ungkap Gallant.
Usulan Gencatan Senjata
Sementara itu, pada Minggu (27/10), Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengusulkan gencatan senjata selama dua hari di Gaza. Usulan ini bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran empat tawanan Israel dengan sejumlah tahanan Palestina. El-Sisi mengumumkan hal tersebut saat upaya untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung lebih dari setahun di Gaza dilanjutkan di ibu kota Qatar, Doha. Dalam pertemuan tersebut, para direktur CIA dan badan intelijen Israel, Mossad, turut serta.
Dalam konferensi pers di Kairo bersama Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune, El-Sisi menegaskan pembicaraan harus dilanjutkan dalam waktu sepuluh hari setelah gencatan senjata dilaksanakan. Hal ini diharapkan dapat mengarah pada gencatan senjata yang permanen.
Keluarga tawanan yang tersisa serta beberapa pemimpin Barat telah mendesak pemerintah Israel untuk menjadi perantara dalam kesepakatan setelah syahidnya pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, awal bulan ini. Dilaporkan dari Doha, Osama bin Javaid dari Al Jazeera menyatakan, kematian Sinwar memberikan peluang baru untuk perundingan gencatan senjata, namun pada kenyataannya, kedua pihak tetap bersikukuh pada pendirian mereka.
"Hamas mengatakan peniadaan pemimpin tidak akan menghilangkan apa yang telah mereka perjuangkan, yang dalam bahasa mereka disebut sebagai 'pendudukan ilegal'," kata Osama bin Javaid.