Netanyahu Minta Uang ke UEA untuk Bayar Gaji Pekerja Palestina, Dijawab Ketus Begini oleh MBZ
Netanyahu Minta Uang ke UEA untuk Bayar Gaji Pekerja Palestina, Dijawab Ketus Begini oleh MBZ
Sejak 7 Oktober Israel memblokade Tepi Barat dan melarang pekerja Palestina masuk ke Israel untuk bekerja.
- Tentara Israel Izinkan Penjarahan Truk Bantuan Kemanusiaan ke Gaza, Mesti Ada Uang "Jatah Preman"
- Pensiunan Jenderal Israel Peringatkan Negaranya Segera Hancur, Tinggal Tunggu Waktu
- Ini Daftar Kebohongan Netanyahu Saat Pidato di Depan Kongres AS
- Utang Israel Membengkak Jadi Rp694 Triliun Usai Serang Gaza
Netanyahu Minta Uang ke UEA untuk Bayar Gaji Pekerja Palestina, Dijawab Ketus Begini oleh MBZ
Presiden Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Muhmmad bin Zayed (MBZ) menolak permintaan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk membayar pekerja Palestina di Tepi Barat yang tidak bekerja karena mereka dilarang Israel memasuki wilayah pendudukan.
"Minta saja ke Zelensky," jawab ketus MBZ kepada Netanyahu, kata sumber yang mengetahui kabar ini, seperti dilansir laman Axios, Senin (8/1).
Penolakan MBZ ini menegaskan posisi banyak negara Arab yang mengatakan mereka menolak menanggung beban tagihan keuangan untuk mempertahankan kondisi status quo di Tepi Barat dan Gaza setelah perang.
"Wacana soal negara Arab akan membangun kembali dan membayar tagihan atas apa yang saat ini terjadi adalah hanya angan-angan belaka," ujar pejabat UEA.
Tak lama setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober lalu, Israel memblokade Tepi Barat demi alasan keamanan. Itu artinya warga Palestina di Tepi Barat yang berjumlah lebih dari 100.000 orang tapi bekerja di Israel sebelum perang tidak bisa lagi masuk ke wilayah Israel.
Memburuknya perekonomian Palestina dan melonjaknya pengangguran karena perang membuat khawatir pemerintah Israel dan Amerika Serikat mencemaskan kondisi ini bisa meningkatkan kekerasan di Tepi Barat.
Menteri Keuangan Israel yang berasal dari kelompok ultranasionalis Bezalel Smotrich menolak usulan Kementerian Pertahanan Israel yang ingin membolehkan sejumlah pekerja Palestina bekerja di Israel.
Meski ada tekanan dari militer dan badan intelijen Shin Bet, Netanyahu memilih tidak menempatkan isu ini untuk voting di kabinet karena sejumlah menteri garis kerasnya mengancam mengundurkan diri.
Untuk mencari solusi atas masalah ini Netanyahu berupaya meminta bantuan dari negara lain untuk mengatasi masalah pekerja Palestina ini.
Netanyahu akhirnya menghubungi MBZ beberapa pekan lalu dan terang-terangan menyampaikan maksudnya untuk meminta bantuan.
MBZ mengatakan dia siap membantu namun ketika Netanyahu secara spesifik meminta UEA untuk membayar para pekerja Paestina, MBZ langsung terkejut dan menjawab dengan ketus, kata sumber tersebut.
Menurut sumber itu, MBZ tidak percaya Netanyahu menganggap dirinya mau membayar untuk mengatasi masalah yang dibuat sendiri oleh Israel dengan melarang pekerja Palestina.
MBZ mengatakan dia tidak mau melakukannya dan dengan sarkas menyarankan Netanyahu untuk meminta kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, kata pejabat dan sumber yang mengetahui isu ini.
MBZ mengatakan Zelensky mendapat banyak uang dari banyak negara jadi mungkin saja dia bisa membantu.Kantor perdana menteri Israel dan Kedutaan UEA di Washington menolak berkomentar mengenai kabar ini.
Netanyahu secara terbuka sudah pernah mengatakan dia tidak akan mengizinkan Otoritas Palestina yang saat ini mengelola Tepi Barat berkuasa di Gaza setelah perang. Netanyahu juga menolak gagasan negara Palestina merdeka.
Israel juga ingin UEA, Arab Saudi, dan negara Arab lainnya membangun Gaza kembali setelah perang, kata pejabat AS dan Israel.
Namun UEA juga secara terbuka sudah mengatakan mereka tidak akan membayar biaya membangun kembali Gaza kecuali ada kesepakatan yang mencakup proses menuju solusi dua negara.
"Pesannya akan sangat jelas. Kita harus bisa melihat rencana solusi dua negara, peta jalan yang serius sebelum kita membahas apa yang akan dilakukan untuk membangun kembali infrastruktur Gaza," ujar duta besar UEA untuk PBB Lana Nusseibeh kepada the Wall Street Journal bulan lalu.