Pendukung Mantan Presiden Ini Tangkap 200 Tentara dan Dijadikan Tawanan, Ternyata Ini Tujuannya
Para tentara yang ditahan ini dijadikan sebagai sandera.
Kementerian Luar Negeri Bolivia mengungkapkan pada Sabtu (2/11), sekelompok pendukung mantan presiden Evo Morales telah menyandera sekitar 200 tentara, seiring meningkatnya ketegangan antara mereka dan pemerintah.
"Tiga unit militer di Provinsi Chapare diserang oleh kelompok-kelompok tidak biasa pada hari Jumat (31/10), dengan para penyerang menyandera lebih dari 200 personel militer dari tiga barak," ujar kementerian tersebut seperti dikutip dari AFP, Minggu (3/11).
- Peran Utusan Khusus Presiden, Bertanggung Jawab Langsung pada Kepala Negara
- Terungkap Alasan Ganjar Tak Datang Penetapan Presiden-Wakil Presiden Terpilih di KPU: Wong Tidak Diundang
- Terungkap, Ini Alasan Luhut Tak Mau Jadi Menteri Jika Ditawari Presiden Terpilih
- Bertemu Relawan & Pendukungnya di Tangerang, Ganjar: Saya Merasa Berenergi & Batin Saya Tenang
"Mereka menyita senjata dan amunisi," tambahnya.
Para pendukung Evo Morales, yang merupakan pemimpin Pribumi pertama Bolivia, telah memulai aksi pemblokiran jalan selama tiga minggu terakhir untuk mencegah penangkapannya terkait tuduhan yang dianggapnya tidak berdasar, yang ditujukan untuk menghalangi langkahnya kembali ke dunia politik.
Pemerintah Bolivia telah mengerahkan pasukan ke daerah di Cochabamba untuk membantu polisi dalam mengatasi situasi pemblokiran jalan tersebut. Awalnya, laporan pada Jumat (31/10) menyebutkan hanya 20 tentara yang ditahan. Sebuah video yang ditayangkan pada hari yang sama memperlihatkan 16 tentara dikelilingi oleh pengunjuk rasa yang membawa tongkat runcing.
"Mereka telah memutus aliran air, listrik, dan menyandera kami," terdengar seorang pria berseragam mengeluh.
Evo Morales, yang sebelumnya mengancam akan melakukan mogok makan jika pemerintah tidak mau berunding, kini meminta para pendukungnya untuk mempertimbangkan untuk menghentikan pemblokiran jalan demi "menghindari pertumpahan darah."
Morales (65) menjabat sebagai presiden dari tahun 2006 hingga 2019, sebelum mengundurkan diri di tengah kekhawatiran terkait pemilihan umum yang dianggap curang. Meskipun dilarang mencalonkan diri lagi, Morales tetap ingin menantang Presiden Bolivia Luis Arce, mantan sekutunya, dalam pemilihan umum yang dijadwalkan pada Agustus tahun depan.
Beberapa hari setelah memimpin pawai ribuan warga Bolivia yang sebagian besar merupakan penduduk asli di ibu kota La Paz untuk memprotes kebijakan Arce, jaksa mengumumkan Morales sedang diselidiki atas tuduhan pemerkosaan anak di bawah umur, perdagangan manusia, dan penyelundupan manusia terkait dugaan hubungannya dengan seorang gadis berusia 15 tahun pada tahun 2015.
Morales sendiri menyebut tuduhan tersebut sebagai "kebohongan." Pada Rabu (30/11), Arce menegaskan agar pemblokiran jalan segera dihentikan, dengan menyatakan pemerintah akan "menggunakan kewenangan konstitusionalnya untuk melindungi kepentingan rakyat Bolivia."
Percobaan Pembunuhan
Pekan lalu ketika berada di Chapare, Evo Morales mengungkapkan dirinya menjadi target percobaan pembunuhan yang dituduhkan kepada agen negara. Dalam sebuah video yang ia unggah di media sosial, tampak truknya dipenuhi dengan lubang peluru.
Pemerintah menyatakan polisi menembaki kendaraan Morales setelah konvoinya melepaskan tembakan di sebuah pos pemeriksaan. Awalnya, para pendukung Morales menuntut agar dihentikannya apa yang mereka sebut sebagai "penganiayaan hukum" terhadapnya. Namun, protes tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan pemberontakan antipemerintah yang lebih besar, dengan tuntutan agar Presiden Luis Arce mengundurkan diri.
Mereka menuding Arce, yang menjabat sejak November 2020, sebagai penyebab utama kenaikan drastis harga pangan dan bahan bakar serta terjadinya kekurangan pasokan sebelum demo berlangsung. Dalam bentrokan yang terjadi selama protes, setidaknya 90 orang, mayoritas adalah petugas, mengalami luka-luka.