Perusahaan Ini Sewa Detektif Untuk Selidiki Karyawan yang Izin Tak Masuk Kerja Karena Sakit
Perusahaan-perusahaan di Jerman kini menggunakan jasa detektif swasta untuk memverifikasi keabsahan cuti sakit karyawan demi meningkatkan efisiensi biaya.
Beberapa perusahaan di Jerman kini mempekerjakan detektif swasta untuk memverifikasi apakah karyawan yang mengambil cuti sakit dalam jangka panjang benar-benar mengalami masalah kesehatan. Langkah ini diambil sebagai strategi untuk mengurangi dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh tingginya tingkat absensi, khususnya di masa-masa sulit secara ekonomi.
Menurut laporan dari AFP, permintaan untuk jasa detektif dari Lentz Group yang berlokasi di Frankfurt meningkat pesat dalam pasar yang unik ini. Pendiri agensi tersebut, Marcus Lentz, menyatakan mereka menerima sekitar 1.200 permintaan setiap tahun, angka ini dua kali lipat dibandingkan dengan beberapa tahun lalu.
- Gara-Gara Ini, Perusahaan Jerman Sewa Detektif untuk Pecat Karyawan
- Penting untuk Dideteksi Secara Tepat, YKI Tingkatkan Tenaga Terampil untuk Deteksi Dini
- Dukung Upaya Keselamatan Kerja, Holding BUMN Jasa Survei Serahkan Sertifikat SMK3 ke 80 Perusahaan
- Siap-Siap, Perusahaan Telat Bayar THR Karyawan Kena Denda Segini
Dilansir South China Morning Post, data dari badan statistik Jerman, Destatis, menunjukkan bahwa rata-rata pegawai di Jerman mengambil cuti sakit selama 15,1 hari pada tahun 2023, meningkat dari 11,1 hari pada tahun 2021. Tingginya tingkat absensi ini diperkirakan akan mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman sebesar 0,8 persen pada tahun yang sama, yang berkontribusi pada kontraksi ekonomi sebesar 0,3 persen.
Selain itu, laporan dari TK, salah satu penyedia asuransi kesehatan utama di Jerman, mencatat rata-rata 14,13 hari sakit di antara para pekerja yang diasuransinya selama sembilan bulan pertama tahun 2024. Menurut Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), pekerja di Jerman kehilangan 6,8 persen jam kerja mereka pada tahun 2023 karena sakit, angka ini lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa lainnya seperti Prancis, Italia, dan Spanyol.
Tingginya Angka Cuti Sakit
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka cuti sakit adalah kebijakan yang diterapkan setelah pandemi, yang mempermudah proses pengajuan izin medis untuk cuti. Selama masa pandemi Covid-19, Jerman memperkenalkan sistem baru yang memungkinkan pekerja dengan gejala ringan untuk mendapatkan surat keterangan sakit melalui konsultasi telepon.
Namun, kebijakan ini ternyata memicu penyalahgunaan. Beberapa karyawan diduga berpura-pura sakit, seperti dengan menampilkan batuk yang tidak benar-benar ada, saat melakukan konsultasi melalui telepon untuk mendapatkan cuti.
Di Jerman, pekerja yang mengalami sakit berhak menerima gaji penuh dari perusahaan selama enam minggu pertama. Setelah periode tersebut, pembayaran gaji akan dialihkan kepada institusi asuransi kesehatan.
Dengan meningkatnya beban finansial, banyak perusahaan kini mempertimbangkan untuk menyewa detektif sebagai solusi untuk mengatasi masalah ketidakefisienan karyawan.
"Ada semakin banyak perusahaan yang tidak ingin mentolerir hal ini lagi. Jika seseorang memiliki 30, 40, atau bahkan hingga 100 hari sakit dalam setahun, pada titik tertentu mereka menjadi tidak menarik secara ekonomi bagi perusahaan," ungkap Lentz kepada AFP.
Efisiensi Perusahaan
Lentz juga mencatat beberapa situasi di mana karyawan yang mengambil cuti sakit justru terlibat dalam kegiatan yang menguntungkan, seperti membantu bisnis keluarga atau merenovasi rumah. Namun, meskipun ada bukti yang terkumpul, tidak semua kasus berakhir dengan pemecatan.
Contohnya, seorang sopir bus di Italia yang tertangkap sedang bernyanyi dan bermain piano di bar saat cuti sakit karena masalah kecemasan, tetap diizinkan untuk bekerja oleh Mahkamah Agung Italia karena aktivitas tersebut dianggap mendukung proses pemulihannya. Meskipun praktik penyewaan detektif ini menjadi sorotan, para ahli mengingatkan metode tersebut mungkin tidak menyelesaikan masalah mendasar dari tingginya angka cuti sakit.
Penyebab yang lebih mendasar seperti meningkatnya penyakit pernapasan, stres di tempat kerja, serta tantangan kesehatan mental yang meningkat setelah pandemi perlu diperhatikan dengan serius..