Sepak Terjang Yahya Sinwar, Sosok Pemimpin Hamas Paling Diincar Israel, Pernah 23 Tahun Dipenjara
Sinwar merancang Operasi Badai Al-Aqsa, serangan yang mengejutkan Israel pada 7 Oktober lalu.
Sinwar merancang Operasi Badai Al-Aqsa, serangan yang mengejutkan Israel pada 7 Oktober lalu.
Sepak Terjang Yahya Sinwar, Sosok Pemimpin Hamas Paling Diincar Israel, Pernah 23 Tahun Dipenjara
Yahya al-Sinwar adalah salah satu pimpinan dan tokoh utama Hamas. Perjalanan hidupnya penuh perjuangan dan pengabdian untuk memerdekakan Palestina. Dari masa muda sebagai pemuda revolusioner hingga pemimpin Hamas yang memimpin Operasi Badai Al-Aqsa, inilah kisah perjalanan hidupnya.
Sinwar adalah seniman yang sangat praktis. Karyanya bukanlah puisi atau lukisan tetapi revolusi yang nyata. Dialah yang merancang Operasi Bada Al-Aqsa pada 7 Oktober lalu.
Sumber: Al Mayadeen
- RS Indonesia di Gaza Berhenti Beroperasi, Pasien Korban Serangan Israel Tak Tertampung
- Israel Kuasai RS Al-Shifa Gaza, Jadikan Pusat Penyiksaan dan Penahanan
- "Israel Akan Membunuh Kami, Entah Kami Melawan atau Tidak"
- Israel Pakai Bom Fosfor Putih di Gaza dan Libanon, Bisa Membakar Kulit Sampai Tulang
Tanggal 7 Oktober akan selamanya diingat sebagai momen bersejarah perlawanan terhadap penjajahan Israel, di mana pejuang muda berhasil mengelabui sistem keamanan ketat negara tersebut. Momen yang dimaksud adalah penghancuran blokade Zionis yang diberlakukan di Gaza dan pemberontakan melawan penjajah.
Menurut perkiraan situs berita Prancis, Media Part, hanya dalam waktu enam jam, pejuang Perlawanan Palestina berhasil menyebabkan kehancuran dahsyat bagi Israel, melumpuhkan 1000 pasukan, melukai lebih dari 2000 orang, dan menawan ratusan lainnya.
"Serangan dahsyat ini diputuskan oleh Yahya Sinwar," ungkap Kepala Staf Angkatan Besenjata Israel (IDF), Herzi Halevi tak lama setelah operasi tersebut.
Sinwar, yang namanya secara harfiah diterjemahkan sebagai nelayan atau pembuat kail pancing dalam bahasa Arab, terlihat berada di puncak Operasi Badai Al-Aqsa.
Foto: AFP
Laporan yang ditulis Reuters awal bulan ini mengingatkan pidato Sinwar pada 2022 yang dengan aneh tampak meramalkan peristiwa Operasi Badai Al-Aqsa dari kata-katanya.
Dalam pidato yang ditujukan kepada lembaga keamanan Israel pada 14 Desember tahun lalu, dalam acara HUT ke-35 pembentukan Hamas di Gaza, inwar secara khusus mengancam Israel dengan "badai" yang akan datang.
"Kami akan datang padamu, insyaallah, dalam badai yang kencang. Kami akan datang padamu dengan roket tak berujung, kami akan datang padamu dalam banjir pejuang yang tak kenal lelah, kami akan datang padamu dengan jutaan rakyat kami, seperti pasang surut yang tak berkesudahan," serunya dalam pidato yang disampaikan di hadapan warga Gaza.
Reuters mencatat bahwa pada saat pidato itu, Sinwar bersama Mohammed al-Deif, komandan Brigade Al-Qassam, telah menyiapkan rencana rahasia untuk 7 Oktober.
Yahya Sinwar berasal dari kota pesisir Askalan yang penduduk aslinya orang Palestina. Awalnya, ia bekerja di industri perikanan sebelum diusir oleh milisi Zionis.
Ia lahir di kamp Khan Younis di Gaza dari orang tua pengungsi yang terpaksa diusir dalam Peristiwa Nakba 1948. Sinwar sangat aktif dalam politik sejak usia muda. Selama kuliah, ia memimpin Blok Islam di Universitas Islam Gaza di mana ia mendapatkan gelar sarjana dalam Studi Bahasa Arab.
Pada tahun 1982, Sinwar yang berusia 19 tahun, ditangkap untuk pertama kalinya karena terlibat dalam aktivisme anti-Zionis. Dia mendekam selama beberapa bulan di penjara Israel. Namun, bukannya putus asa, ia justru semakin termotivasi untuk mendedikasikan dirinya pada revolusi Palestina.
Setelah beberapa bulan di penjara Israel, Sinwar keluar dari penjara dengan lebih berdedikasi dan terhubung dengan pejuang revolusioner Palestina lainnya di penjara.
Foto:
Mustafa Hassona/Anadolu
Pada 1985, dia ditangkap lagi. Selama hukuman keduanya di penjara Israel, ia bertemu dengan Sheikh Ahmad Yassin, pendiri dan pemimpin Hamas, beberapa tahun sebelum kelompok perlawanan itu terbentuk. Itu menjadi pembuka jalan bagi posisinya di jajaran pimpinan Hamas.
Setelah dibebaskan pada akhir 1985, Sinwar bekerja dalam pengorganisasian politik. Pengalaman ini meningkatkan aktivismenya menjadi tindakan bersenjata terorganisir. Pada tahun itu, Sinwar mendirikan organisasi Al-Majd. Kelompok bersenjata ini, yang kemudian menyatu menjadi Hamas, berkomitmen untuk membersihkan Gaza dari pengkhianat. Sinwar, pimpinan kelompok Al-Majd, mengidentifikasi kolaborator dan mata-mata di dalam negeri lalu mengeksekusinya. Ini bagian dari strategi mengkonsolidasikan Gaza sebagai benteng perlawanan.
Pada tahun 1988, Sinwar ditangkap untuk ketiga kalinya dan dihukum penjara seumur hidup karena merusak rencana spionase dan tindakan subversif Israel di Gaza.
Yahya Sinwar menghabiskan masa dewasanya di penjara Israel. Ia terpaksa meninggalkan praksis gerakan pembebasan.
Dia juga menyaksikan pembebasan Lebanon Selatan pada tahun 2000, pembebasan Gaza pada tahun 2005, kemenangan perlawanan Lebanon melawan agresi Israel pada tahun 2006, konsolidasi aliansi Axis Perlawanan regional, Intifada Pertama, dan Intifada Kedua yang semakin mengobarkan semangat perjuangannya.
Selain itu, kemenangan Hamas dalam pemilu Gaza pada tahun 2006 membuatnya puas dan menganggapnya sebagai kemenangan strategis, yang dinilain semakin menguatkan Gaza sebagai benteng perlawanan.
Pada 2011, Sinwar dibebaskan bersama dengan 1.027 tahanan lainnya dalam kesepakatan pertukaran tahanan antara kelompok pejuang Palestina dan Israel. Dia pun berjanji untuk membebaskan semua tahanan Palestina yang masih berada di penjara Israel.
Setelah bergabung dengan Hamas, jabatannya kian melejit. Ia menggantikan Ismail Haniyeh sebagai Kepala Politik Gaza pada tahun 2017.
Yahya Sinwar menjadi salah satu tahanan Palestina yang paling lama berada di penjara Israel.
Pada 2018, Sinwar juga memimpin Great March of Return atau protes damai menuntut pembukaan blokade Gaza, tiga tahun sebelum Operasi Badai Al-Aqsa.
Foto: Zeinab El-Hajj