Sosok Yahya Sinwar yang Jarang Diketahui, Jago Bahasa Ibrani dan Seorang Penulis Novel
Israel mengklaim Yahya Sinwar terbunuh dalam pertempuran pada Rabu (16/10).
Pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, dilaporkan terbunuh di Jalur Gaza, Palestina, saat bertempur dengan pasukan penjajah Israel pada Rabu (16/10). Kabar kematian Sinwar diumumkan Israel pada Kamis (17/10), namun sampai saat ini belum ada konfirmasi atau pernyataan resmi dari Hamas.
Sinwar (62), menjadi pemimpin Hamas sejak Agustus, setelah pendahulunya, Ismail Haniyeh dibunuh Israel di Teheran, Iran.
Sinwar lahir di kamp pengungsi Khan Younis, Gaza selatan, pada 1962. Orang tuanya diusir dari rumah mereka di Ashkelon oleh Israel pada 1948 selama peristiwa Nakba, ketika 750.000 rakyat Palestina juga diusir dari rumah mereka.
Dia mengambil studi Arab saat kuliah di Universitas Islam Gaza, di mana dia pertama kali merasakan politik dan aktivisme mahasiswa, seperti dikutip dari Middle East Eye, Jumat (18/10).
Pada 1982, Sinwar ditangkap di kampusnya untuk pertama kali oleh otoritas Israel karena terlibat dalam aktivisme anti penjajahan. Dia ditangkap lagi tiga tahun kemudian, dan akhirnya pendiri Hamas, Sheikh Ahmed Yassin. Yassin kemudian menarik Sinwar ke dalam lingkarannya.
Sinwar kemudian menjadi salah satu pendiri Munazzamat al-Jihad w'al-Dawa, atau Majd, yang didirikan untuk memburu dan melenyapkan orang-orang Palestina yang bekerja sama dengan Israel. Ia menjadi aparat keamanan pertama Hamas yang baru dibentuk.
Menulis Novel
Pada 1988, dia kembali ditangkap pasukan Israel dan dihukum empat penjara seumur hidup atau setara dengan 426 tahun penjara.
Dia dituduh terlibat dalam penangkapan dan kematian dua tentara Israel dan empat tersangka mata-mata Palestina. Maka dimulailah tugas menjalani hukuman 23 tahun di penjara Israel.
Di dalam penjara ia belajar bahasa Ibrani, sering membaca surat kabar Israel dan membenamkan dirinya dalam politik dan budaya Israel. Dia mengatakan hal itu membantunya lebih memahami musuhnya.
Dia juga menulis sebuah novel berjudul The Thorn and the Carnation, tentang pengalaman hidupnya tumbuh di Gaza.
Pada 2011, dia dibebaskan dari penjara bersama 1.047 tahanan Palestina lainnya. Pembebasan ribuan tahanan Palestina ini ditukar dengan pembebasan tentara Israel, Gilad Shalit, yang ditawan di Gaza pada 2006.
Operasi Badai Al-Aqsa
Tak lama setelah bebas, Sinwar terpilih masuk ke bagian biro politik Hamas. Dia ditugaskan berkoordinasi dengan sayap bersenjata Hamas, Brigade Al-Qassam.
Sinwar sangat terlibat, baik secara politik maupun militer, dalam upaya Hamas selama perang tujuh minggu dengan Israel pada musim panas 2014. Beberapa bulan setelah perang tersebut, Amerika Serikat menambahkan Sinwar ke dalam daftar “teroris global yang ditetapkan secara khusus”.
Pada 2017, dia menjadi kepala Hamas di Gaza. Pada tahun tersebut, dia juga mempelopori pembicaraan rekonsiliasi Hamas dengan Fatah dan Otoritas Palestina (PA) di bawah pengawasan Mesir.
Pada 2018, ia memainkan peran utama dalam mengorganisir protes damai "Great March of Return", yang menuntut diakhirinya pengepungan di Gaza dan hak untuk kembali bagi para pengungsi. Aksi ini ditindak secara brutal oleh pasukan Israel, menewaskan 230 pengunjuk rasa.
Dia juga mempelopori Operasi Pedang Yerusalem sebagai respons terhadap pemboman Israel di Gaza antara 6 dan 21 Mei 2021. Yang paling menonjol, ia dianggap sebagai arsitek Operasi Badai Al-Aqsa, serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023.
Selama agresi Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2023, Sinwar tidak pernah terlihat di hadapan publik. Dia diyakini berada di bawah terowongan di bawah Jalur Gaza.
Beberapa tawanan Israel yang kemudian dibebaskan mengatakan mereka melihat dan bahkan berbicara dengan Sinwar di dalam terowongan.