Survei: Mayoritas Warga Israel di Luar Negeri Tidak Mau Kembali ke Negaranya
Survei: Mayoritas Warga Israel di Luar Negeri Tidak Mau Kembali ke Negaranya
Sebuah survei terbaru mengungkapkan fakta mengejutkan 80 persen warga Israel yang tinggal di luar negeri saat ini tidak berniat kembali ke Israel.
- Survei: Mayoritas Kaum Muda Inggris Menilai Israel "Seharusnya Tidak Ada"
- Ini Dampak yang Akan Terjadi Jika Palestina Diakui Sebagai Negara
- Merasa Malu dan Bersalah atas Sikap Negaranya di Gaza, Perwira Intelijen AS Mengundurkan Diri
- Tak Hanya di Gaza, lsrael Bunuh Ratusan Anak-Anak Palestina di Tepi Barat
Survei: Mayoritas Warga Israel di Luar Negeri Tidak Mau Kembali ke Negaranya
Survei itu menyoroti warga yang menolak kembali ke negara mereka meskipun saat ini mereka merasa tidak aman di tempat tinggal saat ini.
Dari hampir 2.000 responden, 96 persen adalah pemegang paspor Israel yang tinggal di luar negeri. Sebanyak 55 persen dari mereka sudah tinggal di luar negeri selama lebih dari 10 tahun, sementara 19 persen lainnya sudah tinggal di luar negeri selama lebih dari lima tahun.
“Sebagian besar warga Israel tidak berencana kembali ke Israel, dan respons yang memadai harus diberikan kepada mereka, di mana pun mereka berada. Kita harus menemukan—generasi muda pemimpin Israel di luar negeri—membina mereka, dan membekali mereka untuk mengatasi antisemitisme di seluruh dunia," Ketua Departemen Kegiatan Diaspora WZO, Gusti Yehoshua Braverman, kepada media berbahasa Ibrani, seperti dilansir laman the Cradle, Rabu (20/3).
Menanggapi luasnya dukungan global luas terhadap kemerdekaan Palestina sejak dimulainya genosida Israel di Gaza, para pemimpin Barat dan media berulang kali menggemakan klaim yang dibuat oleh para pemimpin Zionis, menyerukan setiap bentuk solidaritas terhadap Gaza atau kritik terhadap Israel sebagai "antisemitisme".
Dalam beberapa bulan pertama setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober, hampir setengah juta warga Israel meninggalkan wilayah pendudukan.
Selain itu, negara ini juga mengalami penurunan besar dalam jumlah imigran Yahudi yang pindah ke Israel.
Bahkan sebelum pecahnya konflik di Gaza, jumlah warga Israel yang mengajukan permohonan paspor asing melonjak karena ketidakpuasan yang meluas terhadap rencana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk melakukan perombakan hukum, yang dianggap oleh orang Israel sekuler sebagai ancaman terhadap demokrasi.
Lonjakan ini mencerminkan kembalinya ketakutan lama Israel akan terjadinya 'pembalikan Aliyah', yaitu eksodus massal orang Yahudi ke wilayah lain di dunia, kebalikan dari imigrasi massal pada awal abad ke-20 yang berujung pada berdirinya negara Israel pada Mei 1948.