Teknologi Mata Bionik, Harapan Baru Bagi Orang Buta yang Ingin Melihat Dunia
Sedikitnya 2,2 juta orang di seluruh dunia menderita gangguan penglihatan, mulai dari tingkat rungan sampai kebutaan total, menurut WHO. Dampak kebutaan ini berpengaruh pada perekonomian global karena berkaitan dengan hilangnya produktivitas.
Pada suatu masa, ada sekawanan domba Australia, dengan penglihatan yang sangat tajam. Sekawanan kecil hewan ini menghabiskan tiga bulan pada tahun lalu menggunakan bionik, mata buatan, yang ditanam di belakng retina mereka.
Domba ini adalah bagian uji coba medis yang tujuan akhirnya adalah membantu orang-orang dengan beberapa jenis kebutaan untuk bisa melihat.
-
Apa saja teknologi canggih di abad 21 yang dibayangkan para seniman abad 19? Tiap gambar menampilkan kemajuan teknologi pada abad 21 dalam imajinasi orang-orang pada zaman tersebut.
-
Apa yang dimaksud dengan perkembangan teknologi? Perkembangan teknologi adalah fenomena yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia. Teknologi telah mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi satu sama lain.
-
Apa spesies baru yang ditemukan para ilmuwan? Ular ini merupakan spesies baru anaconda hijau yang ditemukan para ilmuwan.
-
Apa saja contoh fasilitas modern yang ada di SMK? Banyak SMK yang dilengkapi dengan fasilitas modern yang mendukung proses pembelajaran dan praktik.
-
Di mana teknologi sains praktik diterapkan dalam kehidupan sehari-hari? Contohnya seperti teknologi sains praktik pada teknik elektro, rekayasa optik, mikroteknologi, atau pembangkit listrik.
-
Apa yang menjadi ciri khas negara maju dalam hal teknologi? Negara maju adalah negara yang memiliki standar hidup tinggi dengan perekonomian merata, penggunaan teknologi tinggi, dan telah berhasil dalam berbagai bidang.
Tujuan spesifik uji coba pada domba ini adalah untuk melihat apakah alat yang ditanam dalam mata mereka, Phoenix 99, bisa menyebabkan reaksi fisik - mata buatan atau mata bionik disebut bisa ditoleransi dengan baik oleh binatang. Hasilnya, saat ini izin telah diajukan untuk mulai melakukan uji coba pada pasien manusia.
Proyek ini dilakukan tim peneliti dari Universitas Sydney dan Universitas New South Wales, Australia.
Dikutip dari BBC, Senin (14/2)), Phoenix 99 ini nirkabel yang disambungkan dengan sebuah kamera kecil yang dipasang pada kacamata, yang bekerja dengan menstimulasi pemilik retina. Retina adalah laporan sel yang sensitif terhadap cahaya di belakang mata yang mengubah cahaya menjadi pesan-pesan elektrik, dikirim ke otak melalui saraf optik, dan diproses menjadi apa yang kita lihat.
Perangkat Phoenix 99 mampu melewati sel retina yang rusak, dan 'memicu' sel-sel yang masih bisa bekerja.
"Tidak ada reaksi yang tidak diinginkan dari jaringan sekitar perangkat, dan kami harap bisa tetap terpasang selama bertahun-tahun," jelas ahli biomedis Fakultas Teknik Biomedis Universitas Sydney, Samuel Eggenberger.
Sedikitnya 2,2 juta orang di seluruh dunia menderita gangguan penglihatan, mulai dari tingkat rungan sampai kebutaan total, menurut WHO. Dampak kebutaan ini menurut WHO berpengaruh pada perekonomian global karena berkaitan dengan hilangnya produktivitas.
Harga fantastis
Dokter spesialis mata yang berbasis di New Jersey, Dr Diane Hilal-Campo mengatakan inovasi semacam ini tidak hanya mempermudah diagnosis dan lebih presisi, tapi juga mengubah perawatan pasien menjadi lebih baik.
Dia mencontohkan mata bionik yang telah ditanamkan di lebih dari 350 pasien di seluruh dunia yang disebut Argus II dari perusahaan AS, Second Sight.
Argus II bekerja dengan cara yang sama seperti Phoenix 99, dan versi awalnya pertama kali dipasang kepada seorang pasien pada 2011.
Second Sight saat ini kembali mengerjakan produk baru yang disebut Orion. Ini adalah implan pada otak, dan perusahaan mengatakan tujuannya adalah Orion akan bisa mengobati hampir semua jenis kebutaan. Proyek ini masih dalam tahap uji klinis awal.
Sistem mata bionik lainnya adalah Prima, dikembangkan perusahaan Prancis, Pixium Vision; dan Bionic Eye System yang dikembangkan tim Australia lainnya, Bionic Vision Technology.
Menurut Dr Hilal-Campo, salah satu masalahnya adalah teknologi ini harganya sangat mahal sehingga membuatnya hanya bisa terjangkau untuk kalangan tertentu. Argus II, misalnya, harganya mencapai USD 150.000 atau sekitar Rp 2,1 miliar.
Dia menambahkan, karena teknologinya masih dalam tahap awal, hasilnya belum mendekati sempurna.
"Saya tidak punya keraguan bahwa teknologi tersebut telah mengubah hidup para pasien yang cukup beruntung menerima cangkok ini," jelas Dr Hilal-Campo.
"Tapi saat ini, teknologi ini terbatas, hanya memungkinkan persepsi cahaya dan bayangan, dan, sampai batas tertentu, bentuk," lanjutnya.
"(Tapi) saya optimis, dalam beberapa tahun mendatang, perusahaan bioteknologi akan terus menemukan cara baru untuk membantu mengembalikan penglihatan mereka yang mengalami kehilangan penglihatan."
(mdk/pan)