Terpaksa menyambut maut di Gaza
Raemer masih bisa lari jika roket terbang, tapi Rasya hanya mampu menanti maut datang.
Serbuan roket dari Jalur Gaza biasa menghujani tempat tinggalnya saban pagi. Ini membuat Adele Raemer cuma memiliki sedikit waktu untuk berjalan-jalan dengan dua anjingnya dan kemudian mandi.
Sebab kalau roket-roket itu sudah datang dan sirene peringatan meraung-raung, dia mesti bergegas berlindung ke dalam bunker dalam rumahnya.
Raemer menetap di Kibbutz Nirim, komunitas pertanian Yahudi di wilayah Eshkol, sekitar 2,4 kilometer dari perbatasan Gaza. 'Semua telah disipakan sehingga mudah bagi saya berlari (ke tempat berlindung)," katanya seperti dilansir stasiun televisi CNN kemarin. Sepekan ini saja sudah empat roket menghantam daerahnya.
Pihak berwenang telah memperingatkan waktu untuk segera menyelamatkan diri sangat singkat setelah alarm berbunyi: 15 detik saja. "Bukan 15 detik, hampir sepuluh detik," ujar Raemer. "Kadang Anda mendengar ledakan baru lari."
Perang telah bergulir sejak Selasa lalu. Para pejuang Palestina di Gaza dan Israel saling melancarkan serangan. Hanya saja palagan ini tidak berjalan seimbang. Gaza tidak memiliki angkatan perang, sedang negara Zionis itu perkasa secara teknologi militer.
Alhasil, hanya dalam tiga hari operasi militer bersandi Jaga Perbatasan telah menewaskan sedikitnya 63 warga Gaza, termasuk belasan anak, dan melukai hampir 500 orang. Di pihak Israel nihil korban meninggal, hanya belasan orang cedera.
Raemer bekerja memberi pelatihan lewat Internet sehingga lebih banyak di rumah. Sejak konflik bersenjata meningkat, sekolah, kantor, dan toko-toko tutup. Toko hanya buka sejam di waktu pagi dan sejam lagi saat sore.
Konflik memuncak setelah kematian mengenaskan Muhammad Abu Khudair, 15 tahun. Tiga pemukim Yahudi nasionalis membakar hidup-hidup remaja asal Shuafat, Yerusalem Timur, itu. Bentrokan dengan polisi antihuru-hara segera meletup di seantero Tepi Barat. Para pejuang di Gaza membalas dengan serangan roket ke wilayah Israel.
Penculikan Abu Khudair merupakan serangan balasan atas penculikan sekaligus pembunuhan tiga warga mereka, yakni Eyal Yifrach, Gilad Shaar, dan Naftali Fraenkel. Dua anggota Hamas di Kota Hebron, Tepi Barat, masih buron ditetapkan sebagai tersangka ialah Amir Abu Aisyah dan Marwan Qawasmi.
Raemer telah bermukim di Nirim sejak 1975. Dia ingat betul situasinya dulu sangat berbeda. Dia biasa menyetir mobil
ke Gaza untuk berbelanja. Rumahnya pun dibangun oleh seorang tukang dari Gaza. "Mereka bukan musuh saya," ucapnya. "Saya tidak ragu mereka ingin anak-anak mereka aman."
Raemer sudah kadung cinta mati dengan kibbutz tempat tinggalnya. Karena itu, dia tidak mau mengikuti jejak dua anaknya mengungsi ke wilayah tengah Israel sejak serangan roket berlipat.
Tapi Raemer jauh lebih beruntung ketimbang Rasya, warga Khan Yunis, selatan Gaza. Dia tidak mempunyai bunker perlindungan. Dia cuma bisa berdoa saban kali jet-jet tempur dan pesawat pengebom nirawak Israel menggempur Gaza. mereka bisa datang kapan saja: pagi dan malam.
Akibatnya, Rasya cuma diam di rumah sepanjang hari. Ketika listrik padam, dia duduk ketakutan dalam gelap sambil mendengar suara bom berjatuhan. "Bunyinya sangat keras," tuturnya. Listrik cuma menyala enam jam sehari.
Rasya bahkan tidak bisa mengungsi keluar Gaza meski dia ingin. Israel telah memblokade Gaza selama tujuh tahun. Semua perbatasan darat, laut, dan udara ditutup. Bahkan, mesir harusnya menjadi penolong saat ini menolak membuka gerbang Rafah. Alhasil, Rasya mengisi hari-hari mencekam dengan membaca Alquran seraya berharap perang segera berlalu.
Kalau malam, Raemer masih bisa tidur nyenyak di tempat berlindung. Sedangkan Rasya sulit memejamkan mata. Dia mesti menenangkan anak-anaknya ketakutan.
Ketika surya terbit, Raemer masih bisa lari jika roket terbang. Tapi Rasya hanya mampu menanti maut datang.