Menengok museum dengan model arsitektur bambu runcing
"Dilihat dari belakang, Monju terlihat sebagai kubah yang menandakan masyarakat Jawa Barat sangat religius," kata Intan.
Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat berdiri anggun di Jalan Dipati Ukur Nomor 48 Bandung. Monumen ini sarat dengan simbol dan makna. Dari luar, model bangunan monumen tampak seperti kumpulan bambu runcing yang menghadap ke langit.
Monumen yang biasa disebut Monju itu didesain arsitek Slamet Wirasonjaya dan perupa Sunaryo dan diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat R. Nuriana pada 23 Agustus 1995.
Bambu runcing menjadi desain utama monumen tersebut. Desain ini diambil dari tradisi dan filosofi kehidupan masyarakat Sunda yang dekat dengan alam, khususnya dengan bambu.
Bentuk monumen menyerupai rumpun bambu yang banyak hidup di daerah Jawa Barat. Pohon tegak lurus ini dikenal dinamis dan cepat tumbuh. Besarnya manfaat bambu membuat munculnya kearifan lokal tentang bambu: "Awi gede gunana dina kahirupan sapopoe, ti mimiti lahir nepi ka maot," yang artinya: bambu sangat besar manfaatnya dalam kehidupan.
Di masyarakat Sunda, bambu dipakai untuk membuat palupuh (lantai), bilik (dinding rumah) hingga bambu runcing sebagai senjata perang.
Bambu sebenarnya satu simbol yang menjadi bagian dari desain Monju. Arsitek Slamet Wirasonjaya dan perupa Sunaryo menciptakan banyak simbol yang komplek, hasil menyerap kearifan lokal dan falsafah yang tumbuh di masyarakat Jawa Barat.
Bangunan Monju sengaja dibangun garis lurus dengan Gunung Tangkuban Parahu di utara dan Gedung Sate di selatan. Posisi ini mewakili citra masyarakat Jawa Barat yang biasa bergaul dengan alam. Dalam pantun dan tembang masyarakat Sunda, manusia digambarkan sebagai makhluk harmonis dengan alam. Alam menjadi sumber inspirasi, pendorong semangat hidup, menjadi tempat pulang dan menjadi (balik geusan ngajadi).
Posisi Monju menunjukkan kebudayaan Sunda tidak mengenal pusat (sentral), melainkan tersebar di berbagai tempat. Hal ini ditafsirkan masyarakat Jawa Barat sebenarnya plural (bhineka), dinamis dan demokratis. Konsep ini digubah dalam bentuk monumen yang tidak tunggal, tapi plural, banyak unsur menjadi bentuk monumen namun sebagai satu kesatuan saling mengisi dan saling berdialog.
Wujud monumen juga tidak kaku melainkan luwes dan terbuka. Untuk sampai pada daerah inti monumen, pengunjung harus menaiki tangga (pendakian). Bangunan-bangunan yang menyerupai bilah bambu membuat cahaya matahari membentuk siluet dan nuansa artistik.
Di antara monumen dan Gedung Sate dibangun komplek taman yang menyerap gagasan seni barok zaman neoklasik. Arsitektur gaya Eropa ini makin menegaskan keterbukaan masyarakat Jawa Barat sekaligus menegaskan bahwa vegetasi alam menghidupi lembah yang dikelilingi gunung, sesuai dengan posisi Kota Bandung.
Sedangkan jumlah rumpun, pilar dan anak tangga monumen disesuaikan dengan simbol-simbol nasional, yakni angka 5, 17, 8, dan 45 sebagai penanda dari Pancasila dan tanggal kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sekeliling monumen juga penuh dengan relief-relief dengan nuansa perjuangan mengusir penjajah.
"Jika dilihat dari belakang, Monju terlihat sebagai kubah yang menandakan masyarakat Jawa Barat sebagai masyarakat yang religius," kata Staf Monju, Intan Nuraeni, kepada Merdeka Bandung, Senin (2/11).
Dia menambahkan, sejak 2010 Monju dikelola oleh Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat. Sejak itu Monju berfungsi sebagai museum yang menyimpan koleksi perjuangan rakyat Jawa Barat.
Museum ini memiliki ruang diorama digital, ruang kantor dan ruang pameran yang semuanya berada di ruang bawah tanah. "Kita buka tiap hari jam kerja bagi pengunjung umum," katanya. Dalam sehari, dia melanjutkan, selalu ada pengunjung museum. Jumlah pengunjung bisa mencapai 500 orang jika sedang ada kegiatan.