Mengapa Kalender Masehi, Hijriyah, Jawa, dan China Memiliki Tahun dan Sistem Perhitungan Tanggal yang Berbeda
Beberapa kalender memiliki cara perhitungan hari dan penanggalan yang berbeda dan perlu kita ketahui.
Setiap kebudayaan memiliki caranya sendiri dalam mencatat dan menandai waktu, yang pada akhirnya melahirkan berbagai sistem kalender. Empat di antara sistem kalender yang paling dikenal di Indonesia adalah kalender Masehi, Hijriyah, Jawa, dan China.
Masing-masing kalender ini memiliki karakteristik unik yang mencerminkan nilai-nilai budaya, keagamaan, serta pengaruh alam yang mempengaruhi perhitungan waktu di tiap kebudayaan. Perbedaan tahun dan sistem perhitungan tanggal yang diterapkan dalam kalender-kalender ini mencerminkan sejarah dan warisan masing-masing peradaban.
-
Kapan kalender kuno itu dibuat? Kalender astronomi tradisional Tiongkok yang ditemukan berasal dari masa dinasti Shang, yang berkuasa dari sekitar tahun 1600 SM hingga sekitar tahun 1045 SM.
-
Kenapa kalender kuno tersebut dimakamkan? Dalam pandangannya, ini bukan sekadar ‘buku’ melainkan objek yang digunakan untuk menyoroti suatu tahun tertentu.
-
Bagaimana cara mengetahui hari pasaran di kalender Jawa? Kalender Jawa menggunakan dua siklus hari, yaitu siklus minggu yang terdiri dari tujuh hari (Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu) dan siklus pekan yang terdiri dari lima pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon).
-
Dimana kalender kuno tersebut ditemukan? Awal tahun ini, sejumlah artefak yang mencakup potongan kayu dan beragam item lainnya ditemukan di sebuah makam di distrik Wulong, yang terletak sekitar 870 mil (1.400 kilometer) barat daya Beijing.
-
Apa yang dimaksud dengan kata-kata tentang bulan? "Petiklah bulan, jadikan ia cahaya sahaja di malam laknat para pendosa. Sepi ini tanpa nama, dingin namun bermakna." - Jerinx SID
-
Di mana kita bisa melihat kalender Jawa Juli 2023? Berikut ini adalah kalender Jawa Juli tahun 2023.
Kalender Masehi: Kalender Berdasarkan Perputaran Matahari
Kalender Masehi, atau juga dikenal sebagai Kalender Gregorian, adalah kalender yang digunakan secara luas di seluruh dunia. Sistem kalender ini mengacu pada perputaran bumi mengelilingi matahari yang berlangsung selama sekitar 365,25 hari.
Untuk menyesuaikan siklus perputaran bumi yang tidak sempurna, kalender Masehi menambahkan satu hari ekstra setiap empat tahun, yang kita kenal sebagai tahun kabisat. Kalender ini diprakarsai oleh Paus Gregorius XIII pada tahun 1582 untuk menggantikan kalender Julian yang dianggap tidak akurat dalam menghitung waktu.
Sistem penanggalan kalender Masehi dibagi menjadi 12 bulan dengan jumlah hari yang bervariasi antara 28 hingga 31 hari. Kalender ini mengikuti siklus matahari, sehingga dikenal sebagai kalender solar, di mana tahun dimulai dari tanggal 1 Januari dan berakhir pada 31 Desember. Tanggal 1 Januari dipilih sebagai awal tahun karena tradisi Eropa yang mengaitkannya dengan pergantian musim dingin.
Kalender Hijriyah: Kalender Berdasarkan Perputaran Bulan
Berbeda dengan kalender Masehi, kalender Hijriyah mengandalkan perputaran bulan sebagai dasar perhitungan waktu. Kalender ini dipakai terutama dalam konteks agama Islam untuk menentukan berbagai hari besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan bulan puasa Ramadan. Kalender Hijriyah dimulai pada tahun 622 Masehi, saat Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah—peristiwa penting dalam sejarah Islam yang menjadi titik awal kalender ini.
Sistem kalender Hijriyah terdiri dari 12 bulan lunar, dengan setiap bulan memiliki durasi sekitar 29 hingga 30 hari. Karena perhitungan ini mengikuti siklus bulan, tahun dalam kalender Hijriyah lebih pendek dari tahun Masehi, yaitu sekitar 354 hari. Akibatnya, kalender Hijriyah mengalami pergeseran sekitar 10-12 hari setiap tahunnya dibandingkan kalender Masehi. Ini mengakibatkan bulan Ramadan, misalnya, selalu berubah dari tahun ke tahun dalam kalender Masehi.
Selain itu, kalender Hijriyah tidak mengenal konsep tahun kabisat seperti dalam kalender Masehi, yang membuatnya semakin berbeda dalam hal panjang tahun dan pergantian musim.
Kalender Jawa: Perpaduan Sistem Matahari dan Bulan
Kalender Jawa merupakan hasil dari perpaduan berbagai tradisi dan pengaruh, termasuk Hindu, Islam, serta budaya asli Jawa. Kalender ini diperkenalkan oleh Sultan Agung dari Kesultanan Mataram pada tahun 1633 sebagai upaya untuk menyatukan berbagai sistem penanggalan yang ada di Nusantara, terutama kalender Hindu-Saka dan kalender Islam.
Sistem kalender Jawa menarik karena menggabungkan elemen-elemen dari kalender solar dan lunar. Kalender ini mengikuti siklus bulan seperti kalender Hijriyah, tetapi memiliki tahun yang terdiri dari 354 atau 355 hari, tergantung tahun kabisat dalam sistem lunar. Selain itu, kalender Jawa juga memperhatikan weton, yaitu siklus pasaran (lima hari dalam sepekan) yang mempengaruhi tradisi dan budaya masyarakat Jawa.
Siklus weton ini sangat penting dalam menentukan hari-hari baik atau buruk menurut keyakinan masyarakat Jawa. Selain sistem penanggalan lunar, kalender Jawa juga mencakup sistem pancawara (siklus lima hari) dan saptawara (siklus tujuh hari) yang digunakan untuk keperluan ritual dan budaya.
Kalender China: Menggabungkan Siklus Lunar dan Solar
Kalender China, atau dikenal juga sebagai kalender Imlek, adalah kalender yang menggabungkan siklus bulan dan matahari. Kalender ini digunakan untuk menentukan berbagai hari penting dalam tradisi Tionghoa, termasuk Tahun Baru Imlek, yang jatuh pada bulan pertama dalam kalender lunar.
Kalender China mengikuti siklus bulan dalam penentuan bulan-bulan, tetapi juga memperhitungkan posisi matahari untuk menjaga keseimbangan musim. Akibatnya, tahun dalam kalender China terdiri dari sekitar 354 hingga 355 hari, mirip dengan kalender lunar, tetapi setiap tiga tahun sekali ditambahkan satu bulan tambahan (tahun kabisat) untuk menyesuaikan kembali dengan perputaran matahari, menjadikannya lunisolar.
Tahun dalam kalender China juga dikenal dengan nama-nama hewan dalam zodiak Tionghoa, yang mengikuti siklus 12 tahun. Setiap tahun memiliki nama hewan seperti naga, kelinci, atau kerbau, dan dikaitkan dengan elemen-elemen tertentu seperti air, tanah, api, atau logam. Kombinasi antara hewan dan elemen ini membuat setiap tahun memiliki karakteristik unik dalam budaya Tionghoa.
Keempat kalender ini memiliki sistem perhitungan yang berbeda karena mencerminkan perbedaan cara pandang dan kebutuhan masyarakat yang menggunakannya.Keunikan dan keberagaman sistem penanggalan ini tidak hanya menjadi penanda waktu, tetapi juga warisan budaya yang terus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi.