Membedah Sejarah Suro, Bulan Sakral Dalam Kalender Jawa
Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram mengakulturasikan kalender Hijriyah sebagai kalender Jawa
Membedah Sejarah Suro, Bulan Sakral Dalam Kalender Jawa
Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa Baru/Jawa Islam yang bertepatan dengan Muharram dalam kalender Islam. Suro juga dikenal sebagai bulan yang memiliki makna sakral dan penuh dengan berbagai tradisi serta upacara adat di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa. Bulan Suro memiliki akar dari kalender Jawa yang dipengaruhi oleh sistem kalender Islam (Hijriyah).
Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram mengakulturasikan kalender Hijriyah sebagai kalender Jawa pada pergantian tahun baru Saka 1555 di hari Jumat Legi, yang bertepatan dengan 8 Juli 1633 M dan tahun baru Hijriyah, yakni 1 Muharram 1043 H.
"Pengaruh Islam terlihat jelas karena kalender Jawa tidak hanya mengubah sistem, namun juga penamaan bulan dan hari. Jika sebelumnya menggunakan bahasa Jawa kuno, kemudian diubah menjadi bahasa Arab atau bahasa Arab dalam logat Jawa. Yakni Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal, Sela dan Besar," kata dosen sejarah Universitas Nusantara PGRI Kediri Sigit Widiatmoko kepada merdeka.com, Selasa (9/7).
-
Apa makna dari kata "Suro" dalam tradisi Jawa? Kata “Suro“ merupakan sebutan bagi bulan Muharram oleh masyarakat Jawa. Kata Suro berasal dari kata “Asyura“ yang dalam bahasa Arab berarti sepuluh yang adalah tanggal 10 bulan Muharram, mengutip KH. M. Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa.
-
Kenapa 'satu suro' dianggap hari penting? Menurut pandangan kepercayaan yang berlaku, malam satu suro dianggap sebagai momen di mana arwah leluhur dari keluarga yang telah berpulang dipercaya kembali mengunjungi dan bersinggah di tengah-tengah keluarga yang masih hidup.
-
Apa makna malam 1 suro bagi masyarakat Jawa? 'Sumangga kita tansah manekung memuji asmaning Gusti Kang Maha Suci ing dalu menika, awit dalu menika malem setunggal Sura, malem ingkang suci tumraping tiyang Jawi.' (Mari kita dengan khusyuk menyebut asma Allah di malam ini, malam satu Suro, yaitu malam yang suci bagi masyarakat Jawa)
-
Bagaimana orang Jawa merayakan malam 1 suro? Malam tahun baru Hijriah bukan hanya sekadar menghitung waktu, tetapi juga mengingat sejarah Islam yang kaya dan memikirkan pencapaian spiritual di masa yang akan datang.
-
Bagaimana masyarakat Jawa rayakan Malam 1 Suro? Banyak pandangan dalam masyarakat Jawa yang menganggap malam 1 Suro sebagai malam keramat. Terlebih apabila malam 1 Suro jatuh pada Jumat Legi karena malam ini dikaitkan dengan hal-hal mistis.
-
Bagaimana orang Jawa rayakan malam 1 Suro? Secara tradisional, malam satu Suro juga dianggap sebagai malam yang penuh berkah dan kemurahan.
Meski demikian kalender Jawa tetap tidak kehilangan identitasnya, meski telah menyesuaikan dengan budaya Islam, Hindu-Buddha atau bahkan Barat, kalender ini tidak menghapus sistem Jawa secara keseluruhan.
Lebih detail formulasi kalender Jawa-Islam Jumlah hari dalam 1 minggu adalah 7 hari dan terjadi pergantian nama dari yang semula dalam bahasa Sansekerta menjadi berbau Arab dalam versi Jawa, yakni Ahad, Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jemuwah dan Sebtu.
Untuk perhitungan hari, selain digunakan siklus mingguan seperti di atas, dalam kalender Jawa Islam juga digunakan sistem pasaran yang berlaku selama setiap lima hari, yakni Kliwon, Legi, Pahing, Pon dan Wage.
Sistem perhitungan pasaran inilah satu dari beberapa hal yang masih dipertahankan dari kalender Jawa, sampai saat ini pun sistem ini masih populer dan digunakan patokan umum oleh masyarakat Jawa, seperti perhitungan kelahiran, kematian, peringatan kematian (haul) dan sebagainya.
"Sultan Agung mengakulturasikan antara tahun Saka dan Hijriyah. Di mana diketahui permulaan tahun Hijriyah dirintis oleh Sahabat Umar Bin Khatab (dalam sejarahnya Umar Ibnu Khatab menerima surat dari gubernur Basrah yakni Abu Musa Al Asy'ari yakni 'menjawab surat tuan yang tidak bertanggal') kalimat pendek itu disadari perlunya penanggalan," jelasnya.
Dalam buku Misteri Bulan Sura Perpektif Islam Jawa Karya Muhammad Sholihin halaman 23, disampaikan penetapan bulan Hijriyah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun ke-17 setelah Nabi Muhammad hijrah atau tahun keempat Umar menjadi khalifah.
Dalam Hijriyah perhitungan untuk satu tahun sama dengan 345 hari, kalender ini berdasarkan perubahan posisi bulan, di mana perhitungan Hijriyah lebih pendek 11 hari dari tahun Masehi
Khalifah Umar merasa perlu untuk memiliki sistem penanggalan yang seragam untuk memudahkan urusan kenegaraan dan kemasyarakatan dalam wilayah kekuasaan Islam.
Sistem penanggalan ini kemudian diberi nama Hijriyah, mengacu pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad sebagai titik awal perhitungan tahun.
Uniknya, dengan reformulasi ini, kalender Saka Jawa tidak lantas diulang dari tahun pertama atau bahkan mengikuti perhitungan kalender Hijriyah, namun melanjutkan sebagaimana hitungan awalnya.
Hingga dapat disimpulkan kalender Jawa pada tahun 1 hingga 1555 menggunakan solar system dan kental budaya Hindu, sedang pada 1555 hingga sekarang menggunakan lunar system dan berasimilasi dengan tradisi keislaman.
Dalam buku Faqih Hisab Rukyah karya Ahmad Izzudin terbitan Erlangga Jakarta halaman 55, menjelaskan pada hari Sabtu 14 Maret tahun 78 M merupakan permulaan tahun Saka ini digunakan, atau bertepatan dengan penobatan Prabu Syaliwahono (Aji Saka).
Kemudian kalender ini dikenal dengan Kalender Saka, Kalender ini eksis digunakan oleh masyarakat Jawa hingga awal abad ke-17.
Kalender ini mengenal sistem siklus hari, yang terdiri dari dua siklus yakni: siklus mingguan yang banyaknya tujuh hari seperti yang kita kenal saat ini.
Kemudian siklus pancawara yang jumlah harinya ada 5 hari pasaran seperti yang ditulis Husein dalam Kulminasi Sistem Kalender yang diterbitkan Duta Media halaman 40.
Ada pula yang menyebut kalender Aji Saka ini sebagai asal sistem hisab rukyah Islam kejawen, yakni saat kota Ujjayini direbut oleh kaum Saka (Scythia) di bawah pimpinan maharaja Kaniska dari tangan kaum Satavahana.
Berdasarkan informasi yang dirangkum, Kanishka (Bahasa Kushan: Κανηϸκι) adalah raja Kekaisaran Kushan di Asia Tengah, menguasai kekaisaran yang terbentang dari Baktria ke India pada abad ke-2.
Tahun baru dari kalender Saka ini terjadi saat Minasamkranti (Matahari pada posisi di rasi Pisces) awal musim semi dengan nama-nama bulannya sebagai berikut Caitra, Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana, Bhadrawada, Aswina (Asuji), Kartika, Margasira, Posya, Magha, Phalguna.
"Sultan Agung memadukan dan sekaligus menunjukkan kewenangannya sebagai Raja Agung Islam Mataram dengan membuat kalender Jawa yang dipengaruhi oleh sistem kalender Islam (Hijriyah)".
"Dalam tradisi Jawa, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang penuh dengan aura mistis dan sakral. Masyarakat Jawa percaya bahwa bulan ini adalah waktu yang tepat untuk refleksi spiritual dan membersihkan diri dari pengaruh buruk. Suro dalam konteks Jawa itu mengandung makna panas/kemarahan yang dianut di masyarakat Jawa sehingga upaya yang dilakukan adalah refleksi diri, sosial dan perenungan spiritual. Suro juga bisa disebut bulan pencucian diri," tandasnya.
Asyura, yang jatuh pada hari ke-10 Muharram, memiliki signifikansi khusus dalam sejarah Islam, termasuk peringatan atas syahidnya cucu Nabi Muhammad, Husain bin Ali, di Karbala.
Meskipun peristiwa ini lebih dikenal di dunia Islam, masyarakat Jawa mengadopsi bulan ini sebagai waktu untuk melakukan refleksi diri, sosial dan perenungan spiritual.
"Atas dasar ini pula tradisi jamasan pusaka dimulai di era Sultan Agung tepatnya di bulan Suro. Di mana di masa sebelumnya tidak dilakukan. Tujuannya adalah di Bulan Suro atau Muharam adalah peristiwa terbunuhnya cucu Rasulullah, sehingga perlu kiranya untuk menjamasi pusaka salah satunya untuk menghindari peperangan. Sebab bulan Suro adalah bulan refleksi dan perenungan spiritual. Termasuk tidak dilakukannya hajatan nikahkan, membangun rumah dan lain-lain," ungkapnya.
Masih menurut Sigit, salah satu tantangan utama dalam melestarikan tradisi Suro adalah pengaruh modernisasi dan globalisasi yang dapat menyebabkan berkurangnya minat generasi muda terhadap tradisi ini.
Upaya pelestarian melalui pendidikan dan media sosial menjadi penting untuk menjangkau generasi muda. Perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi juga dapat mempengaruhi pelestarian tradisi.
Urbanisasi dan perubahan gaya hidup dapat menyebabkan tradisi Suro kurang relevan bagi masyarakat perkotaan.
Keanekaragaman agama dan budaya di Indonesia juga dapat menjadi tantangan dalam pelestarian tradisi Suro.
Penghargaan terhadap pluralitas dan dialog antarbudaya menjadi penting untuk menjaga tradisi ini tetap hidup.
"Dukungan dari pemerintah dan lembaga adat desa sangat penting dalam melestarikan tradisi Suro dalam kegiatan rutin tahunan. Program-program yang mendukung pelestarian budaya, termasuk pembiayaan dan fasilitas, dapat membantu menjaga tradisi ini tetap hidup. Dengan memperhatikan sejarah dan upaya pelestarian yang berkelanjutan, tradisi Suro dapat terus dijaga dan dilestarikan sebagai bagian penting dari warisan budaya Indonesia, khususnya bagi masyarakat Jawa," pungkasnya.