Seputar Tentang Pagar Laut, Pembangunan yang Membentang Sejauh 30 KM di Pesisir Tangerang yang Jadi Perbincangan Nasional
Pagar laut sepanjang 30 km di pesisir Tangerang mendapat perhatian publik.
Pemasangan pagar laut yang membentang sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Tangerang, Banten, telah menarik perhatian di tingkat nasional. Pagar yang terbuat dari bambu ini melintasi 16 desa dan enam kecamatan, memberikan dampak signifikan bagi ribuan nelayan setempat.
Banyak yang menganggap pagar tersebut ilegal karena tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Keberadaan pagar ini diduga mengganggu ekosistem laut dan menghalangi akses nelayan, sehingga menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat yang tinggal di pesisir.
- Kementerian Kelautan dan Perikanan Siap Cabut Pagar Laut Bila Terbukti Tanpa Izin
- Pagar Laut Sepanjang 30 KM Disegel, Nelayan Setempat Tanggung Kerugian Besar
- Pemagaran Sepanjang 30,16 km di Laut Tangerang Bikin Nelayan Ngeluh, Pemkab: Itu Kewenangan Provinsi
- Misteri Pagar Sepanjang 30,16 km Lintasi 6 Kecamatan di Laut Tangerang, Siapa yang Buat?
Menanggapi situasi ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berupaya mengambil tindakan tegas dan terukur, salah satunya dengan melakukan penyegelan terhadap pagar laut tersebut berdasarkan instruksi langsung dari Presiden Prabowo Subianto.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah apa fakta di balik pembangunan pagar laut ilegal ini? Siapa yang bertanggung jawab atas pembangunannya dan apa tujuan di baliknya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, simak ulasan berikut yang dirangkum oleh Liputan6 dari berbagai sumber pada Sabtu (11/1).
Apa yang dimaksud dengan Pagar Laut dan bagaimana sejarahnya?
Mengacu pada laporan ANTARA, pagar laut yang terletak di Tangerang adalah struktur penghalang yang terbuat dari bambu dengan tinggi enam meter, yang dibentangkan di sepanjang garis pantai. Pagar ini terdiri dari susunan bambu, anyaman, dan paranet yang dilengkapi dengan pemberat berupa karung berisi pasir.
Keberadaan pagar tersebut pertama kali terdeteksi pada Agustus 2024, dengan panjang awalnya hanya 7 kilometer, namun dalam beberapa bulan, panjangnya meningkat menjadi 30 kilometer. Pagar ini ditemukan di area pesisir yang mencakup 16 desa di enam kecamatan, mulai dari Kronjo hingga Teluknaga.
Wilayah tersebut juga mencakup zona yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum, seperti pelabuhan, perikanan, dan pariwisata. Hasil investigasi awal menunjukkan bahwa tidak ada rekomendasi atau izin dari pihak desa maupun camat mengenai keberadaan pagar ini.
Baru-baru ini, Kusdiantoro, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (DJPKRL) KKP, menyatakan bahwa pagar laut tersebut melanggar peraturan karena tidak memiliki izin KKPRL.
Pemasangan pagar ini juga dianggap bertentangan dengan prinsip tata ruang laut yang seharusnya menjamin akses terbuka bagi masyarakat. "Pemagaran laut mengindikasi adanya upaya orang untuk mendapatkan hak atas tanah di perairan laut secara tidak benar," ungkapnya pada hari Kamis lalu.
Fungsi Pagar Laut
Pagar laut diduga digunakan untuk membatasi area laut tertentu demi kepentingan tertentu, seperti budidaya perikanan atau privatisasi ruang laut. Keberadaan pagar ini tidak hanya mengganggu ekosistem, tetapi juga menghalangi jalur kapal nelayan, yang memicu kekhawatiran akan kemungkinan perubahan fungsi ruang laut tanpa izin.
Fungsi dari pagar tersebut menjadi sorotan karena diduga terkait dengan rencana pembangunan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK2), yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Meskipun demikian, Menteri Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada bukti yang menunjukkan keterkaitan langsung dengan PSN.
Ombudsman RI juga menyoroti bahwa keberadaan pagar ini berpotensi mengakibatkan pelanggaran administratif dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM). Pagar tersebut dianggap merugikan nelayan, karena menyulitkan akses mereka ke laut, meningkatkan biaya operasional, dan mengurangi hasil tangkapan.
kibatnya, kerugian ekonomi yang dialami oleh para nelayan diperkirakan mencapai Rp8 miliar. "Kami berharap, agar pagar bambu tersebut segera dicabut lantaran sudah mengganggu mata pencaharian para nelayan," ujar seorang nelayan yang enggan disebutkan namanya.
Pemasangan Pagar Laut Diduga Dilakukan oleh Kelompok Perahu yang Berasal dari Tanjung Kait
Hingga saat ini, identitas orang yang bertanggung jawab atas pemasangan pagar laut masih belum terungkap. Dugaan sementara menunjukkan bahwa pihak tertentu mungkin memiliki kepentingan untuk menguasai wilayah tersebut secara eksklusif.
Namun, tindakan ini dianggap melanggar hukum karena tidak dilengkapi dengan izin KKPRL, yang merupakan syarat bagi semua aktivitas di perairan Indonesia. Seorang nelayan mengungkapkan bahwa ia pernah melihat perahu kecil yang diduga digunakan oleh individu-individu yang melakukan pemasangan pagar laut tersebut.
Ia menjelaskan bahwa perahu tersebut berasal dari Tanjung Kait dan menggunakan metode pemasangan bambu secara manual. "Orang-orang yang pasang sih enggak tahu. Tapi, kalau lihat kapalnya itu dari Tanjung Kait. Kapalnya kecil, untuk pemasangan bambunya pakai manual, orang-orang di kapal yang memasang," ujarnya.
Dampak Negatif Pagar Laut
Keberadaan pagar laut telah memberikan dampak negatif bagi ribuan nelayan di pesisir Tangerang. Mereka terpaksa mencari rute yang lebih jauh untuk menghindari pagar tersebut, yang mengakibatkan peningkatan biaya bahan bakar.
Di samping itu, akses ke area tangkapan ikan seperti udang, kerang, dan rajungan menjadi sangat terbatas. Terdapat dugaan bahwa pagar ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berkaitan dengan pembangunan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK2) yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Namun, hingga saat ini, belum ada bukti yang dapat mendukung klaim tersebut. Ombudsman RI mencatat bahwa penggunaan ruang laut secara ilegal ini berpotensi menjadi pelanggaran serius yang melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kewenangan terkait kasus pagar laut ini.
Penghalangan akses laut ini juga semakin memperburuk kondisi ekonomi para nelayan, yang sebagian besar bergantung pada hasil laut sebagai sumber penghidupan utama. Situasi ini mendorong desakan agar pagar tersebut segera dibongkar.
Banyak nelayan yang merasa tertekan dan kehilangan mata pencaharian akibat adanya pagar yang menghalangi akses mereka ke laut. Dengan adanya pembatasan ini, mereka tidak hanya menghadapi tantangan dalam mencari ikan, tetapi juga dalam mempertahankan kehidupan sehari-hari mereka.
Oleh karena itu, penanganan masalah ini sangat penting untuk memastikan kesejahteraan nelayan dan kelangsungan hidup mereka di masa depan.
Langkah KKP dan instruksi dari Presiden Prabowo Subianto
Menanggapi kekhawatiran masyarakat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengambil tindakan tegas dengan melakukan penyegelan terhadap pagar laut yang sepanjang 30 kilometer. Tindakan ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) berdasarkan instruksi langsung dari Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono. Presiden menegaskan bahwa negara tidak boleh kalah dan wajib melindungi hak-hak masyarakat.
Pemerintah memberikan tenggat waktu selama 20 hari kepada pihak-pihak yang terlibat untuk membongkar pagar tersebut. Apabila mereka tidak melaksanakan perintah itu, KKP akan melakukan pembongkaran sendiri. Selain itu, proses investigasi masih berlangsung untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab atas pemasangan pagar tersebut.
"Pak Presiden sudah menginstruksikan. Saya pun tadi pagi diperintahkan Pak Menteri langsung untuk melakukan penyegelan. Negara tidak boleh kalah. Kami hadir di sini untuk melakukan penyegelan karena sudah meresahkan masyarakat, sudah viral. Intinya, kami akan dalami dulu. KKP akan mendalami siapa pemiliknya. Kami cari informasi. Kalau sudah fiks ketemu, pasti akan kami lakukan tindakan lebih lanjut," jelas Direktur Jenderal PSDKP KKP, Pung Nugroho Saksono, seperti yang dilansir oleh Liputan6 Bisnis.
Pagar laut di Tangerang adalah struktur yang dibangun untuk melindungi area pesisir dari gelombang laut dan abrasi
Pagar laut yang terbuat dari bambu membentang sejauh 30 km di tepi pantai Tangerang, dan keberadaannya menghalangi akses para nelayan. Hal ini tentu saja menimbulkan masalah bagi mereka yang bergantung pada laut untuk mencari nafkah.
Pagar laut dianggap ilegal karena dapat mengganggu ekosistem laut dan hak nelayan untuk menangkap ikan
Pagar yang ada saat ini tidak memiliki izin dari KKPRL, sehingga dianggap melanggar peraturan yang berkaitan dengan tata ruang laut. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan pagar tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan dapat menimbulkan masalah di kemudian hari.
Apa pengaruh pagar laut terhadap para nelayan?
Para nelayan saat ini menghadapi tantangan besar saat melaut. Mereka mengalami peningkatan biaya operasional yang signifikan, sementara hasil tangkapan mereka mengalami penurunan yang sangat drastis.
Apa tindakan yang diambil pemerintah dalam situasi ini?
KKP telah melaksanakan penyegelan pada pagar laut sesuai dengan arahan dari Presiden. Mereka memberikan tenggat waktu selama 20 hari untuk melakukan pembongkaran terhadap struktur tersebut.