Asal Muasal Dwifungsi ABRI: Jalan Tengah Warisan Sang Jenderal
Jenderal yang biasa disapa 'Pak Nas' ini merumuskan sebuah konsep yang disebut 'Jalan Tengah' atau 'Middle Way'.
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengusulkan penempatan perwira TNI aktif di Kementerian/Lembaga. Luhut mengusulkan revisi UU TNI. Satu pasal yang diusulkan yaitu penempatan TNI agar bisa bertugas di kementerian/lembaga. Usulan ini dipandang sebagai salah satu upaya menghidupkan kembali 'dwifungsi ABRI'. Seperti yang terjadi era Orde Baru.
Ada kalanya ketika ABRI beramai-ramai menduduki kursi strategis pemerintahan, bukan sebagai alat pertahanan negara, melainkan sebagai fungsionaris. Di masa Orde Baru (1966 – 1998), fenomena dwifungsi ABRI adalah hal yang lumrah terjadi.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
-
Kenapa Asisi Suharianto membuat konten tentang sisi lain sejarah Nusantara? "Raja itu juga manusia, ada masa mereka berada di titik-titik terendah, rindu kekasih, dan lain sebagainya," kata Asisi.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Apa karya Nasjah Djamin yang dikoleksi oleh Presiden Soekarno? Salah satu karya Nasjah yang cukup terkenal yaitu "Lestari Fardani" tahun 1958 ini telah dikoleksi oleh Presiden Soekarno pada 1960.
-
Apa peran Mohammad Nazir Datuk Pamoentjak dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia? Dirikan Cabang JSB Ketika Nazir sudah lulus menempuh pendidikan HBS di Batavia, ia memang sudah memiliki keinginan untuk melanjutkan studi di Universitas Leiden. Namun, mimpinya ini terhalang oleh kapal ke Eropa sering terhalang akibat perang dunia. Sembari menunggu kondisi terkendali, Nazir menyempatkan kembali ke kampung halamannya untuk bertemu keluarga. Mendengar kepulangannya ke Solok membuat pengurus Jong Sumatranen Bond (JSB) mendorong dirinya untuk mendirikan cabang di Padang di Bukittinggi. Dorongan tersebut ia penuhi, kemudian Nazir menyempatkan berpidato di depan siswa sekolah menengah di Padang.Saat itulah ia berbicara soal pendirian kumpulan pemuda di Sumatera yang sudah terlambat dua tahun dari Jawa yang didirikan tahun 1915. Ketua Perhimpunan Indonesia Saat dirinya sudah berangkat menuju Belanda, di sana ia mengemban tugas sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia. Saat itu ia ikut dalam kelompok pergerakan kemerdekaan Indonesia bersama dengan Moh. Hatta.Perjuangan kemerdekaan di luar negeri semakin melebar setelah lebih aktif menyuarakan kemerdekaan melalui majalah Indonesia Merdeka dan memperluas propaganda ke luar negeri Belanda. Kemudian, PI mengirim Nazir, Moh. Hatta, Ahmad Subardjo dan beberapa tokoh lainnya untuk menghadiri Kongres Internasional Menentang Kolonialisme yang berlangsung di Brussels, Belgia pada tahun 1927. Sempat Dipenjara Masih di tahun 1927, Nazir bersama Moh. Hatta, Ali Sastroamijoyo, dan Abdulmajid Djojohadiningrat dijebloskan ke penjara oleh Kerajaan Belanda karena gerakan kemerdekaannya yang semakin menggeliat. Mereka semua ditahan selama kurang lebih 5,5 bulan.
-
Apa peran NU dan Muhammadiyah dalam sejarah Indonesia? NU dan Muhammadiyah berperan penting dalam sejarah perjalanan negara ini dan berpengaruh besar terhadap perkembangan Islam di Indonesia.
Dari mana konsep ini berasal? Bicara tentang dwifungsi ABRI, tidak lepas dari sosok jenderal yang satu ini. Adalah Jenderal Abdul Haris Nasution. Sosok Jenderal peletak strategi Perang Gerilya dalam upaya melawan Belanda.
Jenderal yang biasa disapa 'Pak Nas' ini merumuskan sebuah konsep yang disebut 'Jalan Tengah' atau 'Middle Way'.
Seperti tertulis dalam Jurnal Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia yang bertajuk Militer dan Politik di Indonesia, konsep 'middle way' atau konsep 'Jalan Tengah' adalah konsep yang dikemukakan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Mayor AH. Nasution yang secara garis besar mendukung peran ABRI di luar bidang kemiliteran.
Konsep tersebut merupakan sebuah konsep yang menginginkan militer tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan keamanan negara. Militer juga harus mampu menjalankan fungsi sosial-politiknya untuk ikut dalam menentukan arah kebijakan politik negara.
Dalam buku Sejarah TNI Jilid II dijelaskan bahwa konsep seperti ini telah tercermin pada masa awal kemerdekaan, yakni dengan adanya pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan. Lebih lanjut lagi, memegang peranan kekuatan sosial-politik (secara spontan melakukan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia).
Dwifungsi Sejak era Perang Kemerdekaan
Pada masa awal Perang Kemerdekaan, pemerintah juga mengisi jabatan jabatan yang kosong dengan menempatkan anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Keluarnya Maklumat Markas Besar Umum TKR No. 2 tanggal 31 Oktober 1945 menjadi legalitas mengenai tugas TKR di luar bidang militer serta peran Angkatan Perang RI (APRI) dalam menegakkan RI secara konseptual dan struktural yang dipimpin Jenderal Soedirman semakin menguatkan peran TNI/APRI di luar bidang kemiliteran.
Pada tahun-tahun berikutnya, terjadi kemerosotan di bidang ekonomi yang menyebabkan pemberontakan PRRI dan Permesta. Maka dari itu, Jenderal AH. Nasution mengeluarkan kebijakan supremasi militer untuk menumpas pemberontakan tersebut melalui UU SOB (Staat van Oorlog en Beleg) yang memperbolehkan tindakan menjaga keamanan secara menyeluruh.
Berkaca pada peristiwa-peristiwa tersebut serta munculnya berita kudeta di luar negeri seperti kudeta di Irak yang dilakukan oleh pihak militer, lahirlah sebuah konsep jalan tengah atau middle way.
Menurut catatan Budi Susanto dan Made Tony Supriatma dalam ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995, pada 12 November 1958, Nasution berpidato di hadapan taruna-taruna Akademi Militer Nasional.
"Kita tidak menginginkan dan kita tidak akan menjiplak situasi seperti terdapat di beberapa Negara Amerika Latin, di mana tentara bertindak sebagai satu kekuatan politik yang langsung, demikian pula kita tidak akan meniru model Eropa Barat di mana tentara merupakan alat mati (dari pemerintah)," ujar Jenderal AH Nasution.
Pernyataan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan bahwa TNI akan mencari jalan tengah antara memasuki ranah politik dengan kudeta atau hanya menjadi penonton arena politik.
Konsep Jalan Tengah ala Nasution
Menurut A. H. Nasution, perwira TNI harus diberi kesempatan berpartisipasi dalam pemerintahan dan memanfaatkan keahlian mereka di bidang-bidang nonmiliter guna perkembangan bangsa. Dia menegaskan, pada tingkat pemerintahan pusat, para perwira TNI diperbolehkan berpartisipasi dalam menentukan politik negara, yang menyangkut bidang-bidang ekonomi, politik luar negeri, dan lain-lain.
TNI perlu harus diberi tempat dalam Dewan Nasional dan Kabinet. Juga dalam Dewan Perancang Nasional, korps diplomatik, parlemen dan badan lainnya dalam pemerintahan.
Menurut Pak Nas dari buku Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, konsep 'Jalan Tengah' ini adalah konsep yang paling sesuai diterapkan pada masa tersebut. Mengingat pemerintah dan pimpinan Angkatan Perang sudah membuka kesempatan bagi tokoh-tokoh militer secara individu untuk berperan di luar bidang militer. Khususnya di bidang ekonomi.
"Memberikan cukup saluran pada tentara kita bukan sebagai organisasi, tetapi sebagai perorangan-perorangan yang menjadi eksponen daripada organisasi kita, (untuk) turut serta menentukan kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi," kata Nasution.
Prof. Djokosusanto memberi nama konsep ini the army’s middle way (Jalan Tengah TNI). Dengan konsep 'Jalan Tengah', Nasution berhasil mengatasi gagalnya badan konstituante dalam menyusun UUD. Sebagai anggota Dewan Nasional, Nasution memberikan usul untuk memberlakukan kembali UUD 1945 yang diwujudkan dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Nasution lantas mematangkan konsep 'Jalan Tengah' dalam Seminar Angkatan Darat II di Bandung pada 25-31 Agustus 1966. Seminar ini diikuti ratusan peserta, termasuk para perwira senior Angkatan Darat.
Reporter Magang: Muhammad Rigan Agus Setiawan