Ji Lak Keng, Tempat Prostitusi Terkenal di Jakarta era Kolonial, Kini Jadi Apa?
Ji Lak Keng atau Jilakeng kerap kali disebut-sebut sebagai ‘Las Vegas-nya Batavia’ karena menjadi tempat hiburan dan prostitusi teramai di Batavia.
Ji Lak Keng atau Jilakeng kerap kali disebut-sebut sebagai ‘Las Vegas-nya Batavia’ karena menjadi tempat hiburan dan prostitusi teramai di Batavia.
Pada pertengahan abad ke-18, kawasan ini menjadi tempat yang sering dikunjungi oleh para pejabat dan konglomerat Belanda dan Tionghoa.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan P.K. Ojong meninggal? Sebulan kemudian, Ojong meninggal dunia pada 31 Mei 1980.
-
Kenapa KEK Singhasari penting? KEK Singhasari berkonsentrasi pada platform ekonomi digital untuk bersinergi dengan perkembangan antara bisnis pariwisata dan ekonomi digital.
-
Bagaimana Jaka Sembung melawan Ki Hitam? Akhirnya Jaka Sembung teringat pesan gurunya, Ki Sapu Angin yang menyebut jika ilmu rawa rontek bisa rontok saat pemiliknya tewas dan tidak menyentuh tanah. Di film itu, Jaka Sembung kemudian menebaskan parang ke tubuh Ki Hitam hingga terpisah, dan menusuknya agar tidak terjatuh ke tanah.
-
Siapa yang yakin bahwa PKB punya kekuatan di Jateng? “Bukan satu Provinsi didominasi oleh satu partai. PKB ini punya kekuatan yang tidak kalah besar di Jateng. jadi kami makin optimis dalam beberapa perjalanan hari ini bahwa perubahan itu kuat sekali,”
-
Kapan Sepur Kluthuk Jaladara diresmikan? Kereta api uap ini diersmikan pada tahun 2009 oleh Menteri Perhubungan saat itu, Jusman Syafi'i Djamal.
Nama Ji Lak Keng atau yang disebut juga Jilakeng merupakan berasal dari bahasa Hokkian yang artinya 26 bangunan.
Nama ini diberikan karena pada abad ke-18 terdapat 26 bangunan yang dijadikan sebagai tempat hiburan, prostitusi, dan madat (candu).
Letak Ji Lak Keng berada di Tambora, Jakarta Barat (kini Jalan Perniagaan Barat, Tambora, Jakarta Barat).
Terbentuknya tempat hiburan ini dikarenakan pada masa itu praktik pergundikan dan perbudakan mulai ditentang.
Sebelumnya, pejabat Belanda dan Tionghoa bebas melampiaskan hasrat seksual mereka dengan beberapa gundik. Namun, setelah perbudakan dan pergundikan mulai dilarang, istri menjadi satu-satunya pelampiasan yang sah.
- Tiga Tersangka Prostitusi Online Ditangkap di Indekos Kota Manado Bersama Dua Perempuan
- Polisi Gerebek Prostitusi Lelaki Sesama Jenis Berkedok Tempat Spa di Bali Favorit Bule-Bule
- Kondom Berserakan di RTH Wijaya Kusuma Jakarta Barat, Diduga Jadi Praktik Prostitusi Terselubung
- Pelanggan Jasa Hiburan Hanya Dinikmati Orang Kaya, Hotman Paris: Itu Pendapat Paling Bodoh
Mencari Cuan Ala Tionghoa
Pada masa itu, kebanyakan orang yang tiba di Indonesia, baik dari Belanda maupun Tionghoa adalah laki-laki. Karena tujuan mereka lebih kepada perang atau berbisnis sehingga mereka tidak bisa membawa istri atau kekasih mereka.
Orang Tionghoa melihat hal ini sebagai peluang bisnis, karena mengetahui bahwa para kumpeni membutuhkan tempat hiburan untuk melepas birahinya.
Ya, pengelola kawasan ini adalah orang Tionghoa, yang saat itu berada di kelas dua setelah orang Eropa. Meski dikelola oleh orang Tionghoa, namun tempat prostitusi dan hiburan ini juga banyak didatangi oleh orang-orang Eropa, khususnya para pejabat dan kumpeni Belanda.
Sampai akhirnya tempat ini mencapai popularitasnya, terkenal, bahkan disebut sebagai Las Vegas-nya Batavia. Banyak para pejabat dan orang kaya yang datang ke tempat ini untuk menghabiskan malam, entah dengan menghisap candu (madat), berjudi, hingga melakukan hubungan semalam.
Ji Lak Keng menjadi salah satu tujuan utama saat mereka ingin mencari kesenangan dunia. Biasanya, terdapat dua lantai bangunan-bangunan ini, lantai pertama digunakan untuk menghisap madat, sedangkan lantai kedua digunakan untuk tempat prostitusi.
Diimpor dari China
Kebanyakan wanita penghibur di tempat hiburan ini didatangkan berasal dari Tionghoa, ada pula perempuan peranakan pribumi atau kiau seng. Ketenaran Ji Lak Keng mulai menurun seiring maraknya tempat hiburan yang dibangun.
Kini, kawasan ini hanyalah kawasan pemukiman biasa. 26 rumah sudah dialihfungsikan sebagai toko obat, toko kelontong, dan lain-lain. Meskipun demikian, masih ada satu bangunan yang masih mempertahankan gaya arsitektur Tionghoa masa itu.
Bangunan tersebut berada di sudut antara Jalan Perniagaan Barat dan Jalan Perniagaan Raya.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti