Kegetiran Masyarakat Jawa Barat di Era Gerombolan DI/TII Merajalela
Kisah orang-orang Sunda ketika perang saudara berkecamuk di kampung halaman mereka.
Kisah orang-orang Sunda ketika perang saudara berkecamuk di kampung halaman mereka.
Penulis: Hendi Jo
-
Bagaimana sejarah Waduk Sempor? Waduk Sempor diresmikan pada 1 Maret 1978 yang ditandai dengan adanya prasasti bertanda tangan Presiden Soeharto. Semula, waduk ini difungsikan sebagai sumber pengairan bagi sejumlah kompleks persawahan di sekitarnya. Namun lambat laun waduk itu menjadi destinasi wisata baru bagi warga sekitar.
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Bagaimana sejarah Lembah Anai terbentuk? Konon, dulunya air terjun ini menjadi saksi bisu pergerakan rakyat Minang dalam melawan penjajahan. Pada masa kolonial, masyarakat setempat dipaksa untuk menjadi pekerja membangun jalan lintas Sumatera yang menghubungkan antara Kota Padang dan Padang Panjang via Lembah Anai.Masyarakat Minang yang bekerja dalam proyek pembangunan jalan tersebut harus menempuh jarak yang cukup jauh, bahkan bisa berhari-hari dari tempat mereka tinggal menuju lokasi pembangunan jalan.
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
Usai Perang Kemerdekaan (1945-1949), orang-orang Jawa Barat masih harus terlibat dalam perang saudara yang melibatkan pemerintah Republik Indonesia (RI) yang dipimpin Presiden Sukarno melawan kubu Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang diimami oleh S.M. Kartosoewirjo. Konflik yang panjang itu (1949-1962) itu menimbulkan korban yang cukup banyak.
"Jumlah korban tewas hingga Agustus 1962, secara resmi disebut mencapai angka 22.895 orang," ungkap Holk H. Dengel dalam Darul Islam dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang Gagal.
Saat ini masih banyak rakyat Jawa Barat yang merekam pengalaman pahit tersebut dalam benak mereka. Salah satunya adalah Tjutju Soendoesiyah (76), penduduk Cianjur. Masih segar dalam ingatannya, bagaimana hari-hari itu kepulan asap selalu terlihat di desa-desa yang berada dekat kaki Gunung Gemuruh dan Gunung Gede.
"Kata orang-orang tua, desa-desa itu dibakar gorombolan (sebutan orang Jawa Barat kepada gerilyawan DI/TII) karena dianggap tidak mau ikut mereka," kenang nenek dari enam cucu tersebut.
'Kami Kehilangan Orang Disayangi'
Suatu hari di tahun 1956, rumah Tjutju di Salagedang kedatangan paman-nya yang bernama Sersan Mayor Ombi. Selain temu kangen (setelah banyak bertugas ke luar daerah), Ombi yang merupakan prajurit Siliwangi juga bermaksud memberitahu sang kakak (ibunya Tjutju) bahwa dirinya mulai hari itu ditugaskan di Bingawatie.
Bingawatie adalah sebuah nama tempat yang terletak di Kampung Cangklek, Kabupaten Cianjur. Di sana didirikan sebuah pos militer untuk menghadang pergerakan gerilyawan DI/TII dari arah Gunung Gemuruh dan Gunung Gede ke kota Cianjur.
"Ya kalau dari rumah saya, jaraknya ada sekitar 7 km," ungkap Tjutju.
Belum seminggu bersulaturahmi ke kakaknya, Ombi dikabarkan gugur karena pos-nya di Bingawatie suatu malam diserang lalu dibakar oleh gorombolan. Tak ada yang tersisa. Bangunan pos dan para penghuninya nyaris menjadi menjadi abu.
"Jasad Mang Ombi sendiri ditemukan sudah merengkel (mengerut), besarnya menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan," kenang Tjutju.
Tak lama setelah kehilangan sang paman, Tjutju mendengar kabar sedih kembali. Kali ini dari selatan Cianjur. Diberitakan uwak-nya yang bernama Tantan tewas disembelih oleh gorombolan saat mereka menjarah kampungnya.
"Waktu zaman gorombolan, hampir tiap waktu kita selalu kehilangan orang-orang yang kita sayangi dan kita kenal sangat akrab. Saat itu pertempuran banyak terjadi, korban pun banyak berjatuhan. Situasi pokoknya sangat kacau," ujar Tjutju.
'Tangan Kiri Saya Dipotong'
Lain dengan Tjutju yang tidak mengalami secara langsung kesadisan para gerilyawan DI/TII, Kasa bin Sukadma (78) malah mengalami sendiri situasi pahit tersebut.
"Saya harus kehilangan tangan kiri saya yang diteukteuk (dipotong) oleh salah seorang gorombolan yang menyerang kampung saya," kenang warga Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya itu.
Ceritanya, pada 17 Agustus 1961 tepat jam 12 malam, ratusan gerilyawan DI/TII menyerang desanya. Penyerangan itu sejatinya menyasar suatu pos tentara di desa tersebut namun tak ayal mengorbankan juga banyak warga desa. Kasa saat itu bersembunyi di tengah sawah yang siap panen. Namun dasar sial, dia ditemukan oleh 6 gerilyawan DI/TII yang memeriksa setiap kotak sawah secara teliti.
"Mereka langsung membacok saya dengan golok panjangnya dan kena ke tangan kiri saya hingga putus. Nyawa saya selamat karena begitu tangan saya putus langsung pingsan dan dianggap sudah mati," ujar lelaki yang saat ini berprofesi sebagai petani itu.
Akibat penyerangan itu, 51 warga Parentas tewas seketika. Puluhan orang lainnya luka-luka. Pihak tentara kehilangan tiga prajuritnya. Sementara di pihak gerilyawan DI/TII hanya ditemukan satu orang tewas dengan lubang peluru di kepala.
Kasta sendiri mengalami pendarahan yang sangat banyak dan nyaris nyawanya melayang. Namun untunglah, tim kesehatan tentara dengan cepat membawanya ke Rumah Sakit Garut.
"Alhamdulillah saya masih hidup sampai sekarang, walau salah satu tangan saya buntung, ya tidak apa-apa. Sudah takdir," kata Kasta.