Geliat Para Pengrajin Sangkar Burung di Bantul, Berjuang Demi Mempertahankan Eksistensi
Konon kerajinan sangkar burung di sana sudah ada sejak zaman Penjajahan Jepang. Namun kini eksistensinya makin redup.
Konon kerajinan sangkar burung di sana sudah ada sejak zaman Penjajahan Jepang. Namun kini eksistensinya makin redup.
Geliat Para Pengrajin Sangkar Burung di Bantul, Berjuang Demi Mempertahankan Eksistensi
Kalurahan Argosari, Sedayu, sudah dari lama dikenal sebagai sentra pengrajin sangkar burung. Konon kerajinan sangkar burung di sana sudah ada sejak zaman Penjajahan Jepang. Namun kini eksistensinya makin redup.
-
Dimana sentra kerajinan wayang kulit di Bantul? Di Kabupaten Bantul, terdapat sentra kerajinan wayang kulit, tepatnya di Desa Wukirsari, Kapanewon Imogiri.
-
Dimana sentra kerajinan keris di Bantul? Dusun Banyusumurup merupakan sebuah kampung kecil yang berada di selatan Kompleks Raja-Raja Imogiri, Bantul.
-
Bagaimana cara melestarikan kerajinan payung Juwiring? 'Dengan didaftarkan itu kan bisa jadi landasan agar jangan sampai kerajinan ini punah. Karena ini menjadi warisan yang harus dilestarikan,' kata Ngadiyakur dikutip dari kanal YouTube BRIN Indonesia.
-
Apa ritual adat Seblang Bakungan? Seblang Bakungan dikenal sebagai ritual tarian yang dibawakan oleh wanita berumur dalam kondisi trans atau kehilangan kesadaran.
-
Bagaimana Festival Wayang Kulit Banyuwangi dilestarikan? 'Wayang kulit itu sendiri sangat lengkap dan luas. Wayang kulit sarat kreativitas, ada seni rupa, ada seni peran dalam teaternya, ada seni suara, juga ada seni musik. Festival Wayang Kulit akan terus lanjutkan dan kita dukung pengembangannya,' kata Bupati Ipuk.
-
Apa itu Tradisi Ngabungbang? Ngabungbang adalah ritual nyari sapeupeuting yang secara makna dalam bahasa Indonesia yaitu bergabung semalaman.
Banyak pengrajin di desa itu yang perlahan-lahan beralih ke bidang pekerjaan lain karena persaingan yang makin ketat. Kini banyak daerah-daerah lain yang memproduksi barang serupa dengan menawarkan harga yang lebih murah.
“Salah satu kelemahan produk sangkar burung ini adalah mudah ditiru,” kata Pitutur (38), Dukuh Jaten, Kalurahan Argosari, yang juga menjadi salah seorang perajin sangkar burung.
Pitutur sudah menjadi pengrajin sangkar burung sejak kecil. Saat masih duduk di bangku SD ia sudah membantu ayahnya membuat pernak-pernik serta anyaman bambu yang akan dipasang di bagian bawah sangkar.
Pada saat itu pembuatan sangkar burung hanya menggunakan dua bahan, yaitu rotan dan bambu. Bahan penyambungnya masih menggunakan bambu.
Seiring waktu, para pengrajin terus berinovasi. Bahan utamanya juga dipadukan dengan agel dan kayu. Lem juga bisa digunakan untuk penyambung.
Pitutur bercerita, industri kerajinan sangkar burung di Dusun Jaten sempat mengalami “booming” antara tahun 2010-2020. Saat itu hampir anak muda di sana menekuni pembuatan sangkar burung.
Bahkan banyak di antara mereka yang rela keluar dari pekerjaan lama dan beralih profesi sebagai pengrajin sangkar burung.
Saat itu, hampir 70 kepala keluarga (KK) di Dusun Jaten memproduksi sangkar. Pitutur memperkirakan, jika satu rumah ada dua pengrajin, kira-kira ada total 140 pengrajin sangkar burung dalam satu dusun.
Bahkan banyak di antara mereka yang rela keluar dari pekerjaan lama dan beralih profesi sebagai pengrajin sangkar burung.
Saat itu, hampir 70 kepala keluarga (KK) di Dusun Jaten memproduksi sangkar. Pitutur memperkirakan, jika satu rumah ada dua pengrajin, kira-kira ada total 140 pengrajin sangkar burung dalam satu dusun.
Memasuki tahun 2021, produksi sangkar burung di Dusun Jaten mengalami tren penurunan.
Dampaknya banyak para pengrajin, khususnya anak muda, yang beralih menekuni pekerjaan lain karena produk sangkar burung makin sepi peminat. Apalagi banyak bermunculan para pengrajin sangkar burung dari daerah lain.
Tak hanya bisa menghasilkan produk sangkar burung dengan kualitas setara dengan sangkar burung di Kalurahan Argosari, Sedayu, mereka juga bisa menawarkan harga produk yang lebih murah.
“Sekarang para pengrajin terus berkurang karena muncul banyak saingan. Jadi banyak warga yang beralih ke perjaan lama, ke pabrik atau ke mana gitu,” ujarnya, saat ditemui Merdeka.com pada Sabtu (16/3).
Tangan-Tangan Terampil Para Pengrajin Sangkar Burung
Dengan didampingi Pitutur, Merdeka.com berkesempatan melihat langsung proses pembuatan sangkar burung pada beberapa rumah warga di Dusun Jaten. Pitutur mengatakan, ada dua model sangkar burung yang saat ini masih diproduksi warga, yaitu model modern dan tradisional.
Di rumahnya, Pitutur lebih banyak memproduksi sangkar burung model modern. Berbagai bahan mulai dari rotan, bambu, agel, hingga kayu disambung-sambungkan untuk menghasilkan produk sangkar burung yang enak dilihat.
“Jadi agel ini bisa dianyam, dibikinkan kubah, lebih menarik dan lebih mudah. Ada juga yang variasi menggunakan mahkota, pakai ukiran-ukiran seperti itu. bahan-bahan ini tak semuanya dari sini. Kalau bambu bisa diperoleh di sekitar sini, tapi kalau rotan kita beli, kebanyakan asli Kalimantan. Kalau agel kebanyakan produksi Madura,”
Ungkap Pitutur terkait penggunaan bahan dalam produksi sangkar burung di rumahnya.
Biasanya, Pitutur bisa memproduksi 12 sangkar burung dalam waktu satu minggu. Harga sangkar burung buatannya bervariasi. Yang paling banyak diproduksi adalah sangkar dengan kisaran harga Rp100 ribu hingga 150 ribu.
Selain sangkar burung milik Pitutur, Merdeka.com juga mengunjungi rumah produksi sangkar burung milik Purnomo (34). Keterampilan membuat sangkar burung juga diwariskan dari orang tuanya. Ia sudah menjadi pengrajin sangkar burung sejak tahun 2010.
Sama seperti Pitutur, Purnomo lebih banyak memproduksi sangkar burung model modern. Dalam seminggu, ia bisa memproduksi 10 sangkar burung.
Selama menjadi pengrajin, ia sebenarnya sempat menekuni pekerjaan lain. Namun pada akhirnya ia kembali lagi menjadi pengrajin sangkar karena omzetnya lumayan.
“Bila dibandingkan UMR Jogja yang sekitar Rp2,1 juta, kalau dihitung-hitung penghasilan dari memproduksi sangkar burung bisa lebih dari itu. Tapi kalau kerjanya rajin, lho,” ungkap Purnomo.
Sementara Anto (35), pengrajin lainnya di Dusun Jaten, lebih memilih memproduksi sangkar burung model tradisional. Saat ditemui di rumahnya, ia tampak sedang memproduksi sangkar burung bersama kedua orang tuanya.
“Ini usaha keluarga. Kalau pengrajin sini biasanya usaha bareng istri dan anak. Tapi kalau dia sama orang tua, karena belum punya istri. Insya Allah tahun depan, hahaha,”
ujar Pitutur sembari setengah bercanda menggambarkan sosok Anto dan kerajinan sangkar burung tradisionalnya.
Model sangkar burung tradisional tampak lebih sederhana. Bahannya hanya tersusun dari bambu dan rotan dengan alat penyambung paku.
“Insting mas. Kalau salah lubang sedikit bisa putus,” kata Anto yang harus teliti dalam memasukkan rotan ke bagian bambu yang sudah dilubangi.
Tak hanya sebagai pengrajin, Anto juga mengambil peran sebagai pengepul. Hasil kerajinan sangkar burung yang sudah jadi ia jual ke beberapa sentra kerajinan di Yogyakarta dan sekitarnya.
Ia mengatakan, pemesanan sangkar burung produksinya sangat dipengaruhi oleh musim. Bila musim kemarau, banyak orang memesan sangkar burungnya. Sebaliknya, saat musim hujan, produknya kurang diminati.
Gunakan KUR BRI untuk Modal Produksi
Pitutur mengatakan, sembilan puluh persen pengrajin sangkar burung di Dusun Jaten menggunakan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk modal usaha.
Tak heran, pihak BRI Kantor Unit Sedayu menaruh perhatian pada pengembangan sektor usaha tersebut.
Yuda Bagaskara, Kepala Unit BRI Sedayu mengatakan bahwa data yang ia pegang terkait pengrajin sangkar burung di wilayahnya sudah berkurang. Padahal ia hendak menjadikan sektor kerajinan sangkar burung sebagai andalan di wilayah kerja BRI Unit Sedayu.
“Terakhir kali saya cek itu malah sudah beralih ke kelontong, atau produksi yang lain seperti usaha sablon yang sebagainya,” kata Yuda.
Terkait pembinaan terhadap para pengrajin sangkar burung, Yuda menjelaskan untuk saat ini pihaknya masih melakukan penggalian informasi ulang terkait jumlah persis para pengrajin sangkar burung di sana.
“Apalagi berdasarkan yang kami amati, mereka itu tidak membentuk kelompok. Masih memproduksi secara individu,” lanjutnya.
Oleh karena itu, ia berencana menjadikan para pengrajin sangkar itu sebagai satu kluster sendiri agar BRI lebih mudah menjalin komunikasi dengan mereka.
Pitutur mengatakan, agar para pengrajin sangkar burung di wilayahnya bergeliat lagi, ia berharap agar lebih banyak diadakan kontes kicauan burung.
Terkait pemberdayaan, ia berharap para pengrajin diberikan pelatihan “finishing” sangkar agar produk mereka punya nilai jual lebih.