Kisah Para Perajin Payung Lukis Juwiring Klaten, Tak Henti Berkreasi di Tengah Krisis Regenerasi
Para perajin payung lukis di Juwiring sudah banyak yang meninggal. Tak banyak generasi muda yang berminat meneruskannya.

Para perajin payung lukis di Juwiring sudah banyak yang meninggal. Tak banyak generasi muda yang berminat meneruskannya.

Kisah Para Perajin Payung Lukis Juwiring Klaten, Tak Henti Berkreasi di Tengah Krisis Regenerasi
Di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, tepatnya di Kecamatan Juwiring, terdapat sentra pembuatan payung lukis. Berbagai bentuk lukisan maupun perpaduan corak dan warna tergores indah di atas payung.

Namun di desa itu, para perajin payung lukis menghadapi satu tantangan klasik, regenerasi. Tak banyak generasi berikutnya yang berminat untuk melanjutkan para orang tua mereka melukis di atas payung.
“Waktu corona kemarin saya kehilangan satu orang pegawai tukang pasang kain. Dia meninggal karena sudah tua. Terus ada tukang merapikan juga meninggal dunia karena COVID-19. Sebagian yang tua-tua juga sudah meninggal,” keluh Ngadiyakur, salah seorang perajin payung hias di Juwiring.
“Yang terakhir ibu-ibu, tukang nyulam pasang benang juga meninggal. Padahal tukang nyulam itu langka. Jadi ya sudah sulit mencari generasi lagi. Jadi ya kalau tidak ada generasi ya gimana?”
kata Ngadiyakur menanggapi kegetiran itu sambil tertawa.
Ngadiyakur mengatakan kerajinan payung di Juwiring pada awalnya diperkenalkan oleh seorang abdi dalem Keraton bernama Ndorotomo. Dia mengajari masyarakat cara membuat payung.

Usaha kerajinan payung itu diteruskan oleh salah satu tokoh di desa itu. Ia mencoba berkreasi dengan membuat payung hias.
“Berjalan terus, kemudian mulai ada geliat, sampai akhirnya payung Juwiring jadi wisata,” kata Ngadiyakur dikutip dari kanal YouTube BRIN Indonesia.

Tapi di saat pemasaran sudah membaik, muncul masalah berikutnya yaitu sedikitnya minat generasi muda untuk menekuni kerajinan payung hias ini.

Salah satu sesepuh dalam dunia payung hias di Juwiring adalah Mbah Yusuf. Usianya sudah menginjak 72 tahun. Namun di usianya yang sudah tua, dia masih mampu mengecat sebanyak 20 payung ukuran diameter 1 meter dalam waktu sehari.
Ngadiyakur mengatakan bahwa motif khas pada payung hias Juwiring sudah ada sejak dulu. Bentuknya memang akan mengalami pergeseran seiring bergantinya generasi pelukis.
“Ada motif khas bunga, kalau ditanya itu bunga apa mungkin nggak ada yang tahu. Kemudian untuk keindahan sulamannya itu tidak ditemukan pada payung-payung yang lain,” kata Ngadiyakur.
Walaupun berada pada krisis regenerasi, Ngadiyakur tetap berharap kerajinan payung hias Juwiring mampu bertahan melalui masa-masa sulit. Apalagi keberadaan kerajinan itu sudah didaftarkan sebagai warisan budaya tak benda.
“Dengan didaftarkan itu kan bisa jadi landasan agar jangan sampai kerajinan ini punah. Karena ini menjadi warisan yang harus dilestarikan,” kata Ngadiyakur dikutip dari kanal YouTube BRIN Indonesia.