Menu Perjuangan Propaganda Jepang Bikin Rakyat Kelaparan dan Kurang Gizi
Pada masa pendudukan Jepang, masyarakat dipaksa memakan roti dan bubur sebagai pengganti nasi.
Pada masa pendudukan Jepang, masyarakat dipaksa memakan roti dan bubur sebagai pengganti nasi. Menu tersebut dinamai ‘menu perjuangan’ sebagai propaganda Jepang.
Saat masa pendudukan Jepang, para petani diwajibkan menyerahkan sebagian besar hasil panen mereka. Situasi perang dan berhentinya perdagangan internasional melalui ekspor dan impor mendorong pemerintah pendudukan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengendalikan produksi.
- Menu Makan Siang Pisah Sambut Jokowi dan Prabowo: Lontong Kikil, Snack dan Jajanan Pasar
- Mengintip Menu Sarapan Jokowi di IKN, Ada Ayam Habang hingga Daging Kalio
- Menu Nasi Goreng Parahyangan Kereta Api Setia Temani Penumpang Sejak 1971, Yuk Intip Sejarahnya
- Kisah Bu Dar Mortir, Jadi Pahlawan Nasional Berkat Sediakan Makanan untuk Prajurit
Mereka juga memperketat pengawasan terhadap distribusi dan pemasaran komoditas, serta memaksa masyarakat pedesaan untuk beradaptasi dengan kondisi baru ini melalui penyerahan paksa dan penjatahan bahan makanan.
Padahal, sebagian besar petani adalah petani kecil, yang menggarap lahan sendiri atau menyewa tanah kurang dari setengah hektar. Selain itu, biasanya mereka hanya menanam padi secukupnya untuk kebutuhan sendiri dan menjual sedikit sisanya ke pasar.
Namun karena kebijakan yang diterapkan oleh Jepang ini, akibatnya terjadi kekurangan beras dan kelaparan. Agar mendapatkan jatah beras lebih banyak, pemerintah Jepang menganjurkan masyarakat untuk mengonsumsi jagung, singkong, atau kedelai.
Bonggol Pisang Jadi Menu
Bahkan tanaman yang sebelumnya tidak dimakan atau hanya digunakan sebagai lalapan, seperti bonggol pisang, pepaya, dan daun singkong, mulai dijadikan makanan.
Sebagai pengganti sumber protein, bekicot menjadi salah satu pilihan. Penduduk juga terpaksa mengonsumsi badur (sejenis keladi) yang harus dipotong dan direndam dalam air asin terlebih dahulu untuk menghilangkan getah beracunnya.
Tak hanya itu, Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, 1942-1945 menjelaskan bahwa pemerintah Jepang juga melakukan propaganda dengan memperkenalkan menu-menu baru sebagai makanan pelengkap yang disebut ‘menu perjuangan’.
Menu perjuangan tersebut ialah Bubur Perjuangan atau Bubur Asia Raya dan Roti Asia. Bubur Perjuangan atau Bubur Asia Raya adalah bubur yang terbuat dari campuran ubi, singkong, dan katul. Pemerintah Jepang, melalui organisasi perempuan yang mereka bentuk, Fujinkai, secara aktif mengajarkan dan memperkenalkan hidangan serta bahan pangan baru ini kepada masyarakat.
Sedangkan, Roti Asia adalah roti yang dibuat dari tepung ketela (aci atau tapioka), tepung kedelai, atau tepung beras. Saat mensosialisasikannya dijelaskan bahwa bubur ini mengandung berbagai zat penting yang dibutuhkan oleh tubuh.
Ketahuan Makan Nasi Dilaporkan
Selain melakukan sosialisasi, Jepang juga memerintahkan ketua tonarigumi (rukun tetangga) untuk mengawasi agar warga mengonsumsi Bubur Perjuangan alih-alih nasi putih.
Penggeledahan dapur sering dilakukan secara mendadak. Aiko Kurasawa mengatakan jika ada yang ketahuan makan nasi putih, mereka akan diperingatkan, dan kadang-kadang dilaporkan ke kenpeitai.
Propaganda menu perjuangan yang dibuat oleh Jepang berakhir mengkhawatirkan karena menyebabkan rakyat kekurangan gizi, terutama di pedesaan.
Akibatnya, busung lapar menyebar luas. Makanan pengganti seperti Bubur Perjuangan dan Roti Asia tentu tidak memuaskan, bahkan dianggap merendahkan oleh orang Jawa.
Masyarakat sudah terbiasa memakan nasi, sehingga jika belum makan nasi, berarti belum makan.Banyak rakyat yang merasa lemas dan kelaparan sehingga kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari.
Akibat dari busung lapar ini menyebabkan meningkatnya angka kematian pada 1944 di banyak wilayah, dan menurunkan angka kelahiran. Serta berhasil menurunkan populasi orang Jawa.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti