Sejarah Panjang Pemberontakan Trunojoyo Terhadap Mataram
Pada masa kesultanan Islam, di Ka?iri (Kediri) pernah menjadi pusat pemerintahan dari Panembahan Maduretno (Trunojoyo) dari tahun 1677–1678. Istana Trunojoyo di Kota Ka?iri dikelilingi benteng dengan luas 8,5 km, tembok setinggi 6 meter dengan tebal 2 meter.
Pada masa kesultanan Islam, di Kaḍiri (Kediri) pernah menjadi pusat pemerintahan dari Panembahan Maduretno (Trunojoyo) dari tahun 1677–1678. Istana Trunojoyo di Kota Kaḍiri dikelilingi benteng dengan luas 8,5 km, tembok setinggi 6 meter dengan tebal 2 meter.
"Sejarah peradaban di Kota Kediri ini harus digali lebih mendalam lagi. Sebab seiring pembangunan ke depan jangan sampai anak cucu tidak tahu dan malah melupakan," kata Abdullah Abu Bakar, Wali Kota Kediri kepada merdeka.com, Sabtu (8/1).
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
-
Kenapa Kekeyi sering dicibir? Sayangnya, terkadang momen heboh Kekeyi malah mendapat cibiran.dari sejumlah. Malahan ada beberapa komentar bernada body shaming padanya.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Apa yang menjadi ciri khas Gereja Merah Kediri? Gaya arsitektur gereja ini adalah Neo Gotik dengan denah persegi berukuran 30,75 x 10,6 meter Bangunan yang menghadap ke timur ini terkesan ramping, sementara tingginya memberikan kesan memukau. Gereja Merah terdiri dari lima ruangan yang melayani berbagai fungsi. Mulai ruang informasi, ruang utama, balkon, ruang konsistori, dan menara, serta sebuah ruang bawah tanah yang saat ini sudah ditutup.(Foto: Kemdikbud RI)
-
Di mana Beji Sirah Keteng berada? Saat ini, Beji Sirah Keteng dikelola oleh empat RT di Desa Bedingin, Kecamatan Sampit, Kabupaten Ponorogo.
-
Apa judul skripsi Lesti Kejora? Judul skripsi Lesti adalah "Implementasi Digital Public Relations pada Label Musik Leslar Records untuk Mempublikasikan Lagu"
Trunojoyo adalah seorang bangsawan Madura yang pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Latar belakang pemberontakan karena Amangkurat I, memerintah dengan keras dan menjalin persekutuan dengan VOC sepeninggal Sultan Agung.
Hal ini menimbulkan gelombang ketidakpuasan pada kerabat istana dan para ulama, yang ditindak dengan tegas oleh Amangkurat I. Pertentangan yang sedemikian hebat antara Amangkurat I dan para ulama bahkan akhirnya berujung pada penangkapan, sehingga banyak ulama dan santri dari wilayah kekuasaan Mataram dihukum mati yang jumlahnya ribuan.
Ketidakpuasan kepemimpinan Amangkurat I juga dirasakan putra mahkota yang bergelar Pangeran Adipati Anom. Namun Adipati Anom tidak berani memberontak secara terang-terangan.
Diam-diam ia meminta bantuan Raden Kajoran alias Panembahan Rama, yang merupakan ulama dan termasuk kerabat istana Mataram. Raden Kajoran kemudian memperkenalkan menantunya, yaitu Trunojoyo putra Raden Demang Melayakusuma sebagai alat pemberontakan Adipati Anom.
Mendapat tugas, Trunojoyo segera melakukan aksinya, yang pertama dia lakukan dengan penculikan kepada Cakraningrat II yang diasingkan ke Lodoyo Blitar. Tahun 1674, Trunojoyo merebut kekuasaan Madura dan memproklamirkan sebagai raja merdeka di Madura Barat.
Laskar Madura pimpinan Trunojoyo, juga menjalin kerja sama dengan Karaeng Galesong, pemimpin kelompok pelarian asal Makassar pendukung Sultan Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC.
Kelompok tersebut berpusat di Demung, Panarukan. Mereka setuju untuk mendukung Trunojoyo memerangi Amangkurat I dan Mataram yang bekerja sama dengan VOC.
Untuk memudahkan dalam perangnya bahkan Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan putra Karaeng Galesong. Selain itu, Trunojoyo juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri dari Surabaya yang juga tidak menyukai Amangkurat I karena tindakannya terhadap para ulama penentangnya.
Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura, Makassar, dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom (Amangkurat II).
Perselisihan Trunojoyo dengan Adipati Anom diperkirakan karena Trunojoyo tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom. Pasukan Trunojoyo bahkan berhasil mengalahkan pasukan Mataram di bawah pimpinan Adipati Anom yang berbalik mendukung ayahnya pada bulan Oktober 1676.
Keberhasilan Trunojoyo mengalahkan Mataram menyebabkan Amangkurat I melarikan diri dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan tetapi kesehatannya mengalami penurunan. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya Amangkurat I meninggal di Tegal dan dimakamkan di suatu tempat yang bernama Tegal Arum.
Pasca kematian Amangkurat I, Adipati Anom dinobatkan menjadi Amangkurat II, dan Mataram secara resmi menandatangani persekutuan dengan VOC untuk melawan Trunojoyo.
Persekutuan antara Amangkurat dengan VOC ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara (September 1677), yang isinya Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC membantu memenangkan terhadap pemberontakan Trunojoyo.
Di lain pihak, Trunojoyo yang mendapatkan perlawanan bersama pasukannya membuat markas di Kediri di seputaran Setono Gedong Kediri. Setono Gedong merupakan bekas istana lama Kerajaan Kediri yang sekarang menjadi kompleks pemakaman dan juga masjid.
Ke Kediri, Trunojoyo membawa hasil jarahan keraton Mataram tahun 1677. Dalam keputusasaan Amangkurat II, setelah dilakukan perjanjian dengan VOC , akhirnya melakukan penyerangan ke Kediri.
Perjalanan menuju Kediri di Paruh Abad ke-16 pasukan VOC dan Mataram (atau pasukan loyalis) berangkat dari pesisir dalam tiga barisan. Satu barisan yang dipimpin oleh Kapten François Tack berangkat dari Jepara menuju Semarang pada 21 Agustus, dan dari Semarang ia mulai melakukan perjalanan darat. [Ricklefs 1993, hlm. 50.]
Barisan lainnya yang dipimpin oleh Kapten Abraham Daniel van Renesse dan Frederik Hendrik Mulder berangkat dari Rembang pada tanggal 26 Agustus 1677.
Sementara itu, barisan utama dimobilisasi di Jepara, dipimpin oleh Hurdt dan Amangkurat. Pasukan ini mengirim garda depan ke arah selatan pada tanggal 27 Agustus dan 2 September, sementara Hurdt dan Amangkurat berangkat pada tanggal 5 September.[ Ricklefs 1993, hlm. 50.].
Barisan Tack diperkuat oleh garnisun Semarang dan berpawai ke arah selatan menuju distrik Pajang, di mana ia melawan para pengikut sekutu Trunojoyo, Raden Kajoran.[ Ricklefs 1993, hlm. 49.].
Barisan Hurdt dan Amangkurat bergabung di Godong di tepi Sungai Serang dan tinggal di sana selama enam hari.
Artileri dan perbekalan mereka dibawa ke sana melalui sungai, tetapi kini harus bergabung via darat melewati wilayah musuh. Kemudian barisan Hurdt–Amangkurat bergabung dengan barisan Tack di lembah Bengawan Solo (yang ketika itu disebut Sungai Semanggi).[ Ricklefs 1993, hlm. 49.].
Sementara itu, barisan van Renesse dan Mulder melewati Pati, bergabung dengan pasukan VOC di sana, dan berangkat melalui rute yang berbeda menuju Kediri.[ Ricklefs 1993, hlm. 51.].
Sepanjang perjalanan, pasukan loyalis menghadapi masalah seperti desersi, kurangnya disiplin, sakit, kekurangan pangan, dan kesulitan navigasi.[ Ricklefs 1993, hlm. 50]- [ Pigeaud 1976, hlm. 79].
Perjalanan tersebut mencakup beberapa penyeberangan sungai, yang menjadi sulit karena kurangnya jembatan, meluapnya sungai akibat hujan, serta gerobak dan meriam yang macet.
Perjalanan ini sangat sulit khususnya bagi pasukan VOC, yang tidak terbiasa dengan medan pedalaman Jawa. Hurdt ingin bertahan di lembah Bengawan Solo dan melanjutkan kampanye pada tahun depan. Namun Amangkurat lebih memilih untuk terus berjalan, dan pendapatnya menang.
Ketika pasukan loyalis berpawai ke arah timur, pasukan pemberontak menghindari pertempuran besar namun terlibat dalam bentrokan dan terus membahayakan pasukan para loyalis yang mencari makanan di pedesaan dan yang ketinggalan barisan.[ Ricklefs 1993, hlm. 50] Pasukan loyalis menjelajahi pedesaan untuk mengumpulkan makanan, menimbulkan kepanikan di antara penduduknya.[ Pigeaud 1976, hlm. 79.].
Selama perjalanan berpawai, Amangkurat I mencoba untuk mendapatkan kesetiaan para ningrat di wilayah yang dilewati.[ Pigeaud 1976, hlm. 79.]. Banyak yang sebelumnya setia pada Kajoran, yang berpihak pada Trunojoyo, atau ragu-ragu di antara kedua belah pihak.[19].
Kehadiran raja dan pasukannya serta kemungkinan meraih rampasan perang, memotivasi mereka untuk mengkikuti Amangkurat II dan bergabung dengan pasukannya. Hal ini memperbesar pasukan Amangkurat hingga suatu saat mencapai 13.000.[ Ricklefs 1993, hlm. 50]
Menyeberangi Brantas
Tentara Hurdt-Amangkurat tiba di Singkal, di tepi barat Sungai Brantas utara Kediri, pada tanggal 13 Oktober 1678.
Mereka mengalami kesulitan menemukan cara untuk menyeberangi sungai Brantas. Sungai ini banjir karena musim hujan, dan tentara tidak memiliki perahu yang diperlukan untuk menyeberanginya.
Hujan, desersi dan kekurangan perbekalan terus mengganggu mereka. Uang, makanan dan wanita yang tersedia di kubu Trunojoyo menggoda banyak orang Indonesia dan Eropa bersama-sama untuk membelot*.[ Kemper 2014, hlm. 111.].
Desersi di kalangan tentara Jawa juga dipercepat karena banyak yang pulang karena musim panen. Jumlah pasukan Amangkurat anjlok menjadi sekitar 1.000, sementara VOC tersisa 1.750 tentara, 659 di antara mereka orang Eropa.[ Kemper 2014, hlm. 100.], [Ricklefs 1993, hlm. 51].
Sementara itu, pasukan Trunojoyo mengintimidasi tentara loyalis. Mereka telah membentengi pos di sepanjang sungai, terutama di tepi timur.
Pos-pos itu dilengkapi dengan meriam dengan berbagai ukuran hingga dua belas pon. Artileri Trunojoyo terus menggempur para loyalis, bahkan peluru meriam mereka mencapai pemondokan Hurdt dan Amangkurat sendiri, serta rumah sakit darurat tentara.
Tentara loyalis juga memiliki meriam, tetapi mereka tidak menembak balik; amunisi mereka yang terbatas berarti mereka harus menghematnya hanya untuk serangan terakhir terhadap Kediri.
Selain itu, pasukan berkuda Trunojoyo juga terlibat dalam bentrokan dengan para loyalis, menyebabkan korban jiwa dan menjatuhkan moral mereka.
Pada tanggal 21 Oktober, serangan malam yang dipimpin oleh Raden Suradipa membakar tempat tinggal pasukan Melayu VOC. Namun, serangan tersebut dipukul mundur dan Suradipa—saudara laki-laki Trunojoyo—terluka parah.
Pada malam tanggal 2-3 November, para penskirmis Trunojoyo mengintimidasi para penjaga VOC dengan musik gamelan dan suara mengejek.[ Ricklefs 1993, hlm. 51].
Pada tanggal 3 November, Hurdt dan Amangkurat bergabung dengan sebuah lajur yang dipimpin oleh Willem Bastinck dari Surabaya, disertai oleh 800 gerobak sapi berisi perbekalan.
Konvoi ini dikirim dengan bantuan dari Adipati Tumapel, sekutu Jawa VOC, dan Karaeng Galesong, mantan sekutu Trunojoyo yang kesetiaannya meragukan.
Pada tanggal 6 November, pasukan pemberontak menyerang gerobak-gerobak ini, membakar sekitar sepuluh gerobak dan membunuh beberapa orang.
VOC kemudian memindahkan perbekalan ini ke dalam benteng palisade yang dibangun setelah serangan Suradipa.
Dengan datangnya perbekalan segar, Hurdt dan Amangkurat bersemangat menemukan cara untuk menyeberangi sungai.
Pasukan yang dipimpin oleh komandan Belanda Isaac de Saint Martin mengusir pasukan Trunojoyo dari Manukan Banyakan Kediri , di tepi barat arah selatan dari Singkal Prambon Nganjuk.[ Ricklefs 1993, hlm. 52].
Mereka kemudian mencoba menyeberangi sungai di sana, tetapi ternyata tidak berhasil karena gempuran berat dari musuh dan dalamnya sungai.Mereka mencoba lagi pada malam 6-7 November, tetapi perahu mereka tenggelam dan gagal juga.
Hurdt merasa frustrasi karena tidak adanya kemajuan, dan mengultimatum Amangkurat bahwa VOC akan menarik diri kecuali jika raja menyediakan ponton untuk penyeberangan dan korek api untuk senapan matchlock (senapan kunci-korek) tentaranya.[ Ricklefs 1993, hlm. 52].
Sungai itu surut pada malam tanggal 16-17 November.[ Ricklefs 1993, hlm. 53] .Babad Keraton Jawa menghubungkan hal ini dengan kekuatan supranatural Amangkurat*, dan mengatakan bahwa hal ini terjadi saat Amangkurat naik kuda menyeberangi sungai memimpin pasukannya.
Bagaimanapun, sungai Brantas surut, sehingga tentara dapat menyeberang di Curing, tepat di sebelah selatan Singkal. Mereka yang berkuda tidak membutuhkan perahu, sementara tentara infanteri menyeberang dengan perahu.
Ketika diseberangi, sungai itu lebarnya sekitar 115 meter. Pasukan Trunojoyo sempat membombardir mereka dengan artileri saat mereka menyeberang, tetapi pasukan ini berhasil diusir dan terpaksa meninggalkan sebelas pucuk meriam.
Penaklukan Kediri
Karena pangkalan depan berhasil didirikan di Curing, tentara loyalis berpawai ke selatan menuju Kediri.
Pada saat ini pasukan VOC berjumlah 1.200 dan tentara Amangkurat sekitar 1.000 orang. Mereka dipecah menjadi dua barisan masing-masing di bawah komando Hurdt dan de Saint Martin.
Amangkurat sendiri kembali ke Singkal yang relatif aman. Pasukan Trunojoyo tidak berhasil menghentikan majunya barisan musuh.
Pada tanggal 25 November pasukan VOC dan Mataram menyerang Kediri sendiri. Kota ini kelilingnya sekitar 8,5 kilometer (5,3 mi), dipertahankan oleh 43 baterai artileri dan tembok setinggi 6 meter dan tebal 2 meter.
Barisan Hurdt memasuki kota dari timur, sementara de Saint Martin masuk dari barat laut. *De Saint Martin tiba pertama di alun-alun* (kota kediri saat ini,red), *dekat kediaman Trunojoyo* yang patut diduga di Setono Gedong / Astana Gedong Kediri.
Pasukan Trunojoyo memberikan perlawanan sengit. Empat kompi VOC, di bawah komando Kapten Tack terlibat dalam pertempuran "halaman demi halaman" untuk *menaklukkan kompleks kediaman Trunojoyo di pusat kota*.
Pasukan VOC memanfaatkan granat tangan yang terbukti sangat berguna dalam pertempuran kota.
Pasukan loyalis menang. Trunojoyo melarikan diri ke selatan menuju pedesaan, dan pihaknya menderita kerugian besar.
Sedangkan kerugian dari pihak Mataram, dua bangsawan senior tewas dalam pertempuran tersebut; yang pertama adalah Tumenggung Mangkuyuda (Makam di Pasar Pahing Kediri).
beberapa sumber tidak setuju dengan yang kedua, dengan nama bervariasi antara Tumenggung Melayu, Demang Mangunjaya atau Tumenggung Mataram.[ Ricklefs 1993, p.53 and p. 277 note 52].
Tentara yang menang kemudian menjarah istana Trunojoyo yang ditinggalkan.[ Ricklefs 1993, hlm. 53].
Harta kekayaan Mataram, yang dibawa ke Kediri oleh para pemberontak setelah penjarahan mereka atas ibu kota Mataram pada tahun 1677, merupakan salah satu sasaran penjarahan.
Amangkurat dan VOC berharap untuk mendapatkan kembali harta kekayaan ini dan menggunakannya untuk membayar bantuan VOC dalam perang, tetapi malah dijarah oleh tentara seluruhnya.
VOC mendapati sepuluh orang Eropa yang membelot ke pihak Trunojoyo, dan mereka dijatuhi hukuman mati.[29] Para pemenang juga menemukan perempuan Mataram yang diculik, kuda, dan tanda kebesaran keraton keramat (pusaka).[ Ricklefs 1993, p. 54 and p. 278 note 57.]
Sebuah meriam terkenal, bernama "Nyai Setomi" dan disebut mriyem berkat ("meriam yang diberkati"). Meriam Nyai Setomi mempunyai sejarah panjang, karena merupakan salah satu senjata andalan Sultan Agung di Mataram dan wasiyat Mataram ("pusaka Mataram") ditemukan di antara tanda kebesaran keraton yang diselamatkan.[ Ricklefs 1993, p.53 and p. 277 note 54.].
Mahkota Emas
Pasukan yang menang juga menemukan mahkota emas di antara barang rampasan tersebut. Mahkota tersebut dianggap sebagai mahkota dari zaman kekaisaran Majapahit abad ke-15, di mana ada laporan penggunaan mahkota emas.[ Ricklefs 1993, hlm. 53].
Mahkota tersebut diserahkan kepada Kapten François Tack (VOC), yang bersikeras meminta 1.000 rijksdaalder sebelum memberikannya kepada raja.
Rijksdaalder adalah koin Belanda yang pertama kali dikeluarkan Republik Belanda pada akhir abad ke-16, saat Revolusi Belanda.
Tindakan ini tampaknya menyinggung perasaan raja dan insiden ini mungkin berpengaruh pada kematiannya di keraton Mataram pada tahun 1686.[ Ricklefs 1993, hlm. 53-54]
Hingga kemudian pada tanggal 27 November, Hurdt mempersembahkan mahkota kepada raja, yang kemudian memakainya.
Pada saat raja memakainya, pasukan VOC memberi hormat dengan tembakan senapan dan meriam membayangkan acara tersebut sebagai pemahkotaan atau penobatan dalam pemahaman Eropa.[ Ricklefs 1993, hlm. 54 ] .
Ini adalah kesalahpahaman budaya karena mahkota tidak memiliki kepentingan seremonial dalam protokol keraton Jawa. Episode ini menarik banyak perhatian di kalangan sejarawan kemudian. Sejarawan Belanda H. J. de Graaf berpendapat bahwa raja kemudian akan menganggap acara ini sebagai simbol sikap merendahkan dari orang Eropa dan kesombongan mereka yang merasa penting bagi legitimasi raja.
Setelah Istana Panembahan Maduretno dihancurkan oleh pasukan VOC yang berkoalisi dengan Kasunanan Surakarta, maka Kaḍiri hanyalah sebagai kadipaten di bawah Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kompensasi atas perang Jawa pada tahun 1830 wilayah Kaḍiri dikelola langsung oleh pihak pemerintahan Hindia-Belanda.