Siapa Tonko Oosterhuis, Tentara KNIL yang Tertera di Bangku Taman Tugu Malang?
Tulisan "Pak Tonko Oosterhuis" terukir pada sebongkah bangku memorial di Taman Alun Alun Tugu Kota Malang. Bangku berbahan batu andesit itu terdiri tiga bagian dan satu bagian lain juga mencantumkan anggota keluarga yang lain.
Tulisan "Pak Tonko Oosterhuis" terukir pada sebongkah bangku memorial di Taman Alun Alun Tugu Kota Malang. Bangku berbahan batu andesit itu terdiri tiga bagian dan satu bagian lain juga mencantumkan anggota keluarga yang lain.
Bangku itu berbentuk balok persegi panjang tertanam berjajar menjadi tempat duduk di sekitar air mancur. Bangku berada pada posisi lurus dalam garis imaginer antara Gedung Balai Kota dan Tugu Kota Malang.
-
Apa bukti yang menunjukkan Malang sebagai daerah tertua di Jawa Timur? Bukti-bukti lain yang menunjukkan Malang sebagai daerah tetrua di Jatim ialah adanya nama-nama desa seperti Kanjeron,Balandit, Turen, Polowijen, Ketindan, Ngantang, danMandaraka. Selain itu, ada peninggalan sejarah berupa candi, seperti Candi Badut, Candi Kidal yang dikenal sebagai tempat penyimpanan jenazah Anusapati, Candi Singhasari sebagai penyimpananabu jenazah Kertanegara, dan Candi Jago/Jajaghu yang merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Wisnuwardhana.
-
Kapan Kabupaten Malang resmi didirikan? Kabupaten Malang lahir pada 28 November 760.
-
Apa yang terjadi dengan keluarga di Malang? Polisi menduga tiga orang dalam satu keluarga yang meninggal dunia di Kabupaten Malang bunuh diri bersama-sama.
-
Kenapa daerah Malang Kucecwara kemudian dikenal dengan nama "Malang"? Sejak saat itu, daerah Malang Kucecwara lebih dikenal dengan nama Malang yang berarti penghalang atau yang menghalang-halangi.
-
Siapa yang memimpin serangan Kerajaan Mataram ke wilayah Malang? Sang raja ingin menaklukan seluruh pulau Jawa dalam satu kekuasaan Kerajaan Mataram. Saat menyerang Pulau Jawa bagian timur, ia tidak langsung menyasar Surabaya sebagai pusat Jawa Timur, tetapi menaklukkan kota-kota di sekitar Surabaya, termasuk Malang.
-
Apa yang bisa dijelajahi di Malang, mulai dari alam hingga budaya? Malang tidak hanya dikenal dengan keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga dengan beragam tempat wisata menarik yang memikat para pengunjung. Kota ini menyajikan kombinasi harmonis antara keasrian alam, budaya, dan sejarah yang menjadikannya destinasi wisata yang sangat populer.
Bangku tersebut menjadi perbincangan saat Pemerintah Kota (Pemkot) Malang melakukan revitalisasi Taman Tugu Alun-Alun tersebut. Pembangunan fasilitas baru membuat bangku tersebut ikut dibongkar dari posisinya.
Siapa sejatinya Tonko Oosterhuis hingga namanya terukir di kawasan Alun-Alun Tugu yang dulu bernama JP Coenplein itu? Lalu siapa Jan dan Johan yang juga tertera dalam bagian bangku tersebut?
Tjahjana Indra Kusuma, sejarawan Kota Malang mengatakan, hasil penulusurannya menemukan bahwa Tonko, Jan dan Johan berasal dari satu keluarga, yakni keluarga Oosterhuis. Mereka memiliki perjalanan sejarah dan ikatan emosional dengan Kota Malang.
"Tonko Oosterhuis adalah seorang Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) kelahiran Westerlee (Scheemda), 7 Oktober 1896. Ia wafat pada 3 Desember 1943 di Teluk Ambon pada geladak Kapal Nichinan Maru dengan pangkat terakhir Sersan," kata Tjahjana Indra Kusuma di Taman Tugu Kota Malang, Selasa (4/7).
"Ia memulai karier militernya pada tahun 1921 di kesatuan tentara kolonial cadangan. Jabatan pertamanya sebagai prajurit KNIL bertugas di Kalabahi, Alor," sambungnya
Tonko kemudian menikahi Aletta Toepa, putri seorang kepala sekolah di Timor pada 1925. Dua anak mereka pun lahir. Tercatat, Tonko beberapa kali pindah tugas yakni ke Waingapu (Sumba), Cimahi, Surabaya, dan Samarinda hingga kemudian dipromosikan naik pangkat menjadi Letnan Infantri KNIL.
Tonko pernah bertugas sebagai staf Batalyon Infantri VIII di Malang dan menjadi tahanan saat Invasi Jepang ke Malang pada 9 Maret 1942.
"Ketika Tentara Kolonial menyerah dan dilucuti saat invasi Jepang, dia diinternir sebagai tawanan perang di kamp interniran Divisi ke-3," jelasnya.
Berikutnya, Tonko dipindahkan ke tahanan di Surabaya digabungkan dengan tawanan perang dari Batavia dan daerah lain. Mereka dikirim ke sejumlah daerah untuk ikut kerja paksa.
Tonko Oosterhuis.©2023 Merdeka.com/Istimewa
Pada 18 April 1943, Tonko bersama 6.300 tawanan perang lain dibawa enam kapal angkut Jepang dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Empat kapal menuju Maluku dan dua kapal lainnya menuju Pulau Flores.
Tonko turun di Seram dan mengikuti kerja paksa (romusha) di Amahei membangun bandara hingga Oktober 1943. Ia dan rombongan kemudian dipindahkan Paloa, Pulau Haruku.
Kondisi yang buruk membuat banyak tawanan sakit dan meninggal dunia. Pimpinan Jepang pun memutuskan mengembalikan para tawanan ke Jawa, termasuk Tonko yang dalam kondisi sakit parah.
Selain kelelahan karena kerja paksa, sejak 2 Oktober 1943 Tonko menderita beri-beri. Karena itu, Ia menumpang di Kapal SS Nichinan Maru yang dikhususkan bagi tawanan yang sakit. Saat itu, seluruh kapal Jepang singgah di Teluk Ambon, termasuk SS Suez Maru dan SS Maros Maru.
Pada 3 Desember 1943 pukul 11.00, Tonko meninggal dunia di geladak kapal tersebut. Manifes mencatat penyebab meninggalnya akibat disentri, dan dimakamkan di darat oleh penduduk setempat.
Makam Tonko tidak pernah ditemukan. Kerabat mencoba mencari informasi melalui War Graves Foundation dan diduga termasuk 15 kuburan prajurit tak dikenal yang ditemukan di Ereveld di Ambon.
Anak tertua Tonko, Swier Johannes Oosterhuis atau yang tertulis dalam bangku kenangan dengan nama Johan, juga tidak selamat saat pendudukan Jepang. Johan yang lahir di Kalabahi pada 1927 bersama tiga temannya di HBS (Hoogere Burgerschool) ditangkap oleh Kempeitai (polisi militer Jepang).
Johan dibawa ke kamp interniran, Jalan Welirang 43 Kota Malang pada 1944 karena dicurigai melakukan aksi perlawanan. Mereka diduga memberi isyarat kepada pesawat Sekutu yang terbang di langit Malang dengan lampu senter.
Johan menjalani masa hukuman dan meninggal dunia di Penjara Lowokwaru, Malang pada 25 Juni 1945 pada usia 18 tahun.
Istri Tonko, Aletta Toepa pulang ke Belanda pada September 1946. Janda enam anak itu tinggal bersama keluarga mendiang suaminya hingga meninggal dunia pada 1978 di Heerenveen.
Sementara itu pada 2003, anak laki-laki Tonko lainnya, Jan Oosterhuis juga meninggal dunia di Indonesia. Pria kelahiran Cimahi, 1933 mengalami serangan jantung saat berenang di Labuhan Bajo, sekitar Pulau Komodo.
"Guna mengenang anggota keluarga yang meninggal dunia di Hindia Belanda dan adanya hubungan emosional dengan 'tanah air' ibunya, anak-anak yang masih hidup dan saudara dari ibu mereka menempatkan sebuah bangku peringatan penuh kenangan di Malang," urainya.
Bangku kenangan tersebut dibangun melalui proses perizinan ke Pemerintah Kota Malang, karena memang posisinya di ruang publik yakni Alun-Alun Tugu.
Bangku tersebut dirancang salah satu saudara Aletta Toepa; Luiz Wilson yang juga seorang arsitek. Karena itu tampak dirancang ergonomis dengan posisi yang strategis.
'"Titiknya itu instagramable, kalau istilah sekarang. Jika untuk berpotret akan tampak facade Balai Kota, sebagai latar belakang," katanya.
Posisinya segaris dengan 'sumbu imajiner' Balai Kota-Tugu-Idenburgstraat (sekarang Jalan Suropati) dengan ujung pandang di Gunung Arjuno. Posisi itu sekaligus juga mengenang latar kanan depan bangunan HBS-AMS Malang, tempat sekolah Johan, anak sulung Tonko Oosterhuis.