Mirip di Eropa, Begini Suasana Bandung Tahun 1920-an
Di masa itu, banyak gedung-gedung megah dan warga Belanda yang beraktivitas di jalanan Kota Bandung. Ini membuat kota kembang seolah sebagai "Eropa kecil".
Pada 1900-an, Thomas Karsten merancang wilayah Kota Bandung dengan sangat indah. Ia merupakan seorang arsitek asal Belanda yang bekerja untuk pemerintahan lokal dalam perencanaan tata kota.
Di masa era politik etis, perubahan ibu kota Priangan itu amat signifikan. Hotel-hotel megah banyak dibangun, jalanan umum diperkeras dan ditata serta banyak dibangun taman-taman untuk mempercantik tampilannya.
-
Bagaimana suasana di Kafe Balong yang menyerupai suasana Cikole di Bandung? Mengutip Youtube My Beauty Country, destinasi ini membawa suasana Cikole khas Bandung ke Garut. Ini terlihat dari adanya hutan pinus yang teduh dan syahdu. Walau tak sebanyak di Bandung, namun hutan pinus ala Cikole ini mampu membuat pengunjung nyaman dan betah berlama-lama di lokasi.
-
Bagaimana suasana bangunan Museum Wayang Jakarta? Dikutip dari museumjakarta.com, sebelum melihat ragam koleksi wayang, pengunjung akan disapa oleh bangunan bernuansa Eropa abad pertengahan yang bergaya klasik.Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Bentuk bangunannya memanjang dengan warna cat yang dominan putih. Jendela dan pintu museum dibuat tinggi dengan bahan kayu lawas sesuai ciri bangunan kolonial.
-
Dimana suasana Bandung pada tahun 1971 masih tampak asri dengan sawah dan pepohonan rindang? Merujuk video di kanal Youtube Awwal The Journey, dua wilayah yang saat ini masuk Kabupaten Bandung itu menawarkan suasana yang masih asri dengan dipenuhi sawah dan pepohonan rindang (hutan).
-
Bagaimana suasana interior Warung Khas Jawa Batu? Warung ini kental dengan nuansa Jawa klasik, bagian dalam ruangan dihiasi dengan seni ukir, batik, hingga wayang. Sementara itu, pada bagian outdoor ditawarkan konsep berbeda yakni modern dan simpel.
-
Bagaimana suasana di wisata malam Bandung? Ketika mentari tenggelam di ufuk barat, Bandung berubah wajah menjadi kota yang penuh pesona dengan gemerlap lampu yang menjanjikan pengalaman yang tak terlupakan.
-
Bagaimana suasana di sekitar rumah Novi Listiana? Dari halaman depan rumahnya, dapat menyaksikan pemandangan pedesaan di lereng gunung yang sangat khas, terutama saat udara dingin, terlebih lagi jika sedang hujan.
Sampai dengan tahun 1940, wajah kota kembang sudah mengarah ke suasana metropolitan. Saat akhir pekan, orang-orang Eropa dari kota tetangga Bandung berduyun-duyun mendatangi pusat keramaian di sana.
Dari fasilitas dan infrastruktur yang dihadirkan, Kota Bandung tak ubahnya Eropa kecil di Hindia Belanda.
Hadirkan Transportasi Modern
Meski belum serupa dengan Batavia, namun sistem transportasi di Bandung sudah terbilang modern. Di pada 1927 silam misalnya, pengunjung luar daerah sudah lazim menggunakan transportasi massal kereta api uap.
Saat turun di stasiun Bandung, mereka langsung dapat menikmati keindahan Bandung dengan berkeliling menggunakan delman ataupun kendaraan bus.
Mengutip YouTube Historical Study, bus jadi pilihan pendatang khususnya warga Eropa karena dianggap lebih cepat dan dapat memuat banyak. Dalam tayangan itu, tampak bus-bus masih berbentuk klasik dengan jendela penumpang terbuka.
- Mengunjungi Kampung Singkur Pangalengan, Ketika Nuansa Alam Eropa Hadir di Bandung
- Dulunya Menjadi Kawasan Hunian Bangsa Eropa, Ini Fakta Menarik Kampung Bintaran di Pusat Kota Yogyakarta
- Menguak Bandar Susoh, Bukti Jejak Keberadaan Jajahan Inggris di Pesisir Barat Selatan Aceh
- Ada Wahana Salju yang Seru di Bandung, Suhunya Capai Minus 5 Derajat
Bangunan-Bangunan Klasik Bergaya Indische
Kekaguman warga Eropa dengan Bandung masih belum berhenti. Mereka, merasakan seolah “pulang kampung” saat berada di sana. Ini berkat rancangan Thomas Karsten yang mencoba menghadirkan keindahan negeri seberang sana ke Hindia Belanda.
Lambat laun, Kota Bandung mulai didirikan banyak bangunan megah bergaya Indische atau Eropa abad pertengahan seperti Stasiun Bandung, Hotel Savoy Homann hingga Gedung Sate.
Mengutip Wikipedia, Stasiun Bandung yang dibangun tahun 1884 ini punya gaya khas Eropa kental. Dindingnya tinggi menjulang, dengan jendela besar yang berderet. Kemudian, gaya klasik juga tampak di Hotel Savoy Homann dengan arsitektur pada masa itu berbentuk dua menara dengan bangunan utama di tengah.
Tak kalah eksotis adalah Gedung Sate sebagai bangunan Department van Gouvernement Bedrijven atau gedung Departemen Badan Usaha Milik Negara Hindia Belanda. Gedung punya ciri khas deretan jendela yang berbentuk melengkung.
Hadirkan Taman Kota yang Nyaman
Mengutip bandung.go.id, Thomas Karsten yang ikut berperan merancang Kota Bandung memiliki mimpi mengubah tata wilayahnya menjadi daerah yang nyaman ditinggali. Itulah mengapa pada awal abad ke-20, pembangunan area terbuka banyak dilakukan di sana.
Dalam tayangan di kanal YouTube tersebut misalnya, terdapat juga area terbuka yang dipenuhi orang-orang Belanda. Mereka tampak asyik mengasuh anak-anak kecil yang berlarian di tengah lapangan luas.
Sebagian para pria mengenakan jas, tongkat dan topi putih juga terlihat duduk-duduk di bangku taman. Rupanya, kawasan terbuka hijau tersebut adalah Pieterspark atau Taman Dewi Sartika yang letaknya tak jauh dari kantor Bupati Bandung atau Balai Kota saat ini.
Banyak Biarawati Beraktivitas di Depan Gereja
Suasana khas Eropa masa lampau tak kalah terasa ketika berada di sekitar halaman Gereja De Katholieke Kerk. Di sana banyak biarawati yang berjalan-jalan dan beraktivitas di sekitar bangunan gereja.
Kemegahannya benar-benar membawa nuansa khas Eropa dengan menara berbentuk kerucut serta pintu besar di sisi bawahnya. Cat berwarna putih, menjadi ciri khas bangunan-bangunan besar di masa kolonial.
Sampai sekarang, kemegahan gereja masih dapat disaksikan dan bangunan tersebut telah berganti nama menjadi Katedral Santo Petrus Bandung.
Noni Belanda Berjalan-Jalan
Tak kalah ikonik adalah banyaknya warga Belanda yang berlalu-lalang di jalanan Kota Bandung pada tahun 1927 tersebut.
Kalangan laki-laki tampak khas, dengan mengenakan jas dan topi bundar serta membawa tongkat. Sedangkan para perempuannya, mereka mengenakan pakaian putih dan membawa payung termasuk topi bundar kala berjalan-berjalan di kota.
Suasana ini tentu menjadi ciri khas di masa kolonial kala itu, di mana masyarakat Eropa dan pribumi sudah bercampur baur dan sama-sama berupaya menekan konflik kolonialisme.