Secuil Kisah Seram Penjajahan Jepang di Jawa yang Jarang Tersorot, Pekerja Romusha Tewas Usai Vaksin
Penjajahan Jepang tak kalah kejam dari Belanda. Parahnya, pekerja Romusha sampai dijadikan kelinci percobaan vaksin mematikan.
Pernah membayangkan hidup di tengah masa penjajahan Jepang? Jika belum, mungkin artikel ini bisa memberikan gambaran tentang seramnya era tersebut.
Dalam narasi sejarah yang banyak beredar, disebutkan bahwa masa kolonial Jepang adalah era baru bagi kesejahteraan rakyat. Alasannya, bangsa penjajah dari Asia Timur itu mengaku saudara jauh dan bersedia membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonial Belanda yang berlangsung selama ratusan tahun.
-
Kapan Jepang mulai menyerang wilayah Indonesia? Proses masuknya Jepang ke Indonesia berawal pada masa Perang Dunia II pada tahun 1942. Saat itu, Jepang berhasil menguasai sebagian besar wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang pada saat itu masih dijajah oleh Belanda.
-
Bagaimana bentuk rumput Jepang? Rumput Jepang memiliki bentuk daun yang menyerupai jarum dengan runcing dan ramping. Pertumbuhan rumput ini ditandai oleh daun-daun kecil yang padat, menciptakan penampilan yang teratur dan rapi.
-
Apa rahasia panjang umur masyarakat Jepang? Masyarakat Jepang memiliki pola makan sehat yang mendukung mereka memiliki umur panjang dan sehat. Jepang merupakan salah satu negara dengan beragam kuliner yang khas dan rasa yang lezat. Siapa sangka bahwa hal tersebut merupakan salah satu kunci dari kehidupan panjang umur masyarakat Jepang.
-
Bagaimana Jepang membentuk pemerintahan militer di Indonesia? Sementara itu, pemerintahan militer yang dibentuk Jepang dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu: • Pemerintah Tentara 16 AD, wilayah di Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta.• Pemerintah Tentara 25 AD, wilayah di Sumatra yang berpusat di Bukittinggi.• Pemerintah Armada AL, wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua berpusat di Makassar.
-
Bagaimana Balai Yasa Pengok di era Jepang? Pada tahun 1942, pemerintahan Jepang sempat mengambil alih Balai Yasa Pengok, tugasnya pun masih sama yaitu melaksanakan perawatan berat rangkaian gerbong kereta api maupun lokomotifnya.
-
Kapan Ganjar Pranowo menemani Kaisar Jepang berkeliling Candi Borobudur? Pada Kamis (22/6), Kaisar Jepang, Hironomiya Naruhito berkunjung ke Candi Borobudur.
Namun, janji hanyalah janji. Rupanya, masa pendudukan Jepang tak kalah kejam dibanding bangsa Eropa. Bahkan, mereka menerapkan politik beras yang licik sehingga membuat rakyat kelaparan.
Lebih parah lagi, Jepang juga banyak melakukan eksperimen di bidang kesehatan dan menjadikan masyarakat Indonesia di pulau Jawa sebagai kelinci percobaannya hingga banyak yang tewas. Berikut informasinya.
Berbanding Terbalik dengan Era Politik Etis Belanda
Ada satu momen menarik di akhir masa penjajahan Belanda. Ya, mereka menerapkan sebuah kebijakan balas budi melalui penerapan politik etis di Hindia Timur (Indonesia).
Merujuk Wikipedia, mulai tahun 1901 sampai 1942, pemerintah kerajaan Belanda lewat perintah Ratu Wilhelmina memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Belanda mulai menjadi ‘sahabat’ yang baik bagi rakyat, dengan terbukanya berbagai fasilitas seperti pendidikan, pelayanan kesehatan sampai perbaikan infrastruktur agar Belanda bisa diterima kembali oleh segenap masyarakat.
- Sertijab Dua Jenderal Seangkatan Akmil 1993 Sama-sama Darah Kopassus, Teruskan Jabatan di Kodam Jaya
- Jalan-Jalan dengan Anjingnya, Bocah 12 Tahun Temukan Gelang Emas Romawi Berusia 1900 Tahun
- Jejak Kamp Interniran Jepang di Semarang, Perkampungan Penduduk yang Disulap Jadi Tempat Tinggal Tahanan Belanda
- Ingin Kabur dari Serbuan Jepang, Ini Kisah Pelarian Orang-Orang Belanda di Pelabuhan Cilacap
Namun, kondisi pemulihan berangsur-angsur berbalik saat Jepang masuk. Mengenalkan diri sebagai saudara tua Indonesia, Jepang lantas melenyapkan berbagai unsur pendudukan Belanda. Kegiatan ini rupanya mengandung misi pengerukan keuntungan, untuk mendukung penyerangan Jepang di masa perang dunia ke-2.
Lakukan Romusha
Mengutip Liputan6, Romusha menjadi ciri kekejaman Jepang yang paling nyata. Puluhan sampai ratusan orang dikabarkan meninggal dunia, karena rakyat dipaksa bekerja sepanjang hari tanpa diberi minum, makan dan bayaran yang layak.
Mulanya, Romusha dilakukan Jepang dengan cara memerintahkan para petani untuk menanam dan memperluas kebun dan sawah milik masing-masing.
Lambat laun, Jepang juga meminta rakyat membangun penjara, jalan, bangunan serta berbagai infrastruktur perang untuk mendukung kemenangan di masa perang dunia II.
Terapkan Politik Pangan hingga Sengsarakan Rakyat
Tak kalah kejam dari Romusha adalah penerapan politik pangan ekstrem oleh pemerintah Jepang. Dalam peraturan yang dituangkan oleh kepala militer Gunseikai sebagai pemimpin tertinggi, disebutkan bahwa seluruh hasil bumi Belanda seperti kopi, teh dan kina diganti dengan beras, tanaman jarak dan rosela.
Mengutip vredeburg.id Kemdikbudristek RI, aturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No 322/1942 dan meminta masyarakat Indonesia mematuhinya agar mendapat kemerdekaan.
Namun nyatanya, pengaturan harga dan penjualan yang diatur Jepang, membuat komoditas pangan seperti beras hilang di pasaran. Warga banyak yang meninggal karena kelaparan. Untuk bertahan hidup, berbagai tumbuhan dan umbi-umbian kemudian dikonsumsi oleh rakyat.
Sebab utama dari kelaparan warga adalah, kewajiban penyerahan padi sebanyak 30 persen dari apa yang telah ditanam. Sayangnya, warga biasanya memanfaatkan padi untuk kebutuhannya sendiri.
Pekerja Romusha Tewas Akibat Percobaan Vaksin
Mimpi buruk juga masih belum berakhir saat Jepang masuk ke Indonesia. Pernah suatu ketika, masyarakat Indonesia digegerkan dengan kematian kelompok-kelompok Romusha yang tengah dilatih di kawasan Klender, perbatasan Jakarta dan Bekasi.
Mengutip buku “Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Rōmusha 1944-1945” disebutkan para pekerja itu mengalami kejang, tak sadarkan diri hingga tewas setelah disuntikkan vaksin TCD (typhus, cholerae dan desentry).
Usut punya usut, di dalam vaksin terdapat kandungan toksin tetanus sehingga langsung bereaksi negatif di dalam tubuh. Akibatnya, para pemuda yang akan dipekerjakan sebagai Romusha seketika meninggal dunia.
Agar Jepang tak disalahkan, mereka menumbalkan dua orang dokter Indonesia yang bekerja di lembaga Eijkman yang saat ini berada dalam lingkup Badan Riset dan Inovasi Nasional(BRIN) yakni dr. Marah Achmad Arief dan Profesor Achmad Mochtar.