Sepenggal Cerita Seni Koromong Asal Sumedang, Gamelan Warisan Raja untuk Suburkan Pertanian
Koromong tak bisa sembarangan dimainkan, karena dipercaya memiliki petuah dan sampai sekarang dipatuhi oleh warga.
Berbicara Sumedang, tak afdol rasanya jika belum mengenal kesenian lokal bernama Koromong. Mungkin budaya ini masih asing, namun keberadaannya konon pernah menyelamatkan warga di satu kampung saat terjadi musim paceklik.
Kearifan lokal ini memang tidak seterkenal kuda renggong atau sisingaan yang masih dengan mudah dijumpai. Kesenian ini hanya terbatas di beberapa kecamatan saja, yakni Rancakalong dan Darmaraja. Fungsi di kedua wilayah pun cukup berbeda dan memiliki sisi kesakralannya sendiri.
-
Kapan Museum Wayang Sendang Mas diresmikan? Dilansir dari Liputan6.com, museum ini diresmikan pada 31 Desember 1983 dengan mendatangkan ketua Senawangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia) pada waktu itu.
-
Kapan Keraton Surosowan dibangun? Keraton ini pertama kali dibangun sekitar tahun 1526 pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, pendiri dari Kesultanan Banten.
-
Kenapa Senandung Jolo penting? Tradisi tutur sastra ini juga menjadi media pengetahuan budaya bagi masyarakat lokal hingga luar daerah.
-
Kapan Dusun Pucung menjadi Sentra Kerajinan Wayang Kulit? Sejak saat itu, Dusun Pucung dinobatkan sebagai Sentra Kerajinan Wayang Kulit di Kabupaten Bantul.
-
Apa arti dari "Sacangreud pageuh sagolek pangkek" dalam bahasa Sunda? "Sacangreud pageuh sagolek pangkek."Artinya : Apa yang kita lakukan harus diiringi dengan komitmen dan konsisten.
-
Siapa Aty Kodong? Aty Kodong dikenal sebagai runner-up Dangdut Academy yang berhasil meningkatkan perekonomiannya.
Koromong sebetulnya merupakan kesenian gamelan yang merupakan warisan para raja-raja Sumedang tempo dulu. Kaslian alatnya pun masih dipertahankan sejak pertama dimainkan, paruh abad ke-15 sampai abad ke-16.
Koromong tak bisa sembarangan dimainkan, karena dipercaya memiliki petuah dan sampai sekarang dipatuhi oleh warga. Sampai sekarang, Koromong masih menjadi media komunikasi warga dengan para leluhur yang terus dipertahankan.
Kemunculannya Melalui Pertapaan
Seni Koromong sebelumnya tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Sumedang. Masing-masingnya memiliki cerita tersendiri akan kemunculannya. Merujuk jurnal yang ditulis Linda Yuliani dari ISBI Bandung berjudul “Akulturasi Budaya pada Pertunjukan Koromong” tertulis bahwa seni Koromong muncul di Kecamatan Rancakalong setelah sesepuh setempat melakukan pertapaan dan berpuasa selama 40 hari 40 malam.
Alkisah, seorang sesepuh di Kampung Cikubang, Desa Sukahayu, Kecamatan Rancakalong bernama Eyang Santing mendapati kampungnya dilanda bencana paceklik. Sawah hingga lahan pertanian mengalami kekeringan hingga terancam gagal panen.
Tergerak hatinya, Eyang Santing lantas melakukan pertapaan di sebuah tempat sembari berpuasa selama 40 hari 40 malam. Seketika dirinya mendapat petunjuk untuk membunyikan seperangkat gamelan bernama Koromong.
- Cerita Seni Kutukuprak yang Punah di Sumedang, Dulu Digelar untuk Hibur Warga yang Ditinggal Wafat Anggota Keluarga
- Mengenal Kromong, Alat Musik Khas Desa Mandiangin Jambi yang Mirip Gamelan
- Intip Keunikan Gamelan Kodok Ngorek Peninggalan Sunan Kalijaga di Cirebon, Hanya Dibunyikan saat Musim Kemarau
- Mengenal Songket Palembang, Warisan Budaya Takbenda dari Sumatra Selatan
Gamelan Berasal dari Raja Pertama Sumedang
Petunjuk dalam mimpi meminta Eyang Santing berkelana menuju daerah utara ke Cirebon. Saat di perjalanan, ia menemui rombongan yang membawa seperangkat gamelan dan ditujukan kepada dirinya. Gayung bersambut, rombongan lantas diajak ke Kampung Cikubang untuk mengajarinya memainkan Koromong.
Saat ditanya, rombongan tersebut menjawab bahwa seperangkat gamelan berasal dari Prabu Aji Putih yang merupakan raja pertama kerajaan Tembong Agung sebelum berganti nama menjadi Keraton Sumedang Larang.
Rombongan diminta untuk menyebarkan gamelan ke kampung-kampung tertentu di Sumedang, salah satunya Rancakalong. Sebelumnya, gamelan digunakan untuk mengikuti sayembara pemikat hati putri dari kerajaan Galuh, namun ia ditolak.
Memainkan Koromong Akan Menyuburkan Pertanian
Jadi Kesenian Menyambut Tamu di Darmaraja
Di Cikubang, mereka memainkan gamelan tersebut dan mengajari Eyang Santing. Setelahnya, Eyang Santing menabuhnya menggunakan hati, sembari memohon agar kondisi pertanian kembali subur pasca diterpa bencana kekeringan.
Setelah ia menguasai cara memainkannya, Eyang Santing melakukan pertunjukkan musik tradisional tersebut pada tanggal 14 bulan Maulud menjelang tengah malam. Seketika, lahan pertanian menjadi subur dari yang sebelumnya mengalami tandus.
Masyarakat kemudian meyakini bahwa pertanian akan bagus hasil panennya saat dilangsungkan pertunjukkan gamelan Koromong.
Mengutip Youtube Balai Pelestarian Budaya Wilayah IX, gamelan Koromong memiliki fungsi yang berbeda di Kecamatan Darmaraja, Sumedang. Di sana, para sesepuh tidak memainkannya untuk menyuburkan pertanian, melainkan saat menyambut tamu agung.
Saat itu, Darmaraja merupakan ibu kota dari Kerajaan Tembong Agung yang berkuasa di abad ke-8 masehi sampai abad ke-14 masehi. Karena lokasinya sebagai kerajaan, maka banyak golongan ningrat yang datang berkunjung. Untuk menyambutnya agar betah, maka dibunyikanlah gamelan Koromong.
Sesepuh setempat Eyang Jangel menjadi sosok yang menerima warisan gamelan dari Prabu Aji Putih. Ia secara rutin memainkannya dan merawat gamelan Koromong agar bisa terus bertahan.
Hanya Boleh Dimainkan oleh Keturunan Raja
Eyang Jangel sendiri menamai Koromong yang memiliki arti “Kokoro” atau kakara yang berarti memulai dan “Ngomong” yang diartikan sebagai berbicara. Bisa dibilang bahwa gamelan Koromong merupakan pesan selamat datang dari para penghuni kerajaan Tembong Agung.
Berdasarkan catatan lawas, gamelan ini merupakan warisan dari raja-raja Sumedang terdahulu dan hanya boleh dimainkan oleh garis keturunannya saja. Saat ini, warga Dusun Cileuweung, Desa Tarunajaya, Darmaraja masih setia memainkannya di tengah sawah.
Sebelum dimainkan, gamelan harus terlebih dahulu dimandikan agar suci dan dapat membawa kebaikan untuk masyarakat yang menyaksikan.