Isu pribumi dan non-pribumi buat persatuan nasional terkikis
Isu pribumi dan non-pribumi buat persatuan nasional terkikis. Bung Hatta berpandangan bahwa seorang Indonesia tulen haruslah menghilangkan penyakit provinsialisme.
Pilkada DKI Jakarta 2017 kali ini marak diwarnai aksi propaganda isu pribumi dan non-pribumi. Hal itu dinilai membuat persatuan nasional lambat laun terkikis.
Ketua Umum DPP PA GMNI Ahmad Basarah menilai terselip misi politik pecah belah dalam aksi propaganda, seperti yang terjadi saat zaman penjajahan Belanda dahulu.
Menurutnya, secara historis, isu pribumi dan non pribumi cukup kompleks. Gelombang migrasi manusia ke wilayah Indonesia sangat panjang. Bahkan sebelum Islam datang sudah ada Hindu dan Budha.
"Di masa-masa kolonialisme melawan penjajah hampir semua komponen bangsa sdh ikut terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Bahkan Komunitas Tionghoa juga berperan dalam kemerdekaan Indonesia. Bahkan dalam rapat BPUPK terdapat Liem Koen Hian,Tan Eng Hoa, Oei Tiang Tjoi dan Oei Tjong Hauw yang berasal dari keturunan Tionghoa dan AR. Baswedan yang keturunan Arab," ujar Basarah dalam keterangannya, Selasa (18/4).
Saat perumusan UUD 1945, lanjut Basarah, menyebutkan Presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli juga tidak pernah dimaksudkan untuk membedakan hanya warga negara Indonesia pribumi yang dapat menjadi Presiden dan warga negara Indonesia non pribumi (peranakan) dibatasi tidak dapat menjadi calon Presiden.
Basarah menjelaskan kehadiran Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 naskah asli (sebelum perubahan) pada waktu itu dilatarbelakangi persiapan kemerdekaan Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Jepang sehingga pasal tersebut untuk membatasi agar orang asing dalam hal ini orang Jepang tdk boleh menjadi Presiden Indonesia.
"Bung Hatta berpandangan bahwa seorang Indonesia tulen haruslah menghilangkan penyakit provinsialisme. Seorang Indonesia tulen tak perlu curiga atau menutup diri terhadap kehadiran manusia-manusia Indonesia lain yang mungkin berbeda suku, agama, keyakinan politik, dan lain-lain. Pendek kata, manusia Indonesia asli tak lagi mengenal label pribumi dan pendatang," papar Basarah.
Untuk itu, ia mengimbau agar momen Pilkada DKI ini menjadi agenda negara bukan agama. Pilkada untuk memilih pelayan masyarakat bukan pemimpin agama.
"Kita jadikan Pilkada DKI ini sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang sesuai kebutuhan warga Jakarta agar Ibu Kota Negara ini benar-benar dapat menjadi kota yang mencerminkan peradaban yang tinggi bangsa Indonesia di mata rakyat Indonesia sendiri dan juga dunia internasional," tandas Basarah.