NasDem Soal RUU DKJ Gubernur Jakarta Ditunjuk Presiden: Obrak-abrik dan Nodai Konstitusi, Tanda Otoritarianisme
NasDem mewanti-wanti perlahan demokrasi tergerus oleh kesesatan pikir dalam mengelola negara.
NasDem mewanti-wanti perlahan demokrasi tergerus oleh kesesatan pikir dalam mengelola negara.
NasDem Soal RUU DKJ Gubernur Jakarta Ditunjuk Presiden: Obrak-abrik dan Nodai Konstitusi, Tanda Otoritarianisme
NasDem menilai Pasal 10 ayat (2) Draf RUU DKJ yang mengatur Gubernur dan Wakil gubernur ditunjuk, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD merupakan kematian demokrasi secara perlahan di Indonesia.
- Ganjar soal RUU DKJ: Kalau Mau Konsisten dengan Otonomi Daerah, Gubernur Dipilih Rakyat
- Anies Kritik RUU DKJ Gubernur Jakarta Dipilih Presiden: Ironis, Kota Tingkat Demokrasinya Tinggi Malah Dipangkas
- Aturan Gubernur Jakarta Ditunjuk Presiden, Pimpinan Komisi II DPR Anggap Hak Demokrasi Warga Jakarta Dikebiri
- PKS Tolak Gubernur Jakarta Dipilih Presiden: Itu Hak Demokrasi Rakyat
NasDem mewanti-wanti perlahan demokrasi tergerus oleh kesesatan pikir dalam mengelola negara.
"Maka mengobrak-abrik konstitusi berarti mengukuhkan otoritarianisme dan menodai hak konstitusional rakyat," kata Ketua DPP Partai NasDem Bidang Hubungan Legislatif Atang Irawan dalam keterangan resmi, Kamis (7/12).
Atang mengingatkan, nalar sesat yang akan dapat mematikan demokrasi sebaiknya segera diamputasi, agar infeksi ketidakwajaran berpikir di republik ini dapat disumbat.
"Karena akan semakin berbahaya dapat mematikan demokrasi secara perlahan 'Euthanasia Demokrasi' dan ini lebih sadis dari sentralisasi yang pernah dialami di republik ini,” tutur Atang.
Bahkan menurut Atang, inilah bentuk tindakan sadis yang tak dapat ditoleransi karena memenggal hak konstitusional rakyat untuk memilih pimpinannya dengan melompati konstitusi.
Atang menilai, jika Gubernur DKI tidak dipilih secara demokratis, maka dipastikan menabrak Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan Gubernur dipilih secara demokratis.
Atang memprediksi, apabila Jakarta sudah tidak lagi sebagai ibu kota negara dan berstatus kedudukan sama dengan provinsi lainnya, serta pemilihan gubernur Jakarta ditunjuk Presiden, maka tidak menutup kemungkinan di kemudian hari provinsi di wilayah lainnya akan terancam hal yang sama.
"Lebih bahaya lagi, DPRD diletakan sebagai organ kamuflase yang tidak memiliki wewenang dalam penunjukan dan pengangkatan gubernur DKI, karena tidak diberi wewenang hanya tugas dalam mengusulkan atau memberikan pendapat, itupun hanya menjadi bahan perhatian presiden," ujar dia.
Atang berharap, para perumus RUU DKJ tidak menganalogikan Jakarta dengan Yogyakarta (DIY).
Jika hal tersebut terjadi, menurut Atang, Indonesia sedang kehilangan semangat membangun bangsa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Bahkan, jika terjadi maka sesungguhknya suasana kebatinan republik ini sedang dalam perjalanan menghapuskan demokrasi secara perlahan.
Singgung Pemilihan Gubernur Yogyakarta
“Penentuan jabatan Gubernur Jogja tentunya tidak dapat dipaksakan menjadi pertimbangan untuk DKI, karena DIY sejak jaman Belanda sudah diakui sebagai daerah kekhususan, bahkan pengakuan tersebut berlanjut hingga jaman jepang yang disebut sebagai Koti, yang secara substantif merupakan pengakuan atas hak-hak asal-usul dalam daerah yang istimewa yaitu Zelfbestuurende Lanschappen dan volksgemenscappen (kesatuan masyarakat),” ujar dia.
Atang menekankan, meskipun Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang, seharusnya dimaknai dalam rangka wewenang khusus terkait dengan otonomi, bukan pada penentuan jabatan kepala daerah yang sudah terkunci oleh Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan Gubernur dipilih secara demokratis.
Menurut Atang, jika pada akhirnya RUU DKJ disahkan akan mematikan urat nadi demokrasi. DKI disamakan dengan DIY sangat berbeda baik, karena DIY merupakan wilayah kerajaan Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang dalam penentuan pimpinannya (raja) menggunakan pengukuhan.
Dia mengingatkan, agar semua pihak tidak amnesia terhadap sejarah, bahwa DIY secara historis memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan.
“Ingatkah Amanat 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mendeklarasikan bergabung dalam satu kesatuan wilayah NKRI inilah salah satu bentuk penghormatan dan penghargaan atas perjuangan DIY dimasa kemerdekaan,” pungkas Atang.