Sejak berdiri 2007, Pengadilan Perikanan di PN Jakut minim kasus
Pengadilan perikanan di Jakut pertama kali menerima kasus pada tahun 2009 dan kembali menangani kasus pada 2014.
Keberadaan pengadilan perikanan nampaknya kurang begitu efektif. Salah satu contohnya terjadi di Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Sejak berdiri tahun 2007 silam, di pengadilan perikanan tersebut tidak begitu banyak kasus yang dipersidangkan.
Salah satu hakim pengadilan perikanan, Zulkifli Ishaq mengatakan, pengadilan perikanan terbentuk pertama kali akhir 2007 silam. Walaupun sudah terbentuk, di pengadilan perikanan yang berada satu gedung dengan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut baru efektif melakukan persidangan pada awal 2009.
"Pertama kali melakukan persidangan itu tahun 2009. Saat itu ada empat kasus yang salah satunya yaitu illegal fishing. Saat itu ada sebuah kapal kayu asal Vietnam yang memasuki teritorial perairan Indonesia di Muara Baru," ujar Zulkifli kepada wartawan ketika ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/12).
Lanjut Zulkifli, saat itu kapal kayu asal Vietnam tersebut mangkrak dan memang sudah tidak memungkinkan untuk berlayar.
"Saat itu diputuskan bahwa kapal kayu tersebut dibiarkan begitu saja karena mendapatkan izin melaut. Bahkan saat ditawarkan kepada para nelayan Muara Baru, tidak ada satu pun yang berminat," jelasnya.
Sementara itu, salah seorang hakim pengadilan perikanan lainnya, Sutarjo mengungkapkan, setelah tahun 2009 pengadilan perikanan tidak menangani kasus dan baru tahun 2014 baru kembali menangani 7 kasus yang 6 di antaranya merupakan illegal fishing.
"Di utara ini termasuk sedikit. 2014 itu ada 7 kasus sudah selesai dan putus semua. Pertama penyelundupan benih sidat (belut laut), di data ekspor itu ikan kerapu tapi ternyata diselundupkan diubah, dari 23 box 6 di antaranya diganti sidat dan mau dibawa ke Hongkong," ungkap Sutarjo.
Sutarjo menambahkan, mengenai 6 kasus illegal fishing, kapal-kapal asing dan para nahkoda serta anak buah kapal (ABK) tersebut dikembalikan kembali ke negara-negara asalnya.
"Karena 6 kapal tersebut masih berada di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan sesuai dengan peraturan tentang hukum laut (Unclos) 1982 yang artinya setiap negara harus tunduk dengan peraturan tersebut," tandasnya.