5 Fakta Sejarah Jalan Malioboro, Jalan Para Raja hingga Pusat Pertokoan
Kawasan Malioboro telah menjadi pusat perekonomian Jogja sejak zaman raja-raja. Bahkan usianya lebih tua dari Keraton Yogyakarta.
Malioboro telah lama menjadi ikon pariwisata Kota Yogyakarta. Eksistensinya terkenal hingga ke seluruh penjuru negeri. Tak afdal rasanya berwisata ke Jogja kalau tidak mengunjungi kawasan Malioboro.
Terlepas dari huru-hara polemik relokasi yang sempat ramai belakangan ini, kawasan Malioboro telah menjadi pusat perekonomian Jogja sejak zaman raja-raja. Bahkan usianya lebih tua dari Keraton Yogyakarta.
-
Apa yang dikatakan Ade Armando tentang DIY? Laporan ini merupakan buntut dari pernyataan Ade yang mengatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai perwujudan dari politik dinasti sesungguhnya.
-
Kapan puncak kemarau di DIY diprediksi berlangsung? Sebelumnya Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Yogyakarta Reni Kraningtyas menyebut puncak musim kemarau 2024 di DIY diprediksi berlangsung antara Juli hingga Agustus 2024.
-
Siapa saja yang hadir dalam sosialisasi Balai Bahasa DIY tentang ujaran kebencian? Acara dihadiri oleh 47 peserta dari berbagai lembaga seperti binmas polres kabupaten/kota, humas Setda DIY, bidang kepemudaan kabupaten/kota, dinas komunikasi dan informatika provinsi/kabupaten/kota dan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) kabupaten/kota.Lalu hadir pula, dinas DP3AP2KB provinsi/kabupaten/kota, MKKS kabupaten/kota, Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi DIY, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) serta Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Klas II Yogyakarta.
-
Kapan puncak arus balik di DIY terjadi? Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat bahwa puncak arus balik di provinsi itu terjadi pada Minggu (14/4).
-
Kenapa Pertamina menambah stok LPG di Jawa Tengah dan DIY? Pertamina Patra Niaga terus menambah persediaan LPG 3 kg untuk wilayah Jawa Tengah dan DIY. Langkah ini dapat dilakukan menyusul meredanya cuaca ekstrem yang melanda wilayah utara Jawa Tengah sejak 11 Maret lalu dan berhasilnya kapal pengangkut suplai LPG bersandar di pelabuhan Semarang dan Rembang, Total, mereka melakukan penambahan fakultatif LPG 3 Kg hingga 394.000 tabung selama periode Maret 2024 di wilayah terdampak.
-
Kapan Pertamina menambah stok LPG di Jawa Tengah dan DIY? Pertamina Patra Niaga terus menambah persediaan LPG 3 kg untuk wilayah Jawa Tengah dan DIY. Langkah ini dapat dilakukan menyusul meredanya cuaca ekstrem yang melanda wilayah utara Jawa Tengah sejak 11 Maret lalu dan berhasilnya kapal pengangkut suplai LPG bersandar di pelabuhan Semarang dan Rembang, Total, mereka melakukan penambahan fakultatif LPG 3 Kg hingga 394.000 tabung selama periode Maret 2024 di wilayah terdampak.
Lantas bagaimana sejarah salah satu jalan paling legendaris di kota wisata itu? Berikut selengkapnya:
Asal Mula Kata "Malioboro"
©Ugm.ac.id
Asal mula kata Malioboro tak diketahui secara pasti. Ada yang berpendapat kata itu berasal dari kata Malborough, gelar Jenderal John Churchill (1650-1722).
Namun pendapat ini disanggah oleh Dr. O. W. Tichelaar yang mengatakan bahwa Malioboro menjadi jalan yang terlalu penting bagi orang Jawa untuk diberi nama orang Inggris yang merupakan orang asing bagi mereka.
Menurut Tichelaar, kata Malioboro berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “malyhabara” yang artinya “dihiasi dengan untaian bunga”. Sementara menurut Carey, kemungkinan nama “Malioboro” telah digunakan sebagai nama jalan itu sejak awal, walaupun masih disangsikan penggunaan nama itu benar-benar ditemukan dalam naskah dari Yogyakarta pada pertengahan abad ke-18.
Lebih Tua dari Kraton Yogyakarta
©Ugm.ac.id
Dilansir dari Ugm.ac.id, keberadaan Jalan Malioboro kemungkinan sudah ada sebelum berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Waktu itu jalan tersebut digunakan sebagai jalan penghubung menuju Pesanggrahan Gerjitawati atau Ayogya, suatu tempat yang kini jadi lokasi berdirinya Keraton Yogyakarta.
Jalan itu sering dilalui rombongan Kerajaan Mataram Islam dari Keraton Kartasura yang membawa jenazah raja atau keluarga kerajaan yang akan disemayamkan di imogiri dengan singgah terlebih dahulu di Pesanggrahan Gerjitawati.
Pada masa pendudukan Belanda, Jalan Malioboro menjadi jalan seremonial. Jalan ini menjadi saksi bisu prosesi kedatangan para gubernur jenderal dan pejabat Eropa menuju kraton yang kemudian disambut oleh sultan dan para prajuritnya. Seremonial ini punya dua tujuan yang penting bagi orang Jawa, yaitu untuk memberikan penghormatan dan untuk “menjinakkan kekuasaan yang lebih besar.
Jadi Kawasan Pertokoan
©Ugm.ac.id
Pada tahun 1758, dibangun Pasar Gedhe sebagai pusat perekonomian. Warga sekitar mulai memanfaatkan tempat itu untuk berjualan. Dulunya, tempat itu merupakan tanah lapang.
Setelah ditetapkan Sri Sultan HB I sebagai tempat jual beli, banyak pedagang yang mendirikan payon-payon sebagai peneduh panas dan hujan. Semakin lama, pedagang di sana semakin banyak.
Pada tahun 1923-1926, tempat itu digantikan oleh bangunan beton yang lebih kokoh atas perintah Sri Sultan HB VII. Namanya kemudian berubah menjadi “Pasar Beringharjo”.
Pada tahun 1880-an, mulai muncul warung-warung tempat berjualan di pinggir-pinggir Jalan Malioboro. Seiring waktu, warung-warung itu berubah menjadi gedung-gedung pertokoan permanen yang dibangun rapi di tepi jalan.
Geliat perekonomian di Jalan Malioboro mencapai masa keemasan pada tahun 1920-1930 sebelum akhirnya terkena imbas dari Depresi Ekonomi Global atai Krisis Malasie yang mengakibatkan harga-harga barang di Malioboro cenderung tidak stabil dan beberapa perusahaan terpaksa gulung tikar.
Kawasan Perkantoran
©Ugm.ac.id
Selain menjadi kawasan pertokoan, sejak zaman dahulu Jalan Malioboro sudah menjadi kawasan perkantoran. Gedung pertama kali yang dibangun adalah Kompleks Kepatihan yang dibangun di masa Sri Sultan HB I. Lalu ada Benteng Vredeburg yang dibangun tahun 1756.
Selama kurun waktu 1870-1920 sejumlah fasilitas didirikan guna menunjang perekonomian Yogyakarta seperti De Javasche Bank, Kantor Pos Besar, Kantor Asisten Residen, Pegadaian, dan lain sebagainya.
Pusat Komunitas Sastrawan
©Ugm.ac.id
Pada era 1960-an, Malioboro tumbuh sebagai pusat kegiatan komunitas sastra. Para sastrawan itu berasal dari beragam etnis seperti Nasjah Djamin, Motinggo Busye, A. Bastari Asnin, dan Idrus Ismail. Walau begitu, mereka fasih dalam mengungkap kultur Jawa, terutama kehidupan sosial budaya yang terjadi di sekitar Malioboro.
Tak hanya menghasilkan karya, para sastrawan itu juga terjun ke kehidupan rakyat jelata di emperan toko dan warung-warung di sekitar Malioboro. Karya-karya mereka terlihat, salah satunya dari kumpulan cerita pendek karya Nasjah Djamin, yang berjudul “Di Bawah Kaki Pak Dirman” dan “Lenganglah Hati di Malioboro”.